"Gue mulai benci ini."
"Lo pikir gue enggak?" balas Farhan juga jengkel.
Kalau lagi jengkel, dua anak manusia itu menggunakan bahasa sekolahan.
Dzaka mendengus malas menatap jalanan, ia dan Farhan harus kembali lagi ke pondok. Padahal Dzaka sudah mewanti-wanti pada Gus kalau mereka tak bisa kembali ke pondok kalau bukan hal yang darurat.
Mereka tiba di sana lebih cepat karena Farhan ngebut, meluapkan emosi dan rasa kesal pada motor Dzaka.
"Gue kangen Tiya."
"Tahan, Dza! Kalo udah ketemu terserah mau lo apaain tuh cewek." Farhan agaknya sedikit kasihan dengan jalannya hubungan Dzaka, mereka terikat tapi hanya Dzaka yang tahu ikatan itu.
Jalannya menuju kediaman utama harus melewati asrama putra dan asrama putri kalau dari pintu masuk pesantren. Dzaka menghela napas dan menatap datar pada jalannya.
Aduh, calon imam aku tuh
Nikmat mana yang engkau dustakan?
Manis banget!
Woy, jaga pandangan kalian! Tapi, dia emang manis!
Farhan juga tampan!
Tampanan mana Farhan atau Dzaka?
Farhan memang tampan, tapi Dzaka yang lebih manis!
Tau, ga? Mereka orang kaya loh
Kalau di sekolah nih, pasti udah jadi mostwanted
Pangeran pondok!
Duhh, sering-sering lewat sini, ya! Akang!
Farhan dalam hati mengumpat, ternyata jiwa bar-bar Xevora tercemar pada dirinya, setelahnya laki-laki itu beristigfar menenangkan diri. Farhan hanya heran, kenapa santri putri senang sekali memuji terang-terangan, mereka tidak malu?
"Jangan diladenin," ucap Dzaka datar.
Mereka berdua langsung masuk ke ndalem, menemui Gus yang saat ini tengah berbicara dengan lawan bicaranya. Dzaka tak mengenalnya dan itu bukan urusannya, saat ini Dzaka ingin cepat-cepat pulang dan pergi ke SMANSA lalu menarik Fatiya kepelukkannya. Sesederhana itu.
"Nah, itu mereka sudah datang," ucap Gus Ahmad ramah.
"Kagak ngerti lagi nih gue, siapa tuh cewek?" bisik Farhan.
Dzaka mengedikkan bahu acuh, mereka membaca salam dan langsung duduk di tempat yang kosong. Di sebelah Gus Ahmad ternyata ada Ning Fitri yang meliriknya diam-diam. Bolehkah saat ini Dzaka berprasangka buruk?
"Ada apa, ya, Gus Ahmad memanggil kami berdua?" tanya Farhan sopan.
"Apa ada masalah yang terjadi, Gus?" tanya Dzaka.
"Atau kami melanggar peraturan pesantren?"
Gus Ahmad tersenyum mendengar runtutan pertanyaan itu, ia menggeleng lalu berucap, "Tidak, kalian tidak melanggar apapun. Saya hanya menyampaikan maksud dari pak Kyai pada kalian berdua, terutama untuk kamu, Dzaka."
Dzaka melirik Farhan yang juga ikutan melirik, keduanya kompak berkomunikasi lewat mata, saling mendelik dan melotot walau hanya seperkian detik.
"Dza, gue punya firasat buruk buat lo."
"Lo pikir gue nggak? Takut nih gue."
"Gue ikutan takut woi!"
"Tendang ae tuh meja, Han."
"Lo mau gue dihukum? Kali ini beneran, serius gue! Kayaknya lo bakal dijodohin sama Ning Fitri."
"Nggak usah berprasangka buruk, gue udah punya istri!"
Farhan mencubit lengan Dzaka gemas, kalau saja ini bukan di pesantren mereka mungkin sudah saling memukul hingga lebam.
"Ning kalian ini sepertinya menyukai kamu, Dzaka. Alangkah baiknya kita mempercepat maksud hubungan ini agar tak menimbulkan fitnah di kemudian hari."
"Nikah maksudnya?" tanya Farhan memastikan.
Gus Ahmad mengangguk.
Dzaka menatap Gus Ahmad datar, Farhan menghela napas pelan, kentara sekali keduanya menentang ucapan Gus Ahmad. Memangnya tradisi penjodohan pada santri dan Ning atau Gus ini masih jaman, ya? Dzaka memijit hidungnya kesal.
"Pak Kyai sedang menghubungi orangtua kamu, Dzaka. Agar prosesnya lebih cepat."
Proses apanya? Memang Dzaka mau poligami? Ogah! Dzaka memiliki perempuan sebaik dan secantik Fatiya di SMANSA. Perempuan lembut namun kasar jika bersama laki-laki, selalu mengingat dosa yang ia perbuat dan takut menyentuh yang bukan mahram. Dzaka saja sampai dipukul karena disangka orang asing.
Pokoknya Dzaka tidak mau menduakan Fatiya.
"Sepertinya ada kesalahpahaman di sini, Gus Ahmad. Jujur, saya tidak menyukai Ning Fitri dan saya juga tidak mau melakukan proses yang Gus sebut tadi." Dzaka menekan kata tidak dengan raut tegang.
"Kenapa tidak? Saya hanya tidak mau kalian terlibat fitnah!"
Dzaka lelah, ya Allah. Mending ia berantem di luar sana daripada harus menahan gejolak emosi di batinnya. Cukup tersiksa.
"Saya jarang berada di sini, bertemu Ning Fitri pertama kali kemarin. Bagaimana bisa timbul fitnah sedangkan saya langsung pergi setelah acara penyambutan Gus dan Ning?"
Gus Ahmad menghela napas. "Tapi kalian akan tetap bertemu walau jarang sekalipun, Ning fitri menyukaimu."
Bagaimana lagi Dzaka harus membuat alasan? Kenapa ngotot sekali menjodohkan adiknya itu? Ning Fitri memang cantik dilihat sekilas, tapi ia bukan tipe Dzaka, cantik itu relatif membosankan. Dzaka lebih cinta pada Fatiya karena perempuan itu istrinya.
"Mending Gus tanya sama orangtua saya, kami permisi!"
Dzaka menarik Farhan keluar tanpa mempedulikan Gus Ahmad yang tercengang. Keduanya membelah kerumunan santri yang kepo akan pembahasan keduanya. Beruntung pintu masuk di kediaman tertutup rapat, jadi tak ada siapapun dari mereka yang mendengar.
"Trus buat apa gue di dalem sana kalo yang punya kepentingan cuma lo, Dza?" Farhan emosi, ia tak punya kepentingan di sana tapi ikut menyaksikan perjodohan Dzaka.
"Mungkin lo juga digituin sama Ning Annisa."
"Ogah! Mending gue sama Resya di SMANSA!"
"Udah jadi darah daging keknya jodoh-jodohan gini di pesantren, emang gue anaknya apa?" sungut Dzaka. Ingin rasanya bilang kalau ia sudah punya seseorang. "Santri lain banyak, kenapa mesti gue?" lanjutnya.
"Udah-udah, lo tinggal bilang Bunda ntar. Yakin seratus persen kalo Bunda nggak bakal setuju."
Mereka menaiki motor dan keluar dari pondok pesantren dengan sedikit dongkol. Seakan ada awan mendung di wajah keduanya, wajah mereka tertekuk. Dzaka membuka handphonenya dan menatap damai foto Fatiya yang tengah tersenyum.
"Kangen."
****
Saya ngakak😂😂
Kayak lelah batin juga sama Dzaka06-July-2021
Arikeyy CH
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Ghibran
General Fiction{Sudah Terbit} Fatiya tak mengenal siapa yang menjaganya secara posesif, yang ia tahu adalah laki-laki itu tulus menjaganya. Ke mana pun ia pergi akan selalu diikuti, bukan risih tapi terasa nyaman. Tatapan teduh milik Ghibran terasa menenangkan hat...