Copyright © 2021 by Cindy Handoko
Aku nggak paham kenapa orang-orang itu malah santai-santai. Alice dan Bryan terjebak di dalam, dan sama sekali nggak ada yang panik atau berusaha menolong. Memangnya para polisi dan pemadam kebakaran itu bisa diandalkan? Kalau satu saja dari mereka bisa diandalkan, semuanya nggak akan jadi kayak begini sejak awal, kan? Tumbal tahunan, penyekapan, sampai pembunuhan, semuanya berlangsung bertahun-tahun sampai sudah separah ini, dan baru setelah aku dan teman-temanku yang dianggap bocah ingusan yang nggak tahu apa-apa turun tangan, semuanya bisa selesai. Tandanya orang-orang dewasa itu sebenarnya goblok dan cuma bisa mejeng, kan? Bisa-bisanya teman-temanku masih nggak sadar dan malah memercayakan nyawa Bryan dan Alice ke tangan mereka!
Yah, walaupun Bryan seringnya nggak asyik dan Alice juga lemotnya setengah mati, tetap saja aku nggak mau kehilangan mereka. Masa tim kami jadi sisa berempat saja? Awalnya, kan, kami berdelapan. Kalau soal Catherine dan Andrew, aku bisa merelakan karena mereka sakit jiwa. Tapi Alice dan Bryan, kan, bukan orang gila kayak mereka. Seharusnya kami berenam bisa keluar dari sini bersama-sama, walaupun dengan bagian tubuh nggak lengkap seperti kakiku yang kehilangan dua jari!
"Woy...!" Aku berteriak. "Lice! Bry! Lo di mana? Ini Sam!"
Sialan. Got Badut IT benar-benar nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan tempat ini. Nggak usah saat kebakaran saja, kayaknya aku bakal tersesat di sini karena banyak sekali pintu dan lorong-lorong yang saling menyambung. Sekarang, dengan adanya api yang menyebar cepat, rasanya aku seperti sedang menjalani program trial masuk neraka. Kadang-kadang, perabot dan atap di sekelilingku mengeluarkan bunyi berderak yang mengkhawatirkan, seperti nyaris ambruk. Sialan, inilah kenapa aku benar-benar nggak ingin dikremasi kalau meninggal nanti!
Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Bukan saatnya aku parnoan. Aku harusnya bangga terhadap diri sendiri karena sudah berani menerjang masuk untuk menyelamatkan teman-temanku, padahal sebenarnya aku takut banget api. Waktu kecil, aku menyaksikan kompor di dapur meledak dengan dahsyat dan membakar separuh rumahku. Aku masih ingat jeritan Nenek yang penuh kengerian dari dalam kamarnya. Saat itu, aku nggak berani menerjang masuk untuk menyelamatkan Nenek. Aku malah berlari ke luar rumah dengan cupu seperti bocah egois karena takut mati terbakar di dalam. Sekarang adalah kesempatanku untuk membayar dosa seperti seorang pemberani yang keren.
"LICE!" Teriakanku bertambah keras saat aku mulai memasuki bagian dalam markas bawah tanah yang lebih panas lagi. Aku benar-benar nggak kelihatan apa-apa karena asap yang sangat pekat, dan napasku juga mulai sesak. "BRYAN! LO DENGER GUE NGGAK? COBA LO TERIAK KALO DENGER GUE!"
Setelah meneriakkan hal itu, aku baru sadar kalau mereka mungkin saja sulit berbicara. Mereka, kan, sudah lebih lama berada di bawah sini. Pasti napas mereka sudah sangat sesak. "RALAT!" teriakku. "COBA BATUK-BATUK AJA, DING—UHUK! UHUK!"
Sialan. Malah aku yang batuk-batuk seperti memberi contoh!
Tapi, serius. Sesak banget rasanya. Lima menit lagi saja aku berada di sini, aku bisa pingsan. Kan goblok, kalau niatnya menyelamatkan mereka, tapi malah ikut-ikutan pingsan. Bagaimana kalau aku nggak bisa bangun dan nggak ada yang menolong... Kan, aku sudah lihat sendiri teman-temanku yang lain semuanya cuma pasrah saja pada orang-orang dewasa itu...
Aku bergidik ngeri. Aku benar-benar nggak boleh pingsan. Pingsan di bawah sini sama saja artinya dengan mati. Seandainya saja ada masker atau apa yang bisa kupakai, pasti semua bakal lebih mudah. Tapi, siapa, sih, orang waras yang akan memakai masker ke mana-mana? Kecuali zaman tiba-tiba berubah gila dan ada pandemi sedunia yang mengharuskan orang-orang untuk pakai masker ke mana-mana, dan bakalan didenda kalau nggak pakai masker. Tapi, itu kan cuma terjadi di film-film. Nggak mungkin banget ada kejadian kayak begitu di dunia nyata, kan? Ngelawak, deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Misterio / SuspensoHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...