8° Sedih

27 13 27
                                    

1999

"Eyla, ojo nangis lagi, kulawarga kowe uwis bahagia ning kana." Aku menggeleng dan masih menangis tanpa henti. Sepupuku, Aldo, sudah menenangiku tapi semua tidak berefek apapun.

Sudah dua hari sejak semua keluargaku meninggal, aku bahkan tidak bisa melihat jasad mereka yang sudah setengah hangus. Aku bahkan sampai pingsan saat datang ke ruang jenazah saat itu.

Kini keluargaku sudah dikebumikan, tapi aku menjadi orang bodoh yang datang saat keadaan mulai sepi. Alasannya karena aku takut, apalagi menghadapi cemooh orang yang berkata bahwa semua ini karena ulahku.

Aku menghadapi emosi hebat, tapi aku sedikit bersyukur karena Aldo mau menghiburku dengan bermain congklak, ular tangga, dan lain sebagainya. Walaupun aku terus saja diam menatapnya, tapi dia menjadi sosok yang masih bermain denganku.

Rumahku sudah hangus terbakar, tidak ada satu pun yang dapat diselamatkan. Aku bahkan meminjam baju Aldo yang sangat longgar. Saat ini akhirnya aku tinggal bersama Paman dan Bibiku, dengan Aldo salah satunya.

"Iso tinggalin kulo dewekan?" tanyaku sambil menyender pada kasur yang agak kusam. Aldo mengangguk dan segera menaruh sepiring nasi beserta segelas air ke atas meja dan dirinya yang keluar dari kamar dengan menutup pintu.

Blam!

Yang aku lihat hanya keheningan, aku tidak bisa merasakan kehidupan yang aku dapatkan. Tubuhku lemah, aku seakan mati rasa pada seluruh kenyataan yang terjadi.

Setelah seminggu berlalu, aku dimarahi oleh pamanku karena suara teriakanku pada malam hari.

Aku berteriak menangis memanggil nama orang tuaku, tidak lama pamanku membuka pintuku kencang sambil memukul lantai dengan sapu ijuk.

"Koe iso diam ora?! Iki sudah wengi! Kalau kowe ora mau turu, metu sana?!"

BRAK!

Pintu tertutup kembali, aku kembali menangis dengan volume kecil. Aku mengelap pipiku yang basah sambil menggerakkan diri untuk membuka jendela kamar yang menghubungkan dengan kebun belakang yang menyeramkan.

Aku bergerak ingin keluar dari rumah, tapi seseorang membuka pintu dan memegang tanganku erat.

"Ning kono peteng, Eyla. Ayok turu lagi," ajaknya membuatku menggeleng pelan.

"Kulo ora pengen tinggal ning kene."

Aldo hanya bergeming menatapku dan segera memelukku erat, "kulo paham urip kowe berat, tapi berjuanglah untuk urip karena kulawarga kowe. Tuhan pasti punya alasan kowe urip hingga saat ini."

Aku hanya membalas pelukannya. Tapi aku tidak bisa memegang janjinya.

Selama seminggu itu, aku mencari tas untuk menyimpan beberapa pakaian yang akan kugunakan untuk melarikan diri. Aku menaruh tas itu di bawah tempat tidur, aku yakin tidak akan ada yang menemukannya.

Aku hidup dengan tentram, tapi tentu saja Paman selalu meremehkanku, bahkan dia mengejek ayahku yang tidak punya moral. Aku hanya bisa terdiam, aku tidak bisa melawannya, itu sama saja aku tidak berterima kasih diberi tempat tinggal di sini.

Hari yang ditunggu pun tiba, aku segera mengeluarkan tas itu untuk aku taruh di punggungku seraya membuka jendela itu perlahan. Aku keluar dari lingkungan yang sudah sangat sepi, karena sekarang sudah jam 11 malam saat aku lihat di jam tanganku. Jam tangan ini satu-satunya barang berharga yang tersisa, yang tanpa ku sadari bertahan hingga 20 tahun lamanya.

Aku berjalan luntang-lantung entah ke mana, ini bukan kota kelahiranku, walaupun ini masih berada di wilayah Yogyakarta, tapi tempat ini sangat sunyi karena berada di area pegunungan, bahkan jalannya masih rusak. Aku jarang mengunjungi tempat ini, memang ayah dan pamanku punya masalah yang tidak pernah aku ketahui sejak beberapa tahun terakhir.

Aku tertidur saat pagi menjelang, di suatu warung kosong yang sudah tidak terpakai. Saat itu aku langsung saja kehilangan arah, tapi saat melihat banyaknya uang di ranselku, aku bersyukur atas karunia Tuhan dan segera bertanya kepada banyak penduduk mengenai di mana letak terminal berada.

Aku sampai di sana dan membeli asal tiket menuju ke luar Provinsi Yogyakarta, aku tidak peduli dengan apapun yang terjadi.

Hingga titik temu itu, setelah aku sampai di kota yang tidak pernah aku kunjungi, aku tanpa berpikir panjang memutuskan untuk mencari jembatan dan lompat di sana, tapi memang keadaan berbalik saat ada malaikat yang menolongku, dialah yang berada di sampingku selama 20 tahun.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

2019

"Ceritamu sangat menyesakkan," aku mengangguk sekenanya mendengarnya.

Tidak, aku tidak menceritakan semuanya. Aku hanya menceritakan bagaimana orang tuaku meninggalkanku 3 tahun yang lalu karena penyakit dan aku hidup sebatang kara saat itu. Aku ditolong oleh Pak Adri, pamanku sendiri, yang kenyataannya memang dia penolongku, tetapi wujudnya adalah malaikat.

Aku yakin Mbak Yessa orang yang pintar, dia pasti akan mencari jika aku bilang kalau seluruh keluargaku mati dalam kebakaran, berita itu mungkin terkenal saat itu, aku tidak mau mengungkapkan rahasiaku pada orang yang baru hadir dihidupku.

"Kamu harus sabar, Tuhan pasti ganti kesedihan kamu dengan senyuman." Aku hanya bisa mengernyitkan dahi.

Terkadang diriku ingin menyerah, mencari kebahagiaan dalam 20 tahun terakhir bukan perkara yang mudah.

Apa aku boleh marah pada Tuhan atas apa yang terjadi padaku?

"Aku belajar dari kamu, hidup memang tidak becus menakdirkan diri kita menjadi lebih ceroboh daripada siapapun." Aku menatapnya lekat, omongannya terdengar agak kecewa dan marah kepada Sang Pencipta.

"Aku harus kuat, Tuhan pasti senang aku masih bisa bertahan. Aku ingin mewujudkan keinginan seseorang—" Ia menatapku lalu menatap pemandangan indah sore hari dari teras dengan secangkir teh hangat yang menemani. "Aku ingin membuat nenekku bahagia, terlebih walaupun orang tuaku tidak pernah ada dalam hidupku, aku harus bisa membahagiakan nenekku selalu."

Aku tersenyum bernapas lega, dia tidak jadi marah dengan Tuhan.

"Ela mau gorengan enggak? Kayaknya anak kos-kosan sedang buat makanan di dalam." Aku cuma mengangguk menyetujui dan dia dengan riang berjalan membuka pintu utama untuk masuk ke dalam.

Aku mengambil secangkir teh yang sudah tidak lagi sehangat tadi dengan dua tegukan, aku segera menaruh cangkir itu pelan dan menatap sesosok tak kasat mata yang berjalan ke arahku.

"Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku sering ada di sini, bukan?" tanyanya membuatku mengangguk ragu sambil mengedarkan pandanganku. Ternyata sedang tidak ada orang di area teras, satpam pun juga tidak ada di sana.

"Aku pikir kamu akan dapat menemukan jawabannya sebentar lagi, tunggu saja tanggal mainnya." Sosok itu tidak lama melayang dan segera menghilang dalam aura hitam secara misterius.

Aku cuma bisa menegakkan punggungku yang agak pegal.

Aku paham kenapa malaikat hitam selalu datang kesini beberapa minggu terakhir.

Aku yakin ada hal yang buruk, semoga itu tidak merugikan siapapun.

"Kamu harus bersiap-siap, akan hal buruk yang terjadi .... "

Suara bisikan itu membuatku tremor dalam sekejap.

Ada apa ini?

Aku lagi-lagi tidak paham tentang masa laluku dan masa depanku yang akan terjadi nanti. Terutama ketika aku ingin mengetahuinya lewat malaikat putih, dia pasti tidak pernah ada di sampingku.

"Kenapa aku lebih membutuhkan malaikat hitam daripada malaikat putih? Dia seakan memberiku banyak jawaban atas segalanya .... "

Aku yakin malaikat putih menghindari atensinya, aku sangat yakin akan hal itu ....

Aku harus mencari tahu sesuatu, untuk menghindari bahaya di dalam kos-kosan ini ....



Finding Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang