17. Lemparan Balik

1 1 0
                                    

Layaknya seseorang yang baru saja menonton sebuah pertunjukkan langsung, Matahra mulai bertepuk tangan tanpa menghasilkan bunyi sedikit pun, terlalu pelit untuk membiarkan kami mendengar sesuatu yang terdengar seperti seorang manusia normal. Hal itu membuatku berpikir kalau ia bahkan tak menangis saat ia pertama kali terakhir ke dunia ini sebagai seorang bayi.

"Barusan itu adalah penampilan pembuka dari anak-anakku, yang hebatnya tidak perlu banyak latihan untuk melakukannya. Kuharap kalian bisa mengapresiasi usaha mereka." Ucap Matahra tanpa kehangatan yang semestinya hadir dalam perkataannya.

"Aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas berkat teriakan anak-anakmu itu, tapi kurasa aku harus berterima kasih kepada mereka karena sudah menjauhkanku dari omongan sampahmu." Balas Kairis sambil memompa telinga kanannya yang kelihatannya percuma saja.

"Kalau begitu bersiaplah untuk penampilan utama mereka yang akan membuatmu tak perlu mendengarkan apa pun lagi." Tegas Matahra dengan sedikit warna kemarahan yang ditunjukkannya beberapa jam lalu. Kedengarannya gadis ini tidak suka kalau perkataannya diabaikan.

Barangkali karena merasa bila terdapat sesuatu yang lucu tentang perbincangan antara kedua Manser itu, Oltyart pun tertawa kecil seraya memasukkan pedangnya ke dalam sarung di samping tubuhnya meskipun ia tahu bahwa kami sedang bertarung. Sebelum aku yakin kalau ia sudah gila, sang pemuda pun mengambil busur panah yang diletakkan bersandar pada dinding ini seperti beragam jenis senjata lainnya, agar para penjaga bisa berganti senjata dengan cekatan saat perlu. Mereka juga menugaskan empat gadis desa untuk melemparkan barang-barang tersebut di setiap pintu.

"Sepertinya Nona Kairis sudah kehabisan alasan untuk menahan omongannya dengan si Terastiomanser itu." Komentar sang pemuda yang tengah menyiapkan anak panahnya.

"Huh, jadi kamu bisa memakai busur panah juga? Kukira kamu seorang Kesatria." Ucapku yang teliti mengamati kerjanya dengan harapan mampu melakukan hal yang sama nanti.

"Yah, menjadi seorang Kesatria itu bukan tentang memakai pedang beserta baju zirah dan mengendarai kuda saja, aku harus memenuhi semua potensiku untuk melindungi semua orang yang kusayangi. Ini hanyalah sebagian kecil dari itu." Jelas Oltyart yang kubalas dengan anggukan saja.

Drurivan pun mengembuskan napas panjang di sampingku "Rasanya berat bagiku untuk mengakui ini, tapi Oltyart adalah pengguna terbaik dari hampir semua jenis senjata kecuali tombak di daerah kami dulu, sampai-sampai dia bisa memenangkan setiap tantangan melawan Kesatria milik bangsawan lainnya. Saking hebatnya orang ini, dia bahkan bisa membunuh sekawanan preman dengan membuat mereka tersedak oleh patahan gigi mereka sendiri."

Dalam hitungan detik aku mendengarkan penjelasan tambahan Drurivan itu, aku pun langsung memasang ekspresi kengerian murni pada wajahku akibat gambaran dari hal terakhir yang dikatakannya. Bagaimana caranya dia bisa melakukan sesuatu seperti itu? Aku tidak bisa memikirkan metode selain memukul mulut mereka sekeras mungkin hingga gigi lawannya patah dan tertelan. Kenyataan bahwa tiada seorang pun di duniaku yang pernah terpikir untuk melakukan itu merupakan sebuah pembuangan bagi mereka yang menjadi korban luka ataupun jiwa dalam sebuah tindak kriminal. Jika saja mereka dapat menggunakan serangan yang serupa, maka bisa jadi jumlah mereka akan berkurang drastis. Gerakan itu tidak hanya pantas dianggap sebagai suatu teknik bela diri, tetapi mesti mendapatkan sekolah bela dirinya sendiri. Bila Kairis benar-benar menyukai Oltyart, kini aku jadi bisa memahami alasannya. Untungnya, aku bukan seorang protagonis NTR.

Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri, Oltyart pun tersenyum selagi membidikkan panahnya dengan badan yang condong sedikit ke luar dinding. Aku pun meletakkan paluku pada dinding, lalu ikut mengubah posisiku agar bisa mendapat sudut pandang yang bagus dari usaha sang pemuda, yang sudah menetapkan bidikannya pada seekor Ekelrakwa yang sedang mengumpulkan batu di samping sebuah pohon dengan Tali milik Matahra terhubung di punggungnya. Sebenarnya ada sejumlah Ekelrakwa lainnya yang berdiri di tempat yang lebih terbuka, namun mungkin Oltyart memilih sasaran itu demi kesempatan kecil bila ia lengah akibat perlindungan batang pohon di belakangnya. Ide yang menurutku lumayan pintar.

Isekai HaremanserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang