Kini aku tengah berhadapan dengan seorang pria botak bertubuh kekar yang membuat sang bos preman dari beberapa hari lalu terlihat layaknya seorang bayi. Setelah mengetahui kalau orang yang disebut "penyembuh" itu adalah seorang lelaki, gambaran di dalam kepalaku mengenainya berubah menjadi sosok kakek-kakek yang tubuhnya sudah dilemahkan oleh usia tua, berjalan dengan bungkuk selagi mengelus-elus janggutnya yang panjang. Pada dasarnya, setiap penggambaran seseorang yang bijak di dalam cerita fiksi.
Karakter dengan desain seperti paman bernama Balturok ini biasanya berperan sebagai seorang prajurit berhati mulia namun juga eksentrik, bukannya seorang yang terkenal dengan kemampuannya untuk memulihkan penyakit orang lain. Selain itu, ia sama sekali tak tampak sesuai berada di periode abad pertengahan, bagai seorang binaragawan yang terkirim ke masa lalu sehabis mati tersedak oleh sebuah batang protein.
"Jadi bagaimana rasanya lukamu wahai anak muda? Apakah sentuhan tangan emasku ini sudah menunjukkan khasiatnya?" Tanya pria yang biasa dipanggil Baltur itu dengan suara yang menggelegar, yang seolah memukul gendang telingaku dengan sebuah tongkat.
"Y-ya, sepertinya begitu. Tapi kadang masih terasa sakit kalau saya terlalu banyak gerak, apalagi kalau saya mencoba mengangkatnya." Jawabku dengan lemah, selagi berusaha untuk mengikuti gaya bicara kuno orang di sini, terutama Baltur.
"Dasar bocah, tentu saja bekas lukamu itu masih sakit! Memangnya kamu pikir aku memiliki kekuatan Mansi apa? Tidak semua orang bisa menyembuhkan luka dalam hitungan detik. Jadi, bersyukurlah ada seseorang sepertiku yang selalu siap sedia untuk menolongmu!"
"Ah, iya. Maaf..."
"Huh, tak apalah asal kamu mengerti, bocah. Pastikan kamu tidak menggunakan tanganmu itu untuk sementara. Aku ingin mengurus gadis kecilku dulu."
Ternyata kedua hal itu kurang tepat untuk menggambarkan sifatnya, karena pria ini lebih terkesan seperti seorang pemabuk yang selalu membuat keonaran di berbagai bar yang dikunjunginya. Gesekan sedikit saja dengan sesuatu yang berkaitan dengan harga dirinya dapat memicu kemarahannya, dan ia tak akan puas sampai orang yang menyinggung perasaannya itu pulang dengan wajah yang babak belur.
Walaupun begitu, menilai karakter seseorang hanya dari kesan pertama bukanlah kebiasaan yang baik. Jadi, aku ingin berusaha sebisa mungkin untuk mengenal Baltur. Siapa tahu, mungkin saja terdapat sebuah jiwa yang bijak tersembunyi di balik dinding kepercayaan dirinya.
Ketika perbincangan kami sudah berakhir, Baltur pun menghampiri seorang gadis kecil yang sepertinya merupakan putrinya. Ekspresinya yang keras seketika luluh setelah dihadapkan dengan senyuman gadis itu, membuat ia tersenyum lebar. Ia pun menggendong sang gadis di bahunya dan membawanya berjalan ke sebuah rumah di bagian pinggir desa. Dugaanku terbukti benar, seorang pria sekeras batu pun akan melunak bila ia berhadapan dengan anaknya. Sayangnya, hal yang serupa tak berlaku pada ayahku, sehingga momen manis mereka membuatku merasa iri.
Aku pun mengalihkan perhatianku ke arah lingkungan sekitarku, memberi waktu bagi kedua mataku untuk menangkap keseluruhan dari pemandangan desa kecil yang terletak di tengah hutan ini. Desa ini terdiri atas sejumlah rumah sederhana yang terbuat dari kayu, yang dikelilingi oleh batang runcing yang membentuk sebuah persegi sebagai pagar. Kalau diperhatikan lebih lanjut, tampaknya tidak lama berlalu sejak bangunan itu didirikan. Entah bagaimana, mereka mampu membangun semua itu hanya dengan memotong sedikit pohon saja, bahkan membiarkan beberapa darinya tumbuh subur di tengah desa.
Pantas saja tempat ini tidak terlihat dari tebing yang aku turuni kemarin, karena cahaya obor yang mereka pasang pun tertutupi oleh pepohonan yang rindang itu. Menjadikannya sebuah perwujudan nyata dari istilah "desa yang tersembunyi di balik dedaunan."
Inilah bagian terbaik dari sebuah isekai, aku bisa menemukan referensi ke berbagai anime kesukaanku. Meskipun begitu, aku juga bakalan merindukan segala sesuatu yang berkaitan dengan hobiku tersebut, sebab jelas sekali hal semacam itu belum diciptakan di masa kuno ini. Namun, itu bukan sebuah masalah yang besar. Lagi pula, siapa yang butuh fiksi kalau aku sudah berada di sebuah dunia fantasi. Aku bisa mewujudkan setiap khayalanku dengan mudah. Sialnya, jalan menuju hati Kairis merupakan sesuatu yang terkunci di balik mode realisme.
"Jadi dia di situ dari tadi. Cih, dia ngomong sama si pirang itu lagi." Ucapku dengan kesal saat pandanganku berhasil menemukan tempat keberadaan Kairis.
Ternyata, sang gadis sedang berbincang dengan pemuda berambut pirang yang menurut perkataan Drurivan bernama Oltyart itu. Bara api berukuran besar yang menyala-nyala di belakang mereka seolah menggambarkan isi hatiku saat ini, yang dibuat panas dengan rasa cemburu. Tetapi, aku kemudian teringat bahwa tidak ada hubungan apa-apa di antara diriku dan Kairis, membuat emosi itu tampak tak berdasar dan irasional. Tiada seorang pun yang suka dengan pribadi yang posesif, baik ia seorang lelaki ataupun perempuan. Sesulit apa pun bagiku mengakuinya, aku harus mengurangi kecenderunganku untuk bertindak layaknya seorang bajingan kalau aku bersungguh-sungguh ingin mengencani Kairis. Tepat seperti seorang protagonis isekai yang berbagi nama yang sama dengan sebuah merek mobil dari Jepang.
Langkah awal menuju pola pikir yang lebih sehat itu adalah dengan memandang si Oltyart sebagai seorang rival di dalam percintaan, dan bukannya seekor hama yang mesti kuhapuskan dari muka bumi ini. Simpelnya, kami adalah dua pria di medan pertempuran yang seimbang. Setidaknya, kalau aku mengabaikan kenyataan bahwa ia melebihiku dari segi ketampanan, kegagahan, keberanian dan segala kelebihan lainnya. Hasil pengamatan objektif yang membuatku semakin tersadar akan minimnya kesempatanku untuk menang.
"Tapi entah kenapa mereka tidak terlihat romantis sama sekali..." Ucapku yang merasa heran akibat menyaksikan interaksi mereka yang aneh, yang tampak sedang berteriak kepada satu sama lain. Meskipun begitu, berbanding terbalik dengan kesan yang diberikan oleh nada bicara mereka, wajah mereka tidak menunjukkan kemurkaan sedikit pun, jadi kemungkinan itu bukanlah sebuah perdebatan.
Agar dapat mendengar perbincangan mereka dengan lebih jelas, aku pun berjalan dengan pelan ke arah mereka, sesuatu yang juga disebabkan oleh tubuhku yang jujur masih terasa lemas sekarang. Sebelum aku sempat mencapai posisi mereka, Oltyart pun memberi semacam gestur kehormatan kepada Kairis, mungkin sebagai sebuah bentuk penghormatan. Melihat itu Kairis hampir terlihat seolah ia tersipu malu, sampai-sampai ia kelabakan memberi Oltyart isyarat untuk berhenti. Sang pemuda pun kembali berdiri tegak dan tertawa kecil, kemudian berjalan dengan aura kejantanan yang pekat melewatiku. Ketika ia berada di sampingku, Oltyart pun menepuk pundakku sambil tersenyum lebar, yang terkesan seperti seringai merendahkan yang terselubung di mataku. Perubahan rencana, aku akan memastikan untuk melempar pemuda itu ke tengah sebuah kawanan Ekelrakwa dalam keadaan telanjang bulat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isekai Haremanser
FantasyNamaku adalah Fano Duari, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sayangnya harus mati tanpa sekali pun pernah mengalami bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih karena tertabrak oleh sebuah truk. Tiba-tiba, aku pun terbangun di sebuah duni...