Setelah turunnya anak yang terakhir dari rumah terbalik itu, Kairis bersama seluruh warga desa pun berjalan perlahan mendatangi kami, barangkali memerlukan waktu untuk mempersiapkan mental mereka melihat pemandangan ini. Kelihatannya, bahkan mereka yang telah melewati lebih banyak sakit dan derita daripada aku masih mampu mempertahankan sebagian dari kemanusiaan mereka. Tatkala mereka sampai, para warga desa pun mengelilingi deretan mayat tersebut untuk menangisi kepergian mereka, kejadian yang kusaksikan dengan mata yang masih berair. Mengejutkannya, Kairis pun berhenti di sampingku dan menepuk pundakku selagi memberikan pandangan yang pengertian, sesuatu yang tak layak kudapatkan namun sangat kuperlukan kini.
Sialnya, bahkan ketenangan yang diberikan oleh sang gadis pun belum memadai laksana peneguhan yang kubutuhkan untuk menghadapi Oltyart yang baru saja tiba. Awalnya, pemuda yang normalnya tampak gagah penuh percaya diri itu melangkah ke sini dengan topeng berupa ekspresi datar nan terkesan amat dipaksakan, yang berangsur runtuh dengan setiap langkah yang diambilnya menuju jasad sepupunya. Alhasil, matanya yang sempat mengering pun berakhir mengeluarkan air mata kembali, terus mengalir tak peduli bagaimana pun ia menggosok matanya. Melihat kedatangan sang kakak yang paling berhak meratapi mayat Drurivan, warga desa yang mengelilinginya pun berpisah membuka jalan bagi Oltyart, yang seketika jatuh berlutut tepat di hadapannya. Isak tangis yang pilu pun terdengar, hal yang berdampak meruntuhkan bendungan air mataku sendiri.
Aku pun memberi isyarat sunyi kepada Kairis untuk melepaskan tangannya, lalu berjalan mendekati Oltyart meskipun keraguan yang luar biasa tengah menghinggapi hatiku. Perasaan itu semakin memburuk kala Oltyart memalingkan kepalanya kepadaku dengan memperlihatkan raut mukanya yang teramat mengharukan itu, memaksaku untuk menghentikan kakiku dan menundukkan kepalaku.
"...Maafkan aku, Oltyart." Ucapku dengan suara bergetar yang terdengar menyedihkan namun mustahil kukendalikan.
Mata Oltyart pun memancarkan sedikit kebingungan "Untuk apa? Setahuku kamu tidak berbuat kesalahan apa pun kepadaku ataupun Drurivan."
Balasannya yang lembut hampa akan negativitas itu pun mengolahku tertegun, balik mempertimbangkan kalimatku selanjutnya. Berkat hatinya yang mesti kuakui sungguh baik, tampaknya Oltyart sama sekali tak menyalahkanku untuk apa yang terjadi kepada adiknya tersebut. Jadi, apakah itu berarti aku bisa memanfaatkan peluang ini? Tidak, aku harus bersikap lebih baik daripada ini, menghadapi kesalahanku secara langsung dan bukannya berlari dari pengakuan apalagi pertanggungjawaban atasnya.
"Kamu pasti tahu apa! Kamu lihat sendiri kalau Drurivan hanya mengalami ini karena dia berusaha untuk menolongku bukan?" Terangku dengan nada yang tingginya melampaui niatku, secara instan membuatku menyesal.
Terkejut akibat semburanku itu, Kesatria muda itu pun sampai membelalakkan matanya sesaat, perkataanku terasa bagai tangga yang menimpanya saat ia sedang terjatuh. Padahal, niat semulaku melakukan ini adalah agar Oltyart dapat melampiaskan segala perasaan terpendam yang menyesakkan dadanya kepadaku. Masalahnya, hal itu sudah terkesan agak keliru sedari awal. Setelah dipikir-pikir dengan baik, bagaimanapun juga aku memilih untuk menyampaikan perasaanku, akhir-akhirnya justru akulah yang akan melepaskan beban di hatiku. Senyum tipis yang terbentuk di wajah sang pemuda sebelum ia berpaling ke depan pun tambah memperkuat kekhawatiranku tersebut.
"Kalau begitu kita melihat hal yang berbeda jauh. Yang kulihat saat itu adalah seorang kakak yang gagal melindungi adiknya, dan juga seorang Kesatria yang kalah heroik dengan prajurit di bawahnya. Dua hal yang terlampau menyedihkan dibandingkan dengan dirimu yang cuma terjerat dalam situasi itu karena perhatianmu yang teralihkan. Sementara aku masih dilanda keraguan, Drurivan dengan gagah beraninya langsung bergerak secepat kilat untuk menjauhkanmu dari bahaya. Kalau kamu saja sudah merasa bersalah untuk itu, lalu bagaimana denganku yang tidak bisa berbuat apa pun?" Ucap Oltyart dengan lemah, kepalanya tertunduk lemas menatap tubuh tak berdaya Drurivan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isekai Haremanser
FantasyNamaku adalah Fano Duari, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sayangnya harus mati tanpa sekali pun pernah mengalami bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih karena tertabrak oleh sebuah truk. Tiba-tiba, aku pun terbangun di sebuah duni...