Bab 6

40.4K 5.9K 382
                                    

Fatiya baru saja sampai di sekolah lebih pagi dari biasanya, kemarin ia lupa piket dan berencana mengganti piket itu pagi ini. Tak ada yang spesial sampai seseorang menariknya lembut ke arah tangga, persis jalan ke rooftop.

"Udah, kali ini nurut, ya."

Fatiya diam, tak menepis bahkan memberontak saat Ghibran menariknya. Ia masih saja menyangka kalau Ghibran dan Dzaka itu sama, apa karena keduanya mirip makanya Fatiya mulai biasa saja? Tentu saja karena faktor rasa suka Fatiya pada Dzaka.

Setelah mengunci pintu rooftop, laki-laki itu mendudukan Fatiya di sofa yang ada. Ghibran benar-benar senang Fatiya menerima ulurannya. Ingin rasanya memeluk gadisnya itu, tapi takut menerima pukulan lagi.

Rasanya masih membekas.

"Kamu ... kenapa narik aku ke sini?" Fatiya menatap Ghibran lama.

Jarak yang begitu dekat, tapi tak membuat Fatiya takut akan Ghibran. Tatapan mata Ghibran itu menenangkan, Fatiya sampai tak sadar kalau rasa takutnya menghilang. Apa karena mirip Dzaka? Ya ampun, Fatiya sampai membandingkan keduanya.

Ghibran mengulur tangan menarik Fatiya mendekat, merengkuh gadis kesayangannya. Rasanya beban yang ia rasakan terangkat sepenuhnya, mengingat kejadian di pondok pesantren membuat darahnya mendidih.

"Ghibran ...."

"Kumohon, sebentar saja."

Bukannya mendorong, Fatiya malah membalas tak kalah erat. Ia mengusap punggung Ghibran lembut dengan bingung.

Ada apa dengan ketua Xevora ini? Dan apa-apaan juga dirinya? Kenapa ia malah menerima perlakuan Ghibran dan tidak memukulnya? Tiba-tiba Fatiya pusing. Hatinya lebih lega seperti ini dan badannya berkhianat.

Sudahlah, Fatiya terima saja.

Cukup lama mereka di posisi itu, Fatiya mendorong cukup kuat, bukannya terdorong mereka malah terjatuh di posisi yang tak seharusnya terjadi.

Fatiya terpekik. Ia malu sampai wajahnya sendiri memerah, tak seharusnya ini terjadi sebelum ia menikah, bukan? Rasanya Fatiya ingin menghilang saja.

Ghibran tak peduli, ia lebih suka mendengar detak jantung Fatiya yang berdetak kencang. Fatiya deg-degan? Karena dirinya? Benarkah?

Ghibran mengulas senyum. "Lo deg-degan, Tiya."

"Ih! Minggir, Ghibran!" Berkhianat, tubuhnya benar-benar berkhianat! Kenapa senang sekali sih dipeluk Ghibran?

"Ghibran!"

Tawa ringan itu keluar, rengekkan Fatiya membuatnya makin senang.

"Aaa gue suka lo."

"Aku yang nggak suka!"

"Nggak usah goyang-goyang, deh. Mau dicium?"

"Sembarangan ya jadi cowok! Dosa tau!"

Nggak bakal dosa, pahala malahan, batin Ghibran.

Fatiya lelah batin, ia kembali memeluk Ghibran seakan menerima perlakuan laki-laki itu. Matanya terpejam erat. Tak apa, Fatiya nanti ngadu sama Umi saat pulang nanti.

"Usap-usap."

"Hah, apa?"

"Usap kepala gue, Tiya."

Ragu, Fatiya mengusap rambut Ghibran. Yang lebih mengejutkannya adalah saat mereka saling bertatapan, Ghibran tersenyum manis.

"Aaaa makin suka!"

"Aku enggak!"

"Terserah, pokoknya gue suka sama lo."

Semakin erat pelukannya, Ghibran bisa mencium aroma mawar lembut di tubuh Fatiya. Aroma yang begitu menenangkan membuat Ghibran terlena.

(Bukan) GhibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang