7° Jembatan

40 11 26
                                    

Sekarang aku bersama Mbak Yessa sedang duduk di lapangan, kebetulan dari arah sini, kita bisa melihat gunung merapi secara jelas.

"Enak enggak tinggal di sini?" tanya orang di sebelahku sambil menyeruput susu kotak di tangannya.

Aku hanya bisa terdiam tak bisa berkata apapun. Yogyakarta merupakan tanah kelahiranku, aku tidak bisa benci padanya setelah banyak bencana yang telah aku lalui.

Mau bilang benci pun, semua akan menganggap diriku aneh. Lagian tidak ada salahnya membenci sebuah kenangan dibalik latar kelamnya.

"Enak, Mbak. Pemandangan disini bagus."

Omonganku tidak salah, Yogyakarta merupakan tempat yang indah. Banyak destinasi yang sangat ingin aku kunjungi, kalau aku banyak uang, aku pasti bakal mengelilingi Yogyakarta dengan uang segepok hingga habis tak bersisa.

"Yogyakarta tidak pernah mengkhianati siapapun pengunjung yang akan datang, semua akan sangat bangga mengatakan bahwa tempat ini indah. Banyak yang ingin tinggal disini, contohnya dari banyaknya penghuni kos-kosan dan dirimu yang tinggal sementara di tempat pelajar ini. Alasan klasik nan eksotis menjadi sejumput mata yang memiliki keterkaitan khas untuk mencintai Yogyakarta." Aku mengangguk penuh persetujuan dengan apa yang Mbak Yessa katakan. Dia pasti seseorang yang baik dan jenius, pandai menghasilkan uang dan mempunyai budi pekerti yang luhur membuat dia pantas untuk dicintai, tidak seperti diriku.

Aku hanya mendengarkan ocehan yang menurutku kurang berkualitas, tapi karena dia Mbak Yessa, aku menghargai semua yang dia katakan. Bagiku omongannya adalah sebuah hal penting yang layak aku dengarkan hingga akhir.

"Ohh iya Mbak, makasih roti sama kopinya." Dia menengok ke arahku dan aku bisa melihatnya menatap bungkusan roti dan botol kopi yang sudah habis tidak bersisa. "Sudah santai saja, kalau mau lagi bilang aja. Aku malah yang makasih kamu udah mau dengerin cerita panjangku ini."

"Enggak apa, Mbak. Lagian aku juga lagi enggak sibuk. Gapapa Mbak gangguin aku juga," ucapku santai, aku senang mendengar ucapanku sendiri.

"Kamu sangat baik, bahkan semua orang tidak mau mendengarkan celotehanku. Aku dididik untuk menjadi sempurna, aku anak tunggal dan kedua orang tuaku bercerai. Aku tinggal bersama nenekku, tapi dia masuk rumah sakit karena penyakit yang dia derita." Aku menatap dia tak percaya, ternyata orang baik akan hidup dengan takdir buruk sesuai dengan bagaimana kesabaran yang mereka hadapi.

"Yang sabar, Mbak. Aku doain semoga nenek Mbak cepat sembuh, biar kalian bisa hidup bersama lagi," ucapku mengelus pundaknya saat air mata menetes dari kedua matanya.

"Makasih Ela udah doain yang terbaik buat nenekku." Dia mengelap matanya dengan kedua tangannya sambil tersenyum berdiri dari duduknya.

"Ayok kita jalan-jalan lagi, hilangkan stres yang membebani pikiran kita!" tegasnya kuat membuatku melampirkan senyuman kecil yang tidak akan dilihat olehnya. Aku segera bangun dari dan mengikutinya melangkah menuju motor yang terparkir.

Mbak Yessa orang yang hebat, aku iri dengannya.

"Ayokk, kak. Aku diajak kemana aja juga mau, ke kutub utara juga gapapa," ucapku membuat dia tertawa geli.

Senang rasanya membuat seseorang tertawa dengan ucapan kita.

Setelah memasang helm yang sudah berada di kepala, aku segera menaiki motor vespa miliknya dan kami segera melaju dengan kecepatan sedang ke arah pusat Yogyakarta.

Tapi sesuatu terjadi pada diriku, itu tidak pernah dikehendaki olehku sebelumnya.

Telingaku berdenging merasakan sakit hingga mulutku hampir menjerit, dengan suara bisikan terdengar pelan namun jelas hingga akhir.

"Jangan terlalu bahagia dengan kehidupanmu saat ini."

Siapa yang mengatakan itu?

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

Setelah kejadian itu, kami makin dekat dan aku bahagia memiliki teman baru yang nampaknya tidak mempermasalahkan makhluk introvert sepertiku.

Hari ini keadaan kos-kosan sedang sunyi, mereka sedang ada jadwal padat kuliah yang tidak bisa ditunda, kecuali Mbak Yessa yang sedang menjenguk neneknya yang sedang sakit.

Aku merasa bosan, tidak ada malaikat putih yang menggangguku, dia sudah hilang sekitar 2 harian ini. Terakhir aku lihat dia sedang menjadi Pak Adri bermain catur di teras kos-kosan, setelahnya bahkan dalam wujud apapun dia tidak pernah terlihat.

Aku berjalan pergi dari kos-kosan tanpa arah menikmati pagi dengan panas cerah walaupun semilir angin yang menyapa terkesan dingin. Memang Yogyakarta cukup dingin apalagi aku berjalan menuju dataran tinggi, entah apa yang aku lakukan di sana aku pun tidak tahu, mengikuti alur air mengalir hingga tidak terasa aku sampai di jembatan kecil yang dibatasi dua besi cat kuning dan hitam yang sudah sering aku lihat. Aku segera berjongkok dan menyenderkan kepalaku di jembatan kecil itu, mungkin jembatan ini hanya bisa dilewati oleh dua mobil saja. Ya ... itu cukup besar sepertinya.

Aku merenung di sana dan tersenyum mengingat Mbak Yessa membelikanku sebuah bakpia untuk dimakan di rumah, perjalanan sederhana dari aku yang selalu menemaninya pergi ke minimarket mengantarkanku menjadi teman dekatnya. Sebuah takdir simpel, tapi aku bersyukur akan hal itu.

Takdir memang cukup sulit untuk ditebak, tapi dengan sebuah kejadian sederhana bisa mengubah seluruh takdir selanjutnya. Aku yakin pertemananku dengan Mbak Yessa bisa merubah takdirku yang kesepian menjadi bahagia.

"Sedang apa kamu disini? Apa kamu ingin memancing ikan?" aku menatap malaikat putih yang berada di sampingku sambil menatap aliran sungai yang mengalir cukup deras. Aku mengabaikannya.

Dan ya, dia selalu muncul secara tiba-tiba. Padahal sedari di kos-kosan aku mencarinya, memang dia sangat menyebalkan.

"Kamu mengabaikanku lagi, untuk apa kamu ke sini lagi? Ku kira hidupmu sudah lebih baik karena Yessa sudah menjadi teman baikmu." Aku menggeleng pelan. "Dia memang sudah menjadi teman baikku, tapi jembatan sudah menjadi teman baikku sedari dulu, 20 tahun yang lalu."

"Ckckck, apa kamu tidak punya akal?" aku mendengus sambil menggelengkan kepalaku kencang mendengarnya. "Tidak begitu?! kau tahu bukan jembatan memiliki makna spesial bagiku, untuk bisa mati kita bisa melakukan segalanya, tapi kenapa sampai sejauh ini aku tidak bisa mati?"

"Entahlah, mungkin takdir."

"Itu karena jembatan ini, menurutku jembatan itu adalah tempat yang suci, sudah banyak orang yang bunuh diri di jembatan, mungkin dia akan merasa kesal dengan banyak orang yang bergantung pada dirinya, melakukan dosa dengan sebab aneh, sama sepertiku."

"Itu menurutku cukup mengesankan, tapi logikanya kamu seperti tidak punya akal," sarkasnya membuatku mencibir.

"Terserahlah, sana pergi aku sedang tidak membutuhkanmu!" aku menyengir setelahnya dan dia tak lama pergi, membuatku sangat gembira.

Tapi tidak lama aku memasang ekspresi datar, saat malaikat hitam datang dengan aura suramnya.

Mungkin sedari tadi dia di sekitar sini, tapi tidak mau bertemu dengan malaikat yang katanya alay itu.

"Kamu percaya dengan kamu yang bisa cepat menyusul keluargamu?" tanyanya membuatku terdiam menatapnya.

Percakapan itu, aku mengingatnya saat 20 tahun yang lalu. Malaikat putih membicarakan bahwa aku bisa mati kalau ada orang yang mau bertukar nyawa denganku.

"Aku percaya, malaikat putih pernah menceritakannya padaku." Malaikat hitam yang tadi agak jauh dari pandanganku tidak lama mendekat hingga tersisa beberapa langkah. "Jadi apa yang kamu lakukan sekarang?"

"Aku? Aku akan memperjuangkannya, aku mau diriku mati lebih cepat," tegasku dengan penekanan di setiap katanya.

"Yakin? Tidak mau mencari sesuatu tentang pisau itu?" aku terdiam mendengarnya.

Malaikat hitam benar, aku belum tahu apa yang terjadi dengan pisau itu.

"Aku akan mencarinya setelahnya aku akan mati, aku berjanji akan hal itu."

"Kamu—kamu tidak akan pernah menepatinya."



Finding Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang