6. Hanya Seorang Pecundang

7 2 0
                                    

"Sebuah atap yang asing..."

Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya aku bisa mendapat kesempatan yang sempurna untuk menggunakan kutipan kalimat yang ikonik tersebut. Walaupun begitu, aku tetap merasa dikecewakan dengan pemandangan sebuah plafon kayu yang menyambutku, dan bukannya plafon putih khas rumah sakit apalagi wajah rupawan milik Kairis. Sebuah adegan klise yang benar-benar kubutuhkan untuk menenangkan rasa sakit pada tangan kananku yang sedang terbalut perban saat ini, korban dari gigitan seekor Ekelrakwa.

Sayangnya, keinginan itu terlalu bertentangan dengan sifat Kairis yang kukenal selama empat hari ini. Jelas sekali sang gadis lebih sudi bertarung hingga titik darah penghabisan melawan kawanan Ekelrakwa itu daripada membuang-buang waktunya untuk menjagaku. Lagi pula, aku tidak melakukan apa pun yang layak dibanggakan di dalam pertarungan pada malam itu. Aku hanya bisa memukul seekor dari makhluk itu, lalu pingsan akibat kesalahan yang bodoh di tengah situasi yang menegangkan itu. Sekarang, aku bahkan tidak sempat memastikan apa Ekelrakwa itu benar-benar sudah mati atau belum.

Pertama kalinya aku mencoba untuk membunuh sebuah kehidupan dengan tanganku sendiri, tetapi aku tak mampu meluangkan waktu untuk memikirkan perasaanku mengenai perbuatan tersebut.

"Hei, akhirnya kamu bangun juga." Ucap seseorang dari sebelahku, membuat pandanganku teralih ke arahnya.

Pemilik suara itu adalah remaja lelaki yang kutolong dalam pertarungan  itu, yang sedang duduk bertelanjang dada pada kasur selagi tersenyum kepadaku hanya dengan sebuah perban menutupi bagian atas tubuhnya. Ia memiliki surai pirang yang pendek, dan manik mata biru secerah langit tak berawan. Kalau dilihat dari perawakannya yang jelas sekali usianya beberapa tahun di bawahku. Membuat kelalaiannya dalam bertarung pada saat itu menjadi lebih masuk akal, untung saja ada aku di situ untuk menolongnya.

"Ya, aku baru saja bangun barusan. Ngomong-ngomong bagaimana kelanjutan dari pertarungan itu? Apa kalian berhasil mengalahkan mereka?"

"Soal itu tidak usah khawatir. Karena kakak Kairis..."

Ia pun menceritakan apa yang terjadi setelah aku pingsan. Sekitar kurun waktu semalam telah berlalu sejak pertarungan itu. Segala sesuatu berjalan dengan lancar, karena mereka mampu mengatasi kawanan Ekelrakwa yang tersisa dengan mudah, berkat kekuatan Geomansi Kairis dan kerja sama yang sempurna di antara para penjaga. Hal itu menimbulkan rasa bersalah di dalam diriku, karena itu berarti identitas Kairis sebagai seorang Geomanser terungkap akibat usahanya untuk di akhir. Ia pasti merasa marah kepadaku sekarang, merasa muak dengan melihat pemandangan wajahku saja.

Satu hal yang kusadari adalah cara si remaja membawakan cerita itu dengan penuh kekaguman kepada Kairis, menggambarkan kuasanya atas elemen tanah seolah itu adalah keajaiban dari surga itu sendiri. Ekspresinya terkagumnya itu mengingatkanku akan diriku saat masih seusia dengannya, ketika aku menemukan waifu pertamaku. Suatu perwujudan yang indah dari bara api masa muda.

"Kalau semuanya berjalan lancar, kenapa kamu ada di sini bersamaku? Perban di badanmu itu tidak kelihatan baik-baik saja." Ucapku yang tengah berusaha untuk duduk, sesekali meringis kesakitan saat rasa nyeri menyerang tanganku.

"Ah, ini. Ketika kamu terjatuh pingsan, aku yang disuruh untuk menyingkirkan kamu dari medan pertempuran. Sialnya, malah ada Ekelrakwa yang mencakarku dari belakang di tengah usahaku itu."

Aku pun tertunduk malu, baru tersadar akan kepayahanku walaupun aku merasa sangat bangga tadi "Begitu ya? Maafkan aku, sepertinya aku cuma jadi beban saja."

"A-ah, tidak usah merasa begitu! Kamu pasti kelelahan habis menuruni sebuah jurang dan berlari dari kawanan Ekelrakwa itu. Setidaknya kerjaanku cuma berjaga di satu tempat seharian."

Isekai HaremanserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang