Bab 22

35.8K 4.9K 367
                                    

Hari ini Fatiya bangun lebih awal dari biasanya, ia menatap jam yang menunjukkan pukul 04.30 AM. Sebelum bangun sepenuhnya ia mengucapkan salam pada diri sendiri, melafalkan surah Al-fatihah untuk dirinya dan shalawat nabi.

Setelah itu Fatiya mengikat rambutnya menjadi satu dan meninggalkan anak-anak rambut di bagian depan. Lalu bergegas keluar dari kamar untuk menemui Dzaka, Fatiya berusaha mengetuk pintu tapi Dzaka tak merespon sama sekali.

Sebenarnya ia takut masuk, tapi kalau Dzaka tak dibangunkan pasti sholat tahajud yang mulia itu terlewat begitu saja. Fatiya membuka pintu, cahaya remang dari lampu tidur membuat Fatiya menyerngit.

"Gelap banget, saklar lampu utama mana, ya," gumam Fatiya.

Setelah menekan saklar, Fatiya bisa melihat Dzaka yang tengah tertidur. Posisinya menyamping ke arah kanan dengan tangan sebagai tumpuan pipinya. Fatiya tersenyum, lantas mendekat dan jongkok di depan Dzaka.

"Aduh, manis banget suami orang?" Fatiya terkekeh geli.

"Dzaka, bangun! Kamu nggak mau tahajud gitu?"

"A'a Dzaka~"

Fatiya menepuk pipi Dzaka pelan, alis Dzaka saling bertautan, ia terganggu dengan tepukan pelan di pipinya. Pemilik manik hitam itu berkedip beberapa kali, menatap wajah Fatiya begitu lama.

"Assalamualaikum pasanganku yang diberkati Allah," gumam Dzaka mengelus pipi Fatiya.

"Waalaikumussalam, calon pangeran surga! Tahajud hayuk!" balas Fatiya.

Fatiya berdiri, Dzaka masih berbaring sambil mengucap salam pada dirinya sendiri. Kemudian menjulurkan tangannya pada Fatiya agar ditarik untuk duduk, tanpa banyak kata Fatiya menarik Dzaka.

Dzaka masih belum sadar kalau ada yang beda dari Fatiya. Laki-laki itu menatap sekitar, lalu berjalan ke dalam kamar mandi mengambil wudhu. Fatiya tersenyum, ia menggelar sajadah dan mengambil peci serta baju koko.

"Bajunya banyak banget!" seru Fatiya kagum.

Bunyi keran yang dimatikan terdengar, Dzaka keluar sambil mengacak rambutnya yang basah. Sejenak Fatiya kagum, lalu tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lemari. Pipinya memerah malu.

"Tiya, aku--"

Manik hitam itu membulat kaget, menatap Fatiya yang berbeda dari biasanya. Fatiya menatap dirinya sendiri, tidak ada yang aneh. Dirinya menggunakan celana selutut, kaos hitam sesiku, dan rambutnya yang diikat.

Tidak ada yang aneh, dirinya merasa biasa saja.

"Dzaka, kamu kenapa? Jangan bilang kamu kerasukan?!" Fatiya menggoyang bahu Dzaka menggunakan bantal.

Fatiya menyipit matanya, menurut pengamatannya Dzaka hanya sedang bermenung ria, jadi ia memutuskan untuk keluar dari sana meninggalkan Dzaka yang masih mematung di posisinya.

Laki-laki itu tertawa senang, rona wajahnya memerah saat mengingat rupa Fatiya yang begitu cantik. Rambut cokelatnya sedikit bergelombang, apalagi rambut bagian depannya sedagu.

"Duh, cantik banget, sih," gumam Dzaka.

****

Lebih dari lima menit Dzaka mencari keberadaan Fatiya di rumah, ia tak menemukan istrinya di mana-mana. Hanya satu tempat yang belum Dzaka kunjungi, dapur.

Dzaka melangkah ke sana, mendapati Fatiya yang sedang duduk di atas meja sambil menatap handphone. Ia mendekat dan mengurung Fatiya.

"Aduh, minggir dulu, aku mau bales pesannya Qiqi," gumam Fatiya berusaha menjauhkan handphonenya dari Dzaka.

(Bukan) GhibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang