"Kita adalah sepasang rasa yang penuh luka"
Kumohon pada semesta untuk berada dipihakku, karena aku hanya punya diriku dan semesta jika ingin membantu.
Terhitung sudah satu Minggu setelah kepergian Tania Maura bundanya Zafran Adiputra dan istri dari Hardinata Adiputra. Setelah ditinggal salah satu penghuninya, kondisi rumah itu masih sama, menampakkan kesunyian dan kesenyapan yang berselimutkan duka dan awan hitam yang semakin menebal. Hardinata masih berlarut-larut dalam kesedihan yang semakin dalam ia gali, seakan belum menemukan titik terang untuk bisa keluar dari sana, kecuali ketika dia bisa melihat kembali sang pujaan hatinya. Namun ia tau hal itu adalah satu kemustahilan. Ia hanya belum siap untuk hidup dan mengurus semuanya sendiri tanpa wanita itu.
Janji yang mereka ucapkan untuk hidup bersama sampai tua, membesarkan buah hati mereka dan melihatnya menjadi dewasa, harus pupus dan dipatahkan oleh sebuah kematian.
Tak ada yang bisa menentukan seperti apa manusia akan hadir dan dengan cara seperti apa manusia akan kembali. Kembali ke pangkuan yang mencipta.
Tetapi begitu sesak rasanya ketika menyaksikan orang yang disayangi harus merenggang nyawa dengan erangan kesakitan, dengan sekujur tubuh yang dipenuh luka. Pergi tanpa memberi tanda ataupun firasat sedikitpun.
Tania hanya pamit untuk mengantar anak laki-laki mereka ke sekolah pagi itu, dan berjanji akan kembali pulang setelahnya, tapi siapa sangka pulang yang dimaksud adalah pulang ke rumah dari sebenarnya rumah.
Tania Maura pergi untuk selamanya, menemui keabadian yang sebenarnya, dan meninggalkan suami dan jagoan kecilnya.
🥀🥀🥀
Zafran tengah merapikan alat tulisnya, memasukkan beberapa buku kedalam tas karena besok ia akan kembali bersekolah, kondisinya sudah lumayan membaik, hanya tinggal bekasnya saja yang setengah mengering dan terbungkus perban.
Seseorang mengetuk pintu kamar anak itu, segera ia berlari ke sumber suara dan membukanya. Zafran kembali berjalan ke arah meja belajarnya, diikuti oleh seseorang yang menenteng baju seragam sekolah yang akan ia kenakan besok.
"Abang... Ini seragamnya ya, bibi taruh di lemari"
"Iya bibi, terima kasih"
"Bang, Abang sudah makan?"
"Belum bi"
"Yasudah, sini bibi bantu membereskan tas Abang, habis itu kita makan ya?"
"Iya bibi"
"Anak pintar" ucap bibi sembari mengelus pucuk kepala anak kelas 5 SD itu.
Setelah selesai dengan alat tulis dan perlengkapan sekolahnya, Zafran berjalan kearah meja makan bersama bibi, dan duduk di kursi yang biasa dia tempati.
Di sana sudah ada ayahnya, yang tengah menyuapkan makanannya tak selera. Sekilas melihat putranya, setelah itu suara dentingan sendok cukup keras terdengar, membuat Zafran dan bibi yang tengah menyendok kan lauk untuk Zafran terlonjak, kaget.
Sudah dipastikan itu adalah Hardinata, ayahnya, yang menghempaskan sendok ke piring dihadapannya dan beranjak pergi meninggalkan meja makan dan membuat Zafran menatap punggung laki laki itu heran. Bibi menatap kearah Zafran dengan tatapan sendu, tidak habis pikir, anak sekecil itu harus menerima perlakuan layaknya orang yang sangat dibenci oleh ayahnya sendiri.
Bukan Zafran tidak merasa aneh dengan sikap ayahnya, hanya saja sekali lagi ia terlalu kecil untuk tau bagaimana mengartikan dan mengekpresikan suasana saat ini.
"Ehemm, Abang makan saja ya bang. Bibi temenin, makan sama bibi aja ya"
"Tapi Abang mau makan sama ayah, kok ayah makannya gak habis bi, kan mubazir."
"Ayah mungkin lagi gak enak badan, gapapa, Abang makan sama bibi aja ya. Nih tambah lagi lauknya" menambahkan ayam pada piring anak itu.
Lagi lagi anak itu hanya bisa mengangguk dan menganggap benar semua yang dikatakan oleh orang akan sikap ayahnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Zafran sudah rapi dengan seragamnya dan tas ransel yang ia bawa pada sebelah pundaknya. Keluar kamar dan menuju ke meja makan bersiap untuk sarapan. Tapi pagi ini, ia tidak menemukan ayahnya duduk dimeja makan seperti pagi biasanya. Di dapur hanya ada bibi yang sedang menyiapkan kotak bekal untuk Zafran.
Anak itu menghampiri bibi yang sedang berjalan ke arah meja makan.
"Bibi, ayah kemana?"
"Ayah masih tidur bang, Abang sarapan saja dulu ya, nanti pergi sekolahnya biar bibi yang antar"
"Iya bibi" Zafran adalah anak yang pintar dan penurut, ia adalah anak yang diajarkan untuk berbuat baik dan tidak membangkang pada perkataan dari orang tua.
Sebelum ia berangkat ke sekolah. Anak itu berlari menuju kamar ayahnya, dan membuka kenop pintu itu secara perlahan. Kondisi kamar itu seperti tidak terurus. Baju yang berserakan di atas karpet, serta beberapa benda yang harus ya tertata rapi di meja, malah berhamburan dan sudah berbentuk serpihan dan berserakan di lantai.
Anak itu berjalan perlahan mendekati ayahnya yang sedang tertidur.
"Ayah... Ayah bangun, ayo antar Zafran ke sekolah ayah, bukannya ayah juga harus masuk kerja. Ayah.. ayahh" menggerakkan perlahan tubuh ayahnya.
Merasa ada yang mengganggu tidurnya, Hardinata, ayahnya Zafran segera mengambil posisi duduk, dan mendorong anak itu kencang, hingga ia terjatuh ke lantai.
"Jangan ganggu saya Zafran. Saya lelah, dengan semua ini. Kamu pergi saja sekolah sendiri, atau minta antar sana sama bibi. Jangan harap saya mau mengantar kamu ke sekolah" laki-laki itu berteriak dengan wajah kacaunya.
Mendengar ada suara teriakan dari kamar majikannya. Bibi langsung berlari menuju ke sumber suara. Dan perempuan itu menemukan Zafran sudah terduduk di lantai sambil memegangi tangannya yang masih belum pulih sepenuhnya. Dan melihat wajah majikannya yang nampak dalam keadaan yang sangat marah.
"Bi, kamu urus anak ini, saya gak peduli lagi. Gara-gara dia, saya jadi kehilangan istri dan juga calon anak saya"
Bibi langsung menghampiri Zafran menutup telinga anak itu, dan membawanya pergi keluar kamar ayahnya.
Pagi itu Zafran harus pergi dan pulang sekolah bersama bibi, asisten rumah tangga dirumahnya yang sudah bekerja disana semenjak Zafran masih berumur 2 bulan.
Mungkin ia akan seterusnya diurus oleh Bi Narsih. Entahlah, Zafran tidak tau pasti, semoga saja Tuhan dan semesta mengembalikan lagi sosok ayahnya yang dulu. Jujur Zafran rindu ayahnya, karena sekarang anak itu tau, kalau bundanya tak mampu lagi untuk dia rengkuh.