"Kita adalah sepasang rasa yang penuh luka"
Kumohon pada semesta untuk berada dipihakku, karena aku hanya punya diriku dan semesta jika ingin membantu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Matahari mulai menampakkan diri, untuk menggantikan gelap malam dan menjalankan tugasnya seperti biasa. Hingga sinarnya nampak menembus ke sela-sela pentilasi kamar bernuansa biru Dongker itu.
Pagi yang berbeda, hari ini Zafran dibangunkan oleh sinar matahari yang membelai kulit wajahnya. Biasanya anak itu akan di bangunkan oleh Bi Narsih. Segera ia bergegas ke kamar mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah. Ternyata bi Narsih datang agak terlambat hari ini. Mungkin karena anaknya masih sakit. Zafran memaklumi itu. Wanita itu terlalu baik, dan Zafran harus bisa belajar mandiri dan mengurus dirinya sendiri.
Dengan seragam dan perlengkapan sekolah yang sudah rapi. Ia berjalan ke arah dapur. Pandangannya menangkap ayahnya yang sedang membuat secangkir kopi. Anak itu berjalan mendekat. Bukan Hardinata tidak sadar akan keberadaan anaknya, laki-laki itu hanya malas untuk menggubrisnya. Dirinya melongos melewati anaknya yang hendak menghampiri dirinya.
Zafran menghela nafasnya pelan. "Selamat pagi ayah, Zafran sayang ayah" ucap anak itu hampir tak terdengar.
Zafran langsung mengambil roti dan selai kacang kesukaannya. Anak laki-laki itu tak makan coklat dan susu. Karena itu akan menyebabkan kulitnya menjadi kemerahan. Jadi ia hanya sarapan roti dengan selai kacang.
Setelah menghabiskan sarapannya. Zafran menghampiri ayahnya yang sedang sibuk merapikan berkas kerjanya ke dalam tas.
"A..ayah"
Tak mendapatkan respon apa apa dari pria yang dipanggil ayah itu.
"Ayah Zafran berangkat ya, yah" mengangkat tangan kanannya untuk menyalami tangan ayahnya. Dan dibalas tepisan kasar oleh Hardinata.
"Berangkat ya tinggal berangkat aja. Gak perlu ganggu saya, kamu tidak lihat saya sedang sibuk"
"Iya, ayah maaf"
"Maaf, maaf aja bisanya. Maaf kamu gak berguna buat saya" pria itu langsung pergi ke ruang kerjanya, meninggalkan Zafran dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Lagi-lagi dadanya sesak. Luka hatinya sepertinya semakin hari semakin tergores. Anak itu menatap punggung ayahnya dan menunduk sejenak. Setelah itu ia pergi berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda, yang dibelikan oleh bukde nya kemarin.
Anak itu sangat senang saat bukde membawakan dirinya sebuah sepeda. Jadi ia bisa pergi ke sekolah tanpa harus diantar oleh Bi Narsih lagi. Kasihan beliau, sudah banyak sekali membantu anak itu. Sekarang saatnya ia harus bisa mengurus dirinya sendiri dan sedikit mengurangi pekerjaan wanita paruh baya itu.
Zafran terlihat sedang menaruh sepedanya di tempat parkiran sepeda yang digabung dengan parkiran motor. Tak lama setelahnya, sebuah motor lewat dan membuat Zafran kaget, sehingga sepeda yang belum sempat ia standarkan itu terlepas dari genggamannya, dan menggores motor yang terparkir disebelahnya.
Seketika anak itu panik, karena motor itu nampak tergores cukup panjang dan terlihat jelas, akibat terkena besi sepedanya. Segera ia membenarkan posisi sepedanya dan mengelap body motor itu, untuk menyamarkan bekas goresannya. Tapi siapa sangka yang empunya motor menghampiri Zafran dengan wajah kesalnya.