83. Joshua

48 12 2
                                    

Copyright © 2021 by Cindy Handoko

Aku tidak ingat apa yang terjadi.

Mungkin, Tuhan tersinggung karena aku menggunakan salib untuk berbuat kejahatan. Mungkin, aku sudah dikutuk untuk masuk neraka dari saat di mana aku memilih salib itu sebagai senjataku. Aku tidak tahu. Pokoknya, tiba-tiba saja, aku sudah kehilangan kesadaran entah untuk berapa lama, dan terbangun di sebuah ruangan sempit berpintu besi yang tampak seperti bangsal penjara.

Tangan dan kakiku diikat kuat menggunakan tali tambang. Kepalaku pusing. Napasku pendek dan lemah. Pasti mereka memberiku obat bius dengan dosis yang lumayan.

Hal pertama yang kupikirkan begitu membuka mata adalah Bryan.

Apa mereka juga menangkap Bryan?

Kamar mandi yang diperiksa Bryan letaknya hanya terpaut dua ruangan dari kamar Catherine tadi. Tentunya, ia tidak memiliki banyak celah untuk kabur sebelum mereka memeriksa semua ruangan di sekitar situ. Mendadak, sekujur tubuhku yang sudah lemas terasa lebih lemas lagi.

Pasti mereka juga menangkap Bryan.

Seingatku, paling tidak ada lima di antara mereka. Yang berhadapan denganku di luar ruangan tadi hanya ada tiga. Jadi, setidaknya ada dua lagi yang mungkin saja sudah menangkap Bryan pada saat itu.

Aku teringat kembali perkataan Gwen sebelum kami berpencar. Aku dan Bryan bukan wajah-wajah yang paling dicari oleh mereka, melainkan Gwen dan Alice. Tetapi, kalau kami tertangkap seperti ini, apa yang akan terjadi? Apa mereka akan mulai mencari Gwen dan Alice di seluruh penjuru rumah? Apa mereka berdua bisa bersembunyi atau kabur? Lalu, bagaimana dengan Sam dan Rosa? Kalau keroco-keroco Panji mencari di ruangan-ruangan kedok itu, mereka pasti bisa menemukan mereka berdua. Terlebih, kondisi mereka sedang tidak baik dan tidak memungkinkan untuk kabur...

Rasanya, aku putus asa. Setidaknya, tadi, kami masih memiliki rencana. Sekarang, kami tidak memiliki rencana apa pun, dan selama sirene belum dibunyikan, aku ragu para polisi akan berani menerjang masuk karena sama sekali tidak ada cara untuk melihat apa yang terjadi di dalam sini.

Aku memutar pandangan ke sekeliling ruangan. Bangsal itu benar-benar kosong, dan dinding dan lantainya pun mulus. Sepanjang perjalanan kemari, aku tidak melihat ruangan seperti ini, yang berarti ruangan ini pasti berada jauh lebih dalam lagi di arah yang berlawanan dengan benang. Di pintu besi ruangan, terdapat ventilasi kecil berjeruji, persis seperti ruang tahanan di penjara yang sering ditunjukkan di film-film.

Saat tatapanku berserobok dengan ventilasi itu, aku nyaris menjerit kaget.

Sepasang mata sedang mengawasiku dari luar sana.

"Dia udah bangun." Samar-samar, aku mendengar suara orang tersebut. Itu adalah salah satu keroco Panji. Bunyi-bunyian yang agak berisik terdengar di luar ruangan, kemudian pintu dibuka, dan seseorang masuk ke dalam.

Tentu saja, itu adalah Stalker.

Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya berjalan mendekat dan mengamatiku di balik topeng putihnya yang bertatapan kosong. Entah mengapa, aku tidak merasakan ketakutan. Mungkin karena aku tahu persis siapa yang ada di balik topeng itu, dan walaupun aku tidak tahu sifat seperti apa yang ia sembunyikan, aku tetap mengenalnya cukup baik.

"Ngomong aja," aku membuka percakapan. Suaraku terdengar serak karena lama tidak minum. "Gue udah tahu, kok, lo siapa. Bukannya kita akrab?"

Ia tetap tidak mau berbicara. Mungkin dikiranya aku hanya menggertak saja, atau berusaha mengorek-ngorek informasi. Pintar juga dia.

"Hei, roommate," sapaku pada akhirnya. "Lo nggak lupa nutup jendela kamar, kan, sebelum ke sini?"

Hening sejenak. Kemudian, cowok di hadapanku mendengus.

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang