4° Mimpi

41 15 27
                                    

Aku sekarang berada di lapangan luas dengan pohon beringin di depanku, aku sedang bermain petak umpet dan akan menghitung hingga 10 dengan menutup mataku.

Entah mengapa, auraku terasa begitu gelap saat di belakangku terdapat seseorang yang akan menghunuskan pisau padaku sambil tersenyum miring. Ia segera menancapkan pisaunya membuatku membuka mataku ketakutan.

"TIDAKKK!!!" aku menormalkan pikiranku dan menatap kamarku dalam keadaan gusar. Bajuku bahkan sangat basah bermandikan keringat.

Hanya karena mimpi, aku seperti menaiki roller coaster pagi ini.

Aku terdiam sejenak sambil menengok ke sebelah kanan dan menatap malaikat yang berada di sebelahku sedang duduk dalam keadaan menunduk.

"Kamu mengerjaiku ya?!" desakku menyelidik.

"Mengerjai apa? Mimpimu itu?" tanyanya membuatku menggulirkan mataku jengah.

Mimpi itu mengerikan, aku seakan bisa merasakan bagaimana aku berada di sisi tidak tahu apapun tentang orang di belakangku dan sisi yang tahu segalanya bahwa ada sosok manusia menyeramkan yang menyeringai akan menancapkan pisau dari belakang.

"Iya, itu terasa mengerikan tahu?!" lirihku ketakutan.

"Bagaimana kalau itu kenyataan?" aku menatapnya kesal dan mulai pergi keluar mencari dapur untuk mengambil minuman dingin yang tersedia gratis di sana.

Aku segera mengambil gelas dan mengisi air dingin itu perlahan hingga penuh di dalam gelas. Aku merasa kehausan dan butuh banyak air untuk menetralisir pikiranku pada hal yang mengerikan.

Bagaimana kalau itu kenyataan?

"Tidak, itu hanya mimpi."

Aku merasakan aura hitam di sekelilingku dengan seseorang yang membawa pisau dengan tetesan darah yang mengotori lantai dapur. Aku ketakutan dan segera menghabiskan air itu hingga tandas dan segera keluar membuka pintu utama untuk duduk di kursi sana sambil menatap pepohonan untuk menetralkan overthinking terhadap omongan malaikat menyebalkan itu.

Bagaimana kalau itu kenyataan?

Bagaimana kalau itu kenyataan?

"Kalau itu kenyataan? Aku harus bagaimana?" ucapku frustasi sambil menggaruk kasar kepalaku. Aku sangat ingin tahu apa yang terjadi.

Soalnya tempat dalam mimpi itu, mengingatkanku pada sesuatu ....

Aku segera membuang semua pikiranku dan mulai menyender di kursi menatap beberapa orang yang akan berangkat kuliah. Ada beberapa yang pamit denganku membuatku tersenyum menyapanya saat motor itu keluar dari pagar yang telah dibukakan oleh satpam tersebut.

Aku kembali merenung, aku belum mendapatkan pekerjaan setelah beberapa hari yang lalu dipecat. Aku terdiam pusing karena sulitnya mencari pekerjaan di tempat ini.

"Aku mencari di mana lagi ya?" tanyaku sambil mencari pekerjaan ditumpukan koran yang ada di depanku.

"Koran ini sudah beredar 3 tahun yang lalu," ucapku malas dan mulai mengembalikan koran itu dan merenung sebentar.

"Apa aku cari di ponsel saja ya?" tanyaku sendiri dan segera mengeluarkan ponselku yang agak usang. Ponsel layar sentuh ini mungkin sudah berumur 5 tahun saat aku mendapatkannya setelah berhasil menabung. Banyak yang bilang aku sebagai orang kuno yang tidak punya ponsel, tapi setelah memilikinya aku bahkan hanya membukanya untuk melihat jam.

Aku sangat malas memegang ponsel, tidak seperti anak sebaya lainnya. Emang ada apa di ponsel sampai membuat banyak orang kecanduan?

Aku segera menepis pikiran itu dan mulai melihat beberapa lamaran pekerjaan yang dibuka lewat web.

"Ini di Jakarta, Bandung, Bali, dan Pontianak." Aku menghela napas gusar tidak menemukan Yogyakarta sebagai tempat lapangan pekerjaan.

Setelah mencari hampir 1 jam dengan beberapa orang yang datang dan pulang dari kos-kosan, aku tidak menemukannya. Saat menemukannya pun letaknya sangat jauh dari tempatku menginap.

"Aku harus berkeliling lagi." Aku tersenyum menguatkan dan segera pergi mandi untuk berkeliling dan mungkin akan memakan waktu seharian.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

Setelah keluar dari kos-kosan setengah jam kemudian, aku segera mengeratkan tas pinggangku dan berjalan mencari pekerjaan dengan berjalan kaki untuk meminimalisir persediaan keuangan yang semakin hari semakin menipis. Aku tidak tahu akan sampai kapan bertahan hidup dengan uang sisa yang aku kira akan habis sekitar dua minggu lagi.

Setelah mengunjungi beberapa tempat dalam waktu 2 jam, aku masih tidak bisa menemukannya. Aku berhasil menemukannya dan persyaratannya sebatas SMA. Aku meringis sedih karena aku hanya lulusan SMP yang bahkan sudah berbeda zaman dengan sekarang. Saat melihatku pasti banyak yang akan mengira kalau aku hanya anak putus sekolah yang meratapi hidupnya dengan menyedihkan.

Sekarang hari sudah mulai siang, aku segera pergi mampir di warung makan kecil yang sepertinya pernah aku lewati dulu. Aku cuma bisa menaikkan bahuku tanda tak tahu dan segera memesan nasi dengan lauk tahu dan tempe kesukaanku saat sedang kantung kering seperti ini.

Usai makan, aku duduk menyender pada tembok dan menghabiskan teh hangat lama karena kelelahan. Mungkin pulangnya aku harus mencari angkutan murah atau segera pulang karena aku telah jalan sejauh ini.

Setelah beberapa menit berlalu, aku segera membayar makanan itu dan mulai keluar untuk berjalan ke depan warung ini dengan pandangan menyelidik.

Ada sebuah pohon besar yang dilapisi tembok putih di sekelilingnya. Aku ingin melihatnya dan segera menyebrangi jalanan yang agak ramai untuk segera masuk ke area kanan, sisi kosong yang tidak ditembok. Aku menemukan sebuah lapangan luas yang diisi beberapa orang anak muda bahkan dewasa yang sedang bermain-main di sana.

Aku menatap sendu lapangan yang ku lihat saat ini. Aku sangat ingat sekali kalau dulu aku bersama teman-temanku rela berjalan agak jauh untuk bermain bersama di sini. Seketika aku terdiam menatap pohon beringin di depanku.

Aku tersenyum, tidak menampik mengenang bagaimana masa kanak-kanakku yang belum kandas di makan angin. Kebakaran itu telah menyebabkan aku kehilangan segalanya yang menyenangkan.

Aku berjalan maju menuju pohon beringin dan segera mengelusnya erat, tidak lupa bersender untuk segera menikmati bagaimana banyak anak-anak yang berlarian sambil tertawa bahagia.

Anak kecil hidup tanpa masalah dan orang dewasa selalu iri pada kehidupan mereka.

"Kakak, ayok lari?!" ajak seorang anak kecil berkepang dua pada seseorang lelaki dengan rambut klimis. Mereka bermain riang padahal waktu masih menunjukkan pukul 2 siang.

"Gimana kalau main petak umpet? Kakak yang jaga?" anak berkepang itu menganggukkan kepalanya dan berlari bersembunyi saat anak lelaki itu segera berada di sebelahku sedang menutup mata dan menelungkupkan tangannya di pohon beringin.

"Satu .... "

"Dua .... "

Suaranya berbisik, mengingatkanku pada suatu hal yang membuatku sesak.

Aku hanya bisa memejamkan mata dan merasakan keheningan yang mencuat saat aku membuka mataku dan menatap keheningan di sekitarku sampai dua anak kecil yang ku kenal berlarian ingin bermain sesuatu yang sudah kutebak akan apa.

Itu aku ....

"Kamu menyadari sesuatu?" aku menatap kaget malaikat di sampingku yang sedang melihat kedua anak kecil itu sedang berbicara sesuatu dan mereka memisahkan diri sedangkan anak perempuan yang lebih tua menutup matanya di pohon beringin.

"Tidak?! Jangan katakan!" teriakku sesak menatap mereka, dalam hitungannya sesuatu akan terjadi beberapa detik lagi.

"Kembalilah ke duniamu," saat itu aku merasakan pukulan keras di tengkukku hingga membuatku jatuh ke tanah.

"Sadarlah sesuatu dan kamu akan segera mengetahuinya," suara itu seakan menyihirku membuatku tertidur pulas setelahnya.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃




Finding Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang