Menyadari bahwa aku adalah satu-satunya orang di dalam kelompok pertemananku yang tidak memiliki seorang kekasih itu rasanya sungguh sakit. Sebuah perasaan menyiksa yang semakin diperparah dengan melihat bagaimana mereka tampak seolah berbagi hati dan pikiran yang sama dari bagian ujung meja di mana aku sedang mendudukkan tubuhku, bercengkerama dengan begitu serasinya dengan pasangan mereka tersendiri. Canda dan tawa yang mereka pertunjukkan merupakan puncak kebahagiaan yang tampak amat jauh di luar gapaian tanganku saat ini, sehingga mengubah hal yang semestinya bersifat positif terasa bagaikan suatu eksposur terhadap radiasi nuklir bagiku.
Seiring berjalannya waktu, rasa sakit di hatiku itu pun tumbuh menjadi suatu penyesalan yang luar biasa. Seharusnya, malam ini adalah waktu bagi aku untuk bersenang-senang bersama dengan teman-teman lelakiku. Tetapi, mereka malah sibuk dengan dunia masing-masing, saking fokusnya kepada kekasih mereka sampai lupa dengan keberadaanku. Sekarang aku menyesali keputusanku untuk memberi mereka izin membawa pasangan mereka ke acara makan bersama ini. Kesucian di antara hubungan persahabatan kami tengah dicemari tidak hanya oleh pihak orang ketiga, namun juga keempat dan kelima.
Meskipun begitu, sebagian dari diriku tetap bisa bersimpati dengan sikap mereka. Lagi pula, kami adalah sekelompok individu yang dipersatukan oleh identitas diri kami sebagai seorang pecundang di sekolah. Sewajarnya seorang teman yang baik, aku mesti bisa merasa bahagia terhadap keberhasilan mereka untuk mendapatkan seorang kekasih, suatu impian yang telah lama kami nantikan bersama. Sayangnya, hal itu lebih susah dilakukan daripada kedengarannya, sebab aku merasa tertinggal oleh mereka pada jalan yang disebut kehidupan ini. Takdir menyatakan bahwa kami tak mampu mewujudkan impian itu bersama pula. Jika situasi ini berlanjut terus-menerus, bisa jadi mereka akan membalikkan punggung mereka kepadaku dan melangkah pergi hingga aku tak bisa melihat mereka lagi. Pada titik itu sekeras apa pun aku berteriak usahaku tak akan pernah cukup untuk menarik perhatian mereka kembali kepadaku.
Sekadar memikirkan itu saja sudah bisa membuatku merasa sedih.
"Fan? Kok nasimu gak dimakan sih? Sayang tahu, jangan suka boros mentang-mentang kamu yang traktir." Tegur temanku Edi, seketika menyadarkan aku dari renunganku yang panjang itu.
"Lagi melamun aja. Palingan bentar aja habis kok." Balasku dengan nada yang hampa akan antusiasme, sesuatu yang bertentangan dengan niatku untuk menutupinya. Tanpa seniatku juga, nasi yang ada di hadapanku kini tampak begitu acak-acakan akibat menjadi objek pelampiasan bagi emosiku yang terpendam.
Aku pun melirik sekilas ke arah jam yang terpajang pada dinding di restoran tempat kami berada saat ini. Ternyata, baru setelah setengah jam berlalu ia mengingat kalau aku juga ada di sini. Fakta itu membuatku merasa bagaikan seekor serangga yang tak layak mendapatkan perhatian mereka. Jujur, aku ingin sekali pulang sekarang, kalaupun rumahku bukan sepenuhnya pilihan yang lebih baik.
"Kenapa Fan? Jangan-jangan kamu gak selera karena gak ada yang menyuapin ya?" Sahut temanku yang lainnya Beni, selagi menunjukkan sebuah seringai mengejek di wajahnya.
"Buka mulutnya dong, aaa~" Seolah mereka berdua sepikiran, pacar Beni pun mulai menyuapinya dengan makanan. Tindakan yang sepertinya dilakukan dengan tujuan untuk memperolok kesendirianku.
Aku tahu bahwa pada intinya kelakukan menyebalkan mereka itu hanyalah sebuah lelucon, namun sebagai sasaran tunggal dari perlakuan tersebut di sini, situasi ini lebih terasa seperti mereka tengah menertawai aku dan bukannya tertawa bersamaku. Terlebih lagi, suasana hatiku yang tengah buruk membuatku memandang niatan mereka melalui lensa yang negatif.
"Sudahlah kalian ini, apa kalian gak lihat Fano merasa terganggu?" Ucap temanku yang terakhir Agus, satu-satunya orang yang menunjukkan pemahaman kepadaku di tempat ini.
Jujur, aku mulai kehilangan harapan sepenuhnya terhadap kemurnian di balik hubungan pertemanan kami selama berlangsungnya percakapan ini. Cara mereka memperlakukanku bisa sudah melewati batas keterlaluan, seakan mereka terlupa bahwa pada awalnya kami semua adalah pecundang stadium akhir, tanpa sedikit pun daya tarik sebagai seorang manusia apalagi sesosok lelaki. Hal yang paling kuinginkan dari mereka bukanlah sebuah pujian, melainkan hanya sebuah kalimat yang berasal dari rasa kepedulian sebagai teman. Apa yang diucapkan Agus hampir memulihkan kepercayaanku kepada mereka.
Setidaknya, sampai ia kembali membuka mulutnya untuk berbicara.
"Nanti bisa-bisa kita dimarahin oleh waifunya loh."
Mereka bertiga pun langsung tertawa terbahak-bahak, sementara kekasih mereka cuma tersenyum kecil karena mungkin kurang paham dengan topik lelucon tersebut. Memang, di antara mereka, akulah satu-satunya orang yang memiliki ketertarikan besar terhadap segala hal yang berkaitan dengan budaya populer Jepang seperti anime, manga, dan novel ringan. Pada beberapa kesempatan aku mencoba untuk menjerat mereka ke dalam hobi yang sama, tetapi mereka justru menganggapnya sebagai sesuatu yang terlalu kekanak-kanakan.
Pada saat itulah aku sadar, bahwa selama ini hanya ada satu pecundang sejati di antara kami, yakni aku sendiri.
Beberapa jam pun berlalu. Di mana selama jangka waktu itu mereka berhenti mengabaikan aku, tetapi menjadikan aku bahan dari sebagian besar dari lelucon mereka. Untuk sesaat sempat berpintas dalam benakku untuk untuk segera pulang ke rumah dengan mengarang sebuah alasan, daripada terus membiarkan keenam makhluk nerakawi tersebut menyiksaku secara mental. Sayangnya, hasratku untuk melindungi apa yang tersisa dari harga diriku terbukti lebih dominan, sehingga aku terlalu malu untuk melakukan itu. Lagi pula, pada akhirnya akulah yang akan mentraktir mereka, jadi aku yakin mereka akan merasa sadar diri karena itu.
Sepanjang malam aku pun terpaksa memasang senyum palsu, tidak ingin lagi memberi mereka celah menuju perasaanku yang sesungguhnya.
Akhirnya, tiba saatnya bagi kami untuk pulang. Setelah aku membayarkan semua biaya makanan milik kami bertujuh, kami pun berjalan ke kendaraan kami yang terparkir di seberang restoran tersebut. Mereka semua mengendarai motor sementara aku sendiri yang mengemudikan sebuah mobil, kendaraan yang dipinjamkan oleh orang tuaku untuk malam ini.
Sebenarnya khusus untuk hari ini aku memiliki izin yang langka untuk pulang di atas jam 9, yang biasanya merupakan batasan waktu yang diberikan oleh orang tuaku. Hanya saja, sikap teman-temanku yang memuakkan membuatku merasa tak betah berkumpul lebih lama lagi bersama mereka, sehingga aku memilih untuk tidak memberitahu mereka tentang itu. Dengan begini, aku bisa terselamatkan dari sakit hati lebih berkepanjangan yang dari mereka. Alur pikiran yang membuatku tersenyum masam di belakang mereka ketika kami akan menyeberang jalan raya yang sudah sepi ini.
"Ayolah langsung menyeberang aja Fan, jalannya lagi sepi juga." Ucap Beni kepadaku, tangan kanannya bergandengan erat dengan pacarnya.
"Santai aja lah, lampunya masih menyala hijau juga. Lebih baik hati-hati daripada nyesal kan."
"Ah, kamu cupu banget sih. Ya udah kami duluan." Sahut Andi yang sedang merangkul pacarnya dengan mesra.
Ketiga pasangan itu pun mulai menyeberang jalan dengan begitu santainya, seolah mereka tak merasa was-was sedikit pun. Tiba-tiba muncullah sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi di kejauhan, kendaraan itu tampak berada di luar kendali sang pengemudinya. Melihat hal itu, terlintas sebuah harapan di dalam pikiranku yang kelam. Harapan gelap yang mendoakan agar mereka semua tertabrak oleh raksasa besi tersebut. Meskipun aku tahu betapa salahnya bagiku untuk berharap demikian kepada mereka, tak terdapat sedikit pun rasa penyesalan di dalam diriku. Lebih tepatnya, aku sama sekali tidak memiliki waktu untuk menyesalinya, karena secara mendadak pengemudi truk itu membanting setirnya agar bisa menghindari mereka, kemudian menabrak tubuhku dengan keras sebagai gantinya.
Setelah rasa sakit luar biasa yang terjadi dalam waktu sekejap, seluruh pandanganku pun menjadi gelap gulita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isekai Haremanser
FantasyNamaku adalah Fano Duari, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sayangnya harus mati tanpa sekali pun pernah mengalami bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih karena tertabrak oleh sebuah truk. Tiba-tiba, aku pun terbangun di sebuah duni...