Tak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, aku pun bergegas mendatangi Kairis yang telah menyadari kehadiranku sejak tadi. Raut wajah Kairis yang tampak cerah sebelumnya seketika berubah menjadi suram saat aku tiba di hadapannya, sesuatu yang membuatku memutuskan untuk menyisakan jarak yang cukup jauh memisahkan kami. Aku tidak ingin ia berpikir bahwa aku adalah orang aneh yang berlaku sok akrab dengannya, kalaupun kesan itu sudah telanjur membekas pada titik ini.
"Kenapa lagi? Kalau ini soal pakaianmu, perjanjian kita sudah terpenuhi. Semuanya sudah jadi milikku sekarang." Ucap Kairis dengan tegas, tak meninggalkan sedikit pun ruang untuk debat.
"A-aku tidak keberatan sama sekali kok! Ini bukan soal itu. Aku cuma ingin berbicara tentang... hal lain."
Memang setiap dari itu adalah pakaian favoritku, tetapi aku dapat merelakan hatiku untuk melepaskannya, karena tiada satu pun di antaranya yang merupakan hasil kerja kerasku sendiri, melainkan berasal dari uang milik kedua orang tuaku. Tentunya, kehidupan yang berlimpah akan harta material adalah sesuatu yang patut disyukuri, sebab masalah ekonomi merupakan salah satu hal yang dapat menghancurkan masa depan seseorang. Hanya saja, selalu mendapatkan barang apa pun yang kuinginkan tanpa banyak berusaha itu terasa begitu tak berarti, suatu wujud godaan rasa malas yang dapat berakhir membunuh motivasiku. Terlebih lagi, kenyataan bahwa orang tuaku menjadikan hal itu sebagai pengganti bagu kasih dan perhatian yang tidak bisa mereka berikan kepadaku secara pribadi adalah kondisi yang sama sekali tak sepadan.
Uang hanya bisa membesarkan tubuhku, tetapi tidak mampu mendewasakan hati dan pikiranku.
"Apa katamu di bagian akhir tadi? Maaf, tapi teriakan para Ekelrakwa semalam membuat telingaku menjadi agak bermasalah. Jadi, tolong berbicara lebih keras lagi." Ucap Kairis dengan nada yang lebih lembut, yang juga diikuti oleh ekspresi wajahnya.
"Oh, begitu ya..." Aku pun mengangguk dalam pemahaman akan situasinya. Jadi itulah alasan mengapa perbincangannya dengan Oltyart penuh dengan teriakan yang tidak jelas.
Aku pun teringat akan momen pada pertempuran semalam saat kawanan Ekelrakwa itu mampu memojokkan Kairis, menembus pertahanan gadis yang sekokoh benteng batu tersebut. Selama hal itu berlangsung, aku cuma bisa menatap dalam diam, dibekukan oleh rasa takutku yang luar biasa terhadap setan kecil yang seolah terbebas dari neraka itu. Aku takut kalau sampai tangan mereka menyentuhku, mereka akan menarikku ke tempat asal mereka.
Meskipun aku sudah pernah mati sekali sebelumnya, pengalaman itu sama sekali tidak memberiku resistansi terhadap konsep dari kematian itu sendiri. Malahan, pemahamanku atas betapa sakitnya proses itu menumbuhkan sebuah hasrat yang kuat untuk mencegah terjadinya hal yang sama lagi, atau lebih tepatnya suatu trauma yang cukup mendalam.
Ketika aku terbangun dari kecelakaan truk itu pun, hal yang pertama kali kurasakan adalah sesak pada bagian dadaku, yang entah menyerang antara paru-paruku atau jantungku. Intinya, hal itu benar-benar mempengaruhi aku secara nyata, memanifestasikan dirinya sebagai sakit yang luar biasa, dan bukannya sebuah alasan yang dibuat-buat belaka.
Tetap saja, aku sadar bahwa aku tidak bisa membiarkan hal itu menghentikan usahaku untuk bersikap lebih berani, karena kelemahan seperti itu dapat berakhir membunuhku suatu hari nanti. Tak seorang pun bakal sudi menaruh kepercayaannya kepada diriku, membuat mereka tidak peduli untuk melindungi ataupun berbuat baik kepadaku. Aku akan mati sendiri di dalam kesepian, layaknya seorang pecundang sejati. Selama orang masih menghargai diriku, aku harus bisa mempelajari berbagai macam nilai positif dari mereka.
Pada dasarnya, aku harus tumbuh mandiri dengan mengurangi ketergantunganku pada orang lain.
Aku pun berbicara dengan keras "Aku cuma mendengar ini dari Drurivan, tapi... ka-kamu berencana untuk tinggal di desa ini untuk lebih lama kan? Kamu ingin membantu para warga desa ini menghadapi para tera yang ada di sekitar sini bukan? "
KAMU SEDANG MEMBACA
Isekai Haremanser
FantasíaNamaku adalah Fano Duari, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sayangnya harus mati tanpa sekali pun pernah mengalami bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih karena tertabrak oleh sebuah truk. Tiba-tiba, aku pun terbangun di sebuah duni...