30° Tak 'kan berakhir

27 6 3
                                    

Alamat itu sebenarnya terlalu jauh rupanya, Aldo bahkan harus menjumpai jalanan berliku karena berada di dataran tinggi.

Kemarin pagi sebelum Aldo berangkat ke kantor, dia menyuruh aku dan Lala menunggunya untuk pergi besok pagi. Entah karena apa kami hanya menurutinya dan menunggunya untuk cuti besok.

Aku seperti teringat jalanan ke rumah Aldo dulu, Aldo juga mengatakan bahwa alamat yang dikirimkan masih satu kota dengannya. Aldo sudah berada di area perkotaannya sedangkan rumah milik Siska ini berada di perdesaan yang cukup terjal.

Setelah bergerak cepat selama hampir 2 jam, kami akhirnya bertanya pada penduduk sekitar mengenai alamat itu.

Tak jauh dari sana, aku segera mengatakan pada mereka melihat nenek itu sedang berjemur di bawah sinar matahari yang sudah agak menyengat.

Kami segera berjalan sambil terdiam perlahan menatap nenek itu yang sedang menyender pada kursi roda sambil menutup matanya. Sepertinya dia sedang tidur.

"Permisi, Nek," ucapku agak kencang karena berada jauh darinya.

Aku merasa dia akan berteriak setelah ini, jadi karena itu aku akan menjaga jarak padanya.

Dia membuka matanya dan napasnya mulai tercekat. Dia bergerak ke arah lain yang intinya tidak menatapku sambil menahan keringat dingin yang mulai menjalar.

"Saya di sini karena surat ini, Nek." Aldo segera meraih kertas yang berada di genggamanku dan mulai mendekati nenek itu yang terdiam melihatnya.

"Nenek melihat saya ... pasti teringat seseorang, bukan?" aku bertanya dan dia segera mengangguk pelan.

"A-apa kowe anaknya Eyla?"

*kowe = kamu

Aku merasa darahku berdesir dengan cepat, datang ke selingkuhan ayahku mungkin adalah salah satu hal yang buruk. Aku sudah merasa ingin memarahinya sejak aku melihatnya.

"Sedang apa kalian di sini?" aku menatap kursi roda itu bergerak mundur dan melihat Yessa yang sudah kepalang marah.

"Kenapa kalian bertanya pada nenekku?" dia segera bergerak memasuki neneknya ke dalam rumah membuat Lala bergerak menghalanginya pintunya.

"Kamu mau tahu seluruh jawaban yang sangat ingin kamu tahu, bukan?" tanya Aldo menatap tajam Yessa. "Kamu juga harus lebih sopan sedikit pada orang tua, kita semua di sini bahkan lebih tua darimu, termasuk Eyla."

"EYLA?!" tubuh nenek Yessa bergetar ketakutan saat mendengarnya. Dia bergerak ke sana kemari merasakan goncangan dari kursi rodanya saat Aldo dan Yessa saling menarik tak mau kalah.

"A-aku harus memberitahu mereka," ucap Nenek itu telak membuat Aldo segera menepis tangan Yessa dan bergerak agak mendorong kursi itu mendekat ke arahku yang sedang menahan pilu di dada.

"Kenapa kalian memaksa nenekku?! Apa yang kalian bicarakan tadi? Apa kalian tidak bisa melihatnya kesakitan begitu?" Yessa mendekat penuh amarah dan menatapku tajam. Aku bisa melihat pisau itu di balik saku celananya.

"Apa ibu bisa menjawab pertanyaan kenapa Siska, anak ibu sangat ingin menemuiku?"

"Ibuku sudah meninggal?!" pekik Yessa.

"Dia berpesan kepada sepupuku sembilan belas tahun yang lalu untuk memberitahukan kepadaku." Aku menatapnya tajam. "Kenapa ibumu sangat ingin bertemu denganku? Apa kamu yakin tidak ada sesuatu?" tanyaku sambil menatap perempuan di kursi roda itu yang menunduk dan mulai menangis.

"Aku hanya meminta maaf datang setelah 19 tahun lamanya, datang dalam keadaan yang bahkan aku saja sangat sungkan ke sini." Aku menatap nenek itu tajam, seperti seorang cucu yang marah kepada neneknya.

Finding Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang