Bab 9

37.1K 5.4K 135
                                    

Ares mematung.

Apa? Memutus hubungan dengan Penium's Black? Itu tidak boleh terjadi! Ia benar-benar bisa dibantai Ayahnya nanti.

"Aaaa jangan, Mbak! Saya bisa dimarahi Ayah kalau Mbak Alwi pergi!" rengek Ares.

Fatiya mengangguk cuek, rautnya terlihat malas meladeni Ares yang kekanakan. Walaupun terhalang masker, Ares bisa melihat manik cokelat itu menatapnya penuh kesinisan.

"Jangan sinis-sinis banget dong, Mbak! Saya jadi takut," gerutu Ares.

"Masih punya nyali ya, kamu? Ok, saya mau pindah ke Mafilies White."

"TIDAK!"

Ares hampir jantungan, kalau Fatiya pindah ke tempat pelatihan musuhnya, ia takkan memaafkan dirinya sendiri. Bisa gila 7 hari 7 malam kalau itu jadi kenyataan.

Fatiya kembali duduk, mengacuhkan Ares sepenuhnya dan kembali menatap Ghibran hangat. Laki-laki itu belum menjawab pertanyaannya, apakah ia diizinkan atau tidak untuk terjun kembali ke pertandingan berbahaya itu.

"Kamu ngebolehin, nggak?" tanya Fatiya memastikan.

"Gue nggak mau ngehalangin kebahagiaan lo, lo bebas ngelakuin apapun sesuai batasan," balas Ghibran.

Fatiya pun tersenyum lalu menggeleng. "Kamu menolak aku nggak akan pergi, kamu ijinin aku bakal pergi sama kamu. Aku nggak mau jawaban ambigu kayak gitu."

Entahlah, entahlah! Ghibran merasa jantungnya akan berhenti berdetak, Fatiya manis sekali hari ini sampai meminta izinnya. Ia jadi merasa gadisnya itu tahu kalau dirinya adalah suaminya.

"Gimana?"

"Gue ijinin, udahkan? Ayo kita pergi."

Fatiya tersenyum lebar, perempuan itu menatap Ares tajam dan langsung menyuruhnya mencatat jadwal pertandingan. Ares langsung mengirim jadwal itu lewat pesan, ia bahagia Mbak Alwi kebanggaan Penium's Black kembali terjun ke dunia panahan.

****

Fatiya tiba-tiba merasa panas karena tangannya digandeng terus oleh Ghibran. Pipinya bersemu merah, ia sampai gugup ditatap intens oleh laki-laki itu.

"Kenapa, hm?"

"Aaa enggak, malam ini panas banget, ya," ucap Fatiya memalingkan wajah.

"Oh, ya?" Ghibran tersenyum miring.

Tanpa aba-aba, Ghibran menarik Fatiya hingga jatuh ke dalam pelukannya, semerbak wangi mawar menyeruak masuk ke indra penciuman Ghibran. Ghibran memeluk Fatiya erat sambil tersenyum gemas.

"Suka banget sama Fatiya," bisik Ghibran sambil memejamkan mata.

Fatiya membekap mulutnya terkejut, ia mendongak ke atas demi melihat raut Ghibran secara jelas. Wajah yang manis, hidung mancung, garis wajah yang tegas, apalagi bibir tebal yang sehat itu.

"Nikmat mana yang engkau dustakan," gumam Fatiya.

Ghibran menatap manik cokelat milik Fatiya, keduanya saling menatap dalam diam, saling berpelukan tanpa ada rasa canggung sama sekali.

Kepala mereka saling beradu, Fatiya memejamkan matanya menikmati semilir angin yang berembus lembut. Ghibran semakin gemas, gadisnya ini benar-benar tak takut, ya. Bagaimana kalau Ghibran khilaf?

"Lo berani banget, ya, ntar gue khilaf nyium lo, gimana," bisik Ghibran serius.

"Cium aja," bisik Fatiya tak takut.

Cup

"Ap--"

Cup

"Tun--"

(Bukan) GhibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang