35. Andrew

49 14 0
                                    

Copyright © 2021 by Viona Angelica

Sejujurnya, semua petunjuk ini terasa sangat janggal.

Meskipun aku memang melakukan yang terbaik untuk mencari petunjuk mengenai The Hawks dan segala macamnya siang dan malam, aku tidak percaya bahwa aku, yang bukan hacker paling top di dunia, bisa menemukan banyak informasi penting sekaligus hanya dalam beberapa jam. Aku memang paham beberapa teknik dalam hacking, tapi untuk mendapat berbagai informasi penting seperti ini... kurasa Andrew Leonardo tidak akan bisa.

Tapi saat ini, tanpa adanya bantuan polisi, mungkin satu-satunya harapan IMS untuk mencari informasi mengenai organisasi ilegal hanya melewatiku.

Klontang...

Suara kaleng yang dijatuhkan membuatku langsung menoleh ke arah sumber suara. Alice sedang berdiri di dekat meja belajarku sambil memasang wajah terkejut. Ketika aku menoleh, ia buru-buru menyembur, "Sori, sori, nggak sengaja jatuh."

Aku malah tersenyum melihat perilaku lucunya itu, lalu menjawab, "Nggak apa-apa, kok. Malah, gue yang makasih, lo mau bersedia bersih-bersih kamar gue selagi nungguin informasi soal The Hawks."

"Habisnya..." ia menggantungkan kalimatnya di udara sambil menggembungkan pipi. "Masa yang lain sibuk sama penyelidikan, gue aja yang nggak dikasih tugas sama Bryan? Gue kan jadi merasa tambah nggak berguna."

"Iya tuh, emang nggak bener si Bryan." Aku berdecak. "Padahal ada banyak banget, sih, yang bisa lo bantu. Minjem duit ke Iris kalo diserahin ke Sam doang sebenernya kurang pas juga. Paling-paling si Sam gagal minjem duitnya, dan besok kita yang harus maju. Eh, tapi gue nggak mau lo kena semprot adik kelas super galak itu, bisa-bisa lo dibikin nangis sama dia. Dia itu tiap hari PMS, dah, semua orang kena marah, apalagi kalo berani nyinggung soal dia matre. Padahal aslinya mah, matre banget."

Perkataanku tidak membuat ekspresi sedihnya menghilang.

"Iya, ya..." gumamnya murung. "Mungkin Bryan juga nggak ngasih gue tugas itu karena takut gue disemprot Iris..."

"Tapi sisi positifnya... gue jadi bisa menghabiskan waktu lebih lama sama lo." tambahku berusaha mengembalikan senyumnya yang hilang

"Iya, sih. Tapi tetep aja gue kayak nggak berguna, Ndrew. Lo merasa gitu juga nggak, sih?" tanyanya sambil duduk di kursi terdekat.

"Enggak, lah. Gue, kan, udah pernah bilang kalo lo berjasa banget buat tim ini sebagai pembentuknya. Masa lo lupa, sih?" sahutku sambil meletakkan laptop dan berjalan mendekat ke arahnya.

"Trus, kenapa gue malah bersih-bersih kamar lo sekarang, bukannya membantu penyelidikan?" cibirnya, meletakkan dagunya pada sandaran kursi.

"Malah bagus nggak, sih?" tanyaku.

"Iya bagus, kamar lo jadi bersih dan tertata, tapi nggak bagus buat gue yang cuma bantu bersih-bersih doang karena nggak bisa apa-apa." sahutnya kesal.

"Loh, bukan gitu maksud gue. Maksudnya bagus lo nggak ikutan keluar-keluar, jadi aman. Lo tahu sendiri kan, kalo si Bajingan bisa tiba-tiba muncul dari mana aja dan nangkep lo. Lo tahu sendiri kan, kemarin mereka bener-bener jago berantem," jelasku. "Mungkin maksud Bryan juga gitu, biar lo lebih aman, apalagi kondisi lo masih belum bener-bener fit."

"Tapi nggak bisa gitu, dong. Masa yang lain membahayakan nyawa buat nyelidikin sesuatu, gue malah sembunyi kayak pengecut di sini? Bahkan, Rosa aja ikut, lho." timpalnya.

"Gue juga nggak ikut muter-muter, berarti gue pengecut, dong?" sahutku spontan.

Mendengar kata 'pengecut' membuat perasaanku terasa tidak enak. Ingatanku kembali pada tulisan daftar kelemahan yang sempat kulihat kemarin. Siapa yang pengecut? Gue nggak pengecut, kok! Daftarnya pasti salah. Awas aja, sampai ketemu lagi, gue bakal bikin perhitungan sama dia.

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang