4 | Ancaman mulai muncul

113 27 19
                                    

Dari balik pintu lift yang terbuka, muncul Sasha yang langsung berlari mencari kamar Tasya dan Prof. Yoga dirawat, yang ia tau letaknya ada di sebelah kiri lift. Dia berlari tergesa-gesa sembari memperhatikan setiap nomor kamar yang ia lalui. Hingga ia melihat dua security yang sedang berjaga di depan kamar pasien, sudah dapat dipastikan bahwa kamar itu adalah kamar tempat kakaknya dirawat. 

"Kak!" ujar Sasha spontan sesaat setelah ia membuka pintu. Dia langsung dihadapkan dengan dua orang yang tengah di rawat. Ada kakaknya dan ada Profesor Yoga, bedanya Tasya tetap belum sadar dari pingsannya. 

Profesor Yoga yang melihat kedatangan Sasha, lantas memberi isyarat agar ia segera menemui kakaknya. Sasha tersenyum sesaat, lalu berlari menghampiri branker Tasya.

"Kak!" tegasnya seraya menyentuh lengan Tasya untuk memberitahu bahwa dia sudah datang. Tapi sayang, tak ada respon balasan dari Tasya. 

Mulai panik, takut terjadi sesuatu buruk pada kakaknya, ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah mesin Elektrokardiograf (EKG) untuk memastikan bahwa Tasya masih hidup dan baik-baik saja. Diapun dapat bernapas lega setelah mengetahui bahwa denyut jantung Tasya normal. Tiba-tiba, dokter datang.

"Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?" tanya Sasha khawatir. 

Dokter tersenyum, "Syukurlah, kakak kamu tidak mengalami luka dalam yang begitu serius. Dia hanya mengalami luka bakar, namun cukup parah hingga membuat beberapa bagian punggung, leher serta sedikit di area pipinya melepuh. Dan juga, dia mengalami luka sobek di bagian paha belakang akibat terkena pecahan kaca yang harus dijahit. Selain itu, semuanya aman."

Sasha kembali menghela napas lega. "Terima kasih atas bantuannya, Dok."

Dokter itu mengangguk lalu pergi.

Sasha kembali menatap wajah kakaknya yang diperban melingkar menutupi pipi, dagu serta bagian atas kepala. Begitu juga dengan lehernya yang turut diperban. Melihat hal itu, hatinya seketika teriris, tak sanggup untuk menyaksikan semua ini. Dadanya mulai sesak. Napasnya mulai sesenggukan. Dan tanpa disadari, air mata mulai jatuh perlahan membasahi pipi. 

Kacamata ia lepas dari wajah sembari mulai menyeka setiap air mata yang jatuh. Tubuhnya mendadak melemas dan tak mampu lagi berdiri. Seketika, ia terhempas ke belakang dan jatuh ke atas kursi. Bersamaan dengan itu, tangis yang sudah ia tahan sejak tadi, kini tak dapat dibendung lagi.

*****

'DORR!!!'

Aku dan kakakku sama-sama tersentak kaget, sesaat setelah mendengar suara kencang barusan. Entah apa itu, aku tidak tahu. Yang aku tau hanyalah kakak yang tiba-tiba memelukku dengan erat. Waktu itu, umurku baru menginjak 6 tahun dan baru masuk kelas 1 SD. Dan kami juga baru saja pulang dari sekolah, seragam merah putih pun masih melekat di tubuh kami.

Beberapa saat kemudian, kakak yang tadi memelukku dengan erat, perlahan mulai merenggangkan pelukannya. Aku yang masih dalam kondisi bingung tidak tau apa-apa, lantas menoleh ke arahnya dan berniat untuk bertanya mengenai asal suara kencang tadi dan kenapa dia tiba-tiba memelukku. Namun, baru saja aku mendongakkan wajah ke atas, mendadak kak Tasya seperti kehilangan kesadaran lalu jatuh ke tanah. Matanya terpejam, bibirnya tertutup dan tubuhnya terlihat lemas. Entah apa yang sedang terjadi.

Ditengah-tengah kebingungan yang tengah melanda pikiranku, secara tiba-tiba dan tidak terduga muncul sebuah genangan air berwarna merah kental dari balik punggungnya, bergerak perlahan dan menyebar hingga mengotori baju putih bersihnya. Aku yang melihat hal itu langsung meringkuk dan mencoba membangunkan kak Tasya yang tidak tau kenapa sedang tertidur. Namun, dia hanya diam saja dengan posisi tetap seperti sebelumnya.

2069: The Big WarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang