26° Rumah

22 11 27
                                    

Aku menerima ulurannya, aku segera memegang lengan jubahnya yang tampak menerawang, tanpa aku bisa merasakan lengannya, aku sudah berpindah ke suatu tempat.

Aku sudah pindah di pohon beringin yang menjadi tempatku dulu bermain.

"Kenapa kamu membawaku ke sini?" dia mulai terbang mendekati pohon beringin yang beriringan menyertainya. Daunnya mulai berjatuhan seperti menandakan kedatangannya.

"Kehidupanmu mungkin akan sangat menyedihkan, seiring kamu tahu segalanya ... apa kamu mau melanjutkan?" aku terdiam mengangguk membuatnya melangkah menembusku membuatku pindah di suatu tempat yang agak sangat sepi.

"Kamu mengenali tempat ini?" aku menggeleng saat dia memasuki sebuah tanah dengan rerumputan tinggi. Aku segera mendekatinya tapi rumput itu seperti pagar yang sulit untuk aku lewati.

"Kamu pasti ingat itu ...." aku mengambil sesuatu yang membuatku terdiam ketakutan.

"Bagaimanapun hidupmu, akan ada suatu ketika kamu akan kembali—"

"Ini ...."

"—ke rumahmu sendiri."

Aku menggeleng tidak percaya, tapi suatu kenyataan menyulitkanku bahwa aku telah kembali.

Aku memegang garis polisi yang telah sobek dengan erat sambil menahan tangis yang mulai berderai. Seiring aku mengingatnya, aku tidak tahu harus mengatakan apa saat memori itu silih berganti saling menampakkan diri.

"Takdir telah membuat keluargamu mati ... tapi takdir telah menolongmu untuk hidup lebih baik."

"Aku hidup dengan buruk ... apa kamu tidak tahu apa yang aku rasakan?" aku memarahinya merasakan amarah pada seluruh jawabannya.

"Sebentar lagi kamu akan tahu, bahwa jika takdir tidak mematikan mereka, kamu akan hidup lebih buruk dari ini."

"Seburuk apapun takdirku, aku memang sudah memiliki takdir yang buruk." aku segera melanjutkan ucapanku. "Aku hidup sebatang kara selama 20 tahun, mungkin adanya malaikat pelindung yang menolongku aku bisa merasakan bahwa dia hidup bersamaku, tapi nyatanya tidak, dia tidak bisa merubah takdir. Aku selalu bahagia bersamanya, tapi saat aku ketakutan dan sedih, dia seperti menyakiti dirinya sendiri untuk menolongku. Apa aku benar?" dia terdiam.

"Mungkin takdir meringankan sedikit ketakutanku, tapi tanpa keluarga satu pun? aku bahkan seperti berjalan di tali gantung yang semakin rapuh." Aku terdiam mulai menunduk, tak bisa melihat sosoknya yang juga menunduk.

"Aku selalu ingin bunuh diri, aku bukan tidak menyadari adanya malaikat penjagaku yang senantiasa menolongku. Dia sahabatku, tapi keluargaku lebih penting. Jadi jangan membandingkan apapun yang menurutmu baik dan buruk, semua sama-sama membuat orang terlena dalam sekejap."

"Oke, kamu benar. Tapi tujuanku bukan untuk mendengar ceramahmu itu." Aku terdiam mengangguk. "Aku tahu."

Aku mungkin sudah mengetahui maksud dan tujuannya ke sini.

"Halo, Eyla." Suara itu mengejutkanku membuatku menatap Yessa bersama malaikatnya dengan memegang pisau di tangannya.

"Apa kalian ingin menjebakku?" aku terdiam khawatir saat ketiganya tertawa terbahak-bahak.

Ini tidak lucu, kalian seperti mentertawakan hidupku.

Aku menggeram saat Yessa menatapku sebal. "Ronald itu ternyata sangat bodoh, padahal aku sangat menantikan kematianmu." Dia bergerak beberapa langkah mendekat, aku langsung saja mundur hingga batas kemampuanku. Lenganku dipegang olehnya.

"Dengarkan dulu ... tidak asyik kalau kamu tidak tahu segalanya. Kamu sudah mendengarkan cerita Ronald, apa kamu tidak mau mendengarkan ceritaku?" aku menggeleng tidak mau saat pisaunya mengarah pada lenganku.

Finding Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang