Bab 11

35K 5K 102
                                    

Farhan belum ada keinginan untuk bertemu dengan Mama maupun orang yang akan dijodohkan padanya, Ning Annisa. Farhan merasa frustasi dan rusuh sendiri di kamar ditemani Dzaka tentunya.

Tak peduli, Dzaka memainkan handphonenya dengan raut berseri. Farhan yang jengah langsung membuang handphone Dzaka ke atas kasur, pasti yang membuat wajah Dzaka berseri itu Fatiya. Tak salah lagi.

"Ya Allah, Farhan! Kamu nggak boleh solimi!"

"Solimi, solimi, solehah!" bantah Farhan.

Mereka tertawa sesaat, lalu kembali ke posisi semula. Farhan mencak-mencak sambil menarik rambutnya kasar, ia menunjuk Dzaka dengan raut lelah.

"Dzaka, temenin aku bilang ke Mama biar nggak dipasangin sama Annisa," ucapnya cemas.

Dzaka yang tengah mengambil handphonenya itu melirik sekilas, laki-laki manis itu berbaring terlentang sambil tersenyum tak jelas.

"Aku sibuk, coba curhat sama Bunda, siapa tau Bunda bisa bantu," sarannya.

"Sibuk sama Fatiya?" sindir Farhan sinis.

"Makanya cepetan nikah, biar nggak cemburu mulu sama aku," ledek Dzaka.

Farhan mendengus kesal, ia mengusap wajahnya kasar, harus bagaimana lagi dirinya menghadapi undangan perjodohan orang lain.

"Bunda pasti setuju, apalagi dijodohin sama Ning. Aelah, Dza! Tolongin woi!" pekik Farhan.

Dzaka menggeleng. "Nggak, Bunda nggak bakal setuju kalo kamu sendiri nggak mau. Bunda itu punya jiwa sosial yang tinggi, musyawarahnya dapet, jadi situ nggak usah khawatir."

Ya ampun, Farhan sampai disebut situ oleh Dzaka. Ia tak percaya ternyata dirinya juga dijodohkan. Dzaka saja dijodohkan tapi sahabatnya menerima hal tersebut dengan senang hati, beda dengan dirinya yang suka sekali membantah.

"Mau ke mana?" tanya Dzaka ketika Farhan berjalan keluar kamar.

"Bunda, mau minta saran."

"Oo, oke-oke."

****

Farhan mencari ke penjuru rumah tapi tidak menemukan keberadaan Bunda. Laki-laki tampan itu menghela napas panjang, langkahnya terus berjalan ke sana kemari. Hingga berhenti di gazebo, tepatnya taman belakang rumah.

"Bunda!"

Bunda menoleh.

"Iya, sayang? Sini duduk di sebelah Bunda."

Bisa dilihat oleh Bunda raut gelisah yang tercetak dari sahabat anaknya itu, sepertinya masalah yang menimpa Farhan lebih berat dari biasanya, jadi Bunda ingin menjadi teman bicara.

"Bunda, aku dijodohin," ucap Farhan tiba-tiba.

"Sama siapa, Nak?" tanya Bunda penasaran.

Farhan menghela napas. "Sama Ning Annisa, anaknya pak Kyai tempat aku sama Dzaka mondok, Bund."

Bunda menyerngit, bukannya bagus Farhan bisa bersanding dengan Ning Annisa? Tapi, Bunda tak ingin berbicara sepihak, ia ingin mendengar penjelasan Farhan lebih lanjut.

"Jadi, masalahnya terletak di mana?" tanya Bunda lembut.

"Aku nggak mau dijodohin, Bunda!"

Bunda berkedip sekali, baru kali ini ia melihat Farhan sefrustasi ini. Anak itu juga merengek tak mau dijodohkan, tapi Bunda paham dengan keadaan Farhan.

(Bukan) GhibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang