15 | Kerusuhan telah dimulai

100 17 7
                                    

"Halo, Sasha..." Seseorang tiba-tiba menyapa tepat di belakang Sasha, membuatnya langsung berhenti melangkah lalu menoleh.

Ternyata dia adalah Callista, teman sekelasnya.

"Eh, Callista!" Sasha terkejut, kemudian memeluk Callista dengan erat.

"Apa kabar kamu?? Sudah sebulan kita ga ketemu. Aku kangen banget!" kata Sasha dengan bahagia. Dia lalu menjabat tangan Callista dengan erat.

Callista terdiam dan termenung untuk beberapa saat, ketika melihat reaksi yang tak terduga dari Sasha. Namun ia merasa sangat senang karena mengetahui kalau Sasha telah merindukannya. Lalu dia pun tersenyum.

"Aku baik kok Sasha, terus kabar kamu gimana?" jawab Callista sembari membalas sentuhan tangan Sasha dengan kedua tangannya.

"Syukurlaah..." jawab Sasha bahagia. "Aku juga baik-baik aja kok. Semuanya lancar, ga ada halangan. Kakak aku juga udah sehat dan mulai bekerja dua hari yang lalu."

Callista mengangguk dan tersenyum. "Syukurlah... Aku ikut senang mendengarnya."

Dia kemudian merangkul Callista dari samping lalu mulai kembali berjalan bersama menuju ruang kelas.

"Oh ya, gimana liburanmu? Apakah menyenangkan? Katanya kamu kemarin mau Surabaya, buat ketemu sama mama kamu. Udah?"

Callista diam termenung, tidak menjawab pertanyaan Sasha. Tatapannya tampak kosong. Dari situ, Sasha seketika paham akan situasi dan kondisi yang dialami Callista. Dia lantas mengusap bahu Callista dengan lembut dan berkata.

"Tenang Ce, kamu masih punya teman yang akan selalu mensupportmu dalam kondisi apapun. Contohnya aku." ucap Sasha disertai senyuman. 

Callista yang mendengar pernyataan Sasha barusan, seketika terhenyuk dan terharu. Diantara sekian banyak teman yang ia temui, dia merasa bahwa baru kali ini ia menemukan teman yang benar-benar tulus mendukungnya, tanpa mengharapkan apapun. Bahkan dari seluruh anggota keluarga yang membencinya, hanya Sasha dan sang ayah-lah yang bisa membuatnya merasa bahagia dan terhibur. Setelah sekian lama ia dihantui bayang-bayang rasa bersalah atas kematian sang adik, kini ia bisa merasa jadi sedikit lebih tenang.

"Bagaimana kondisi kesehatan ayahmu? Sudah ada perubahan?" tanya Sasha.

Callista menggeleng perlahan. Kemudian, secara tiba-tiba ia menghentikan langkahnya lalu menundukkan pandangan ke bawah. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mulai berguncang. Samar-samar terdengar suara isak tangis yang sedang ia tahan agar tidak pecah. Mengetahui hal tersebut, Sasha langsung memeluknya dari samping.

"Cup-cup.. Udah, jangan sedih... Semoga ayahmu cepat diberi kesembuhan ya." ujar Sasha membujuknya. Tangannya bergerak mengelus kepala Callista dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Callista menyembunyikan wajahnya menggunakan telapak tangan.

"Ceee... Jangan nangis... Ini hari pertamamu masuk kuliah loh. Jangan sampai hari pertamamu yang seharusnya diisi dengan kebahagiaan, justru kamu isi dengan kesedihan."

"Ssst!!" Seseorang mendesis dari arah belakang. Spontan Sasha menoleh ke arah sumber suara itu.

"Kenapa??" Orang itu ternyata Gebi, teman sekelas Sasha dan juga Callista. Dia berbicara dengan setengah berbisik. Disampingnya, ada dua orang teman lain, namanya Rachel dan Siska. Mereka juga teman sekelas dengan Sasha dan Callista.

Sasha lalu menjawabnya dengan mengatakan kata "Nangis" namun tanpa mengeluarkan suara. Setelah itu, dia memberi isyarat kepada Gebi dan yang lain untuk mendekat. Dia lalu berbisik kepada mereka bertiga.

Gebi mengangguk cepat sambil mengacungkan jempol kepada Sasha. "Siap!" ujarnya berbisik. Sama halnya dengan Rachel dan Siska, mereka berdua juga menyanggupi apa yang diminta oleh Sasha. 

2069: The Big WarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang