Dzaka tengah membaca kitab kuning yang ia bawa, rautnya datar bahkan terkesan dingin saat ini. Fatiya tak ingin mengganggu, memilih menatap handphonenya lama.
Selama tiga hari penuh Fatiya berada di rumah sakit. Ia merasa ada yang aneh, dari semua orang yang ia lihat, ia tak menemukan adik kesayangannya, Frisqi. Ditelpon tak diangkat, itu membuat Fatiya khawatir.
"Kamu tau Frisqi ke mana?" Ucapan Fatiya mengalihkan titik fokus Dzaka.
"Dia di Arab."
Fatiya melotot kaget.
"Kok di Arab, sih?"
"Qiqi dapet beasiswa di sana tepat saat kamu masuk sini, awalnya dia nggak mau pergi, dia histeris pas tau kamu nggak sadarkan diri," ucap Dzaka tersenyum tipis.
Dzaka mengerti perasaan Frisqi, anak itu pasti tak tenang saat ini. Mau bagaimanapun Frisqi itu orang yang penyayang sama keluarganya, mendengar kabar berita tentang kakaknya saja ia kalang kabut dan hampir pingsan.
"Qiqi pasti nangis, ya?" tanya Fatiya menunduk sedih.
"Iya, dia nangis karena nggak bisa liat kamu. Abi kamu orangnya keras, Tiya, Qiqi pasti berat banget pergi ke Arab."
Fatiya tersenyum miris, membayangkan adik tercintanya seperti itu membuat Fatiya mengenang masalalu. Dulu Fatiya pernah kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya sendiri karena melindungi Frisqi.
Saat itu ia membawa motor dan Frisqi duduk di belakang dengan anteng. Kejadian itu terjadi begitu cepat, karena tak bisa menyelamatkan diri dengan cepat Fatiya lebih memilih melindungi adiknya.
Ia koma hampir sebulan.
Sejak saat itu Frisqi trauma, mendengar kalimat yang tak mengenakkan saja membuatnya mendadak terserang panik, apalagi dari Fatiya.
Fatiya tersentak saat handphonenya menjerit nyaring. Nomor tak dikenal dan juga bukan dari kode Indonesia.
"Assalamualaikum, halo?" sapa Fatiya curiga.
"Waalaikumussalam, kak Tiya! Kakak nggak apa-apa, 'kan?! Ada yang sakit? Cidera? Atau lainnya?! Qiqi bakal pulang sekarang juga!"
Fatiya menutup mulutnya haru, menahan isak tangisnya sekuat mungkin. Ia lega mendengar suara Frisqi di balik handphone.
"Kakak baik, Qi. Kamu ... baik-baik aja, 'kan, di sana?" Suara lembut itu mengalun indah, membuat Dzaka tersenyum tipis.
Frisqi tak membalas kabarnya, ia malah berkata lain dengan suara lirih.
"Aku kangen Kakak."
Sekuat mungkin Frisqi menyeimbangkan suaranya yang bergetar, ia ketakutan setengah mati dan gelisah selama beberapa hari. Tidur saja tidak, ia terkena jet lag dan belum sembuh sampai hari ini.
"Frisqi, kamu nangis?" tanya Fatiya lembut.
"E-enggak! Qiqi nggak nangis! Kakak harus percaya sama Qiqi!"
"Iya, Kakak percaya kok." Fatiya menahan tawanya.
Frisqi bercerita banyak hal saat tiba di Arab, mulai dari ia yang gugup karena tak begitu bisa bahasa Arab, dapat teman baru yang ternyata kamarnya bersebelahan, dan lainnya.
Sebagai pendengar yang baik, Fatiya hanya menanggapi sesekali. Banyak yang mereka ceritakan, dan akhirnya Fatiya mengatakan satu hal yang membuat Frisqi berteriak senang.
"Kamu bakal punya keponakan, Qi."
Fatiya tertawa saat Frisqi menyalakan lagu koplo. Bentuk kesenangannya begitu mendengar kabar gembira.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Ghibran
General Fiction{Sudah Terbit} Fatiya tak mengenal siapa yang menjaganya secara posesif, yang ia tahu adalah laki-laki itu tulus menjaganya. Ke mana pun ia pergi akan selalu diikuti, bukan risih tapi terasa nyaman. Tatapan teduh milik Ghibran terasa menenangkan hat...