13. Santapan Terakhir

3 1 0
                                    

Sejumlah waktu kemudian paman Balturok bersama beberapa orang pria dan wanita pun datang menghampiri meja ini dengan membawa berbagai macam wadah makanan dari bangunan terbesar di desa ini, yang kalau dilihat berdasarkan suara kesibukan dan aroma lezat yang berasal darinya merupakan semacam dapur bersama, dan mungkin berfungsi ganda sebagai tempat penyimpanan bahan pangan di sini. Kenyataan bahwa ia mengangkat wadah yang paling besar tak menghentikan paman Balturok untuk menjadi orang pertama yang meletakkan makanan berupa potongan daging panggang di tengah meja, bukti jelas bila ia tidak cuma mengandalkan keahliannya tetapi juga kekuatannya. Aku yakin pria tua ini bukan sebatas penyembuh dan pemasak saja, melainkan seorang petarung yang handal pula. Rasanya aku tak sabar ingin melihat manusia raksasa ini menghancurkan tubuh kerdil para Ekelrakwa itu nanti.

Tak perlu waktu lama bagi wadah makananan lainnya untuk menyusul, sehingga meja yang ukurannya melampaui yang orang tuaku punya di rumah ini terpenuhi oleh pilihan panganan yang lumayan bervariasi dalam sekejap mata. Lingkup pandanganku beserta indra penciumanku pun mulai digoda dengan sajian makanan yang terkesan lezat tersebut. Entah bagaimana penduduk desa yang kuno ini mampu menyajikan makanan yang tampak lebih menggugah selera bahkan kalau dibandingkan dengan yang biasa kumakan di rumah ataupun di restoran ternama. Kemungkinan hal itu disebabkan oleh rasa kenyamanan yang diberikan tempat ini, mirip dengan warung kecil yang terkadang kudatangi bersama Edi, Beni, dan Agus. Hm, kuakui aku suka mendengarkan nama-nama khas fantasi dunia ini, namun aku tidak bisa membantah kalau aku rindu mendengar nama-nama orang di tanah airku yang sudah terasa familiar.

"Ngomong-ngomong ada acara apa hari ini sampai warga desa memasak sebanyak ini Drurivan? Rasanya tidak mungkin kalian melakukan ini cuma untuk menyambut aku dan Kairis..." Tanyaku sepintas kepada remaja lelaki di kiriku, perhatianku tersita oleh makanan di hadapanku. Hebatnya, terdapat olahan-olahan ikan pada meja di hadapanku, meskipun sungai terdekat ke desa ini berjarak cukup jauh dan berpotensi dihuni oleh banyak Tera.

"Oh iya, aku tidak sempat memberitahukanmu karena kamu latihan dengan kakak Kairis tadi. Nona Muda kami akan pulang ke desa dari misi pengamatan-Nya. Menurut perhitungan-Nya, seharusnya Dia sudah bisa mencapai desa ini sebelum waktu tengah malam tiba. Jadi kami ingin mengadakan acara makan-makan ini untuk merayakan kepulangannya. Ah, rasanya aku tidak sabar menunggu-Nya pulang. Padahal Dia baru pergi seminggu, tapi rasanya seperti berbulan-bulan saja. Aku ingin Dia mengajarkanku tentang cara berhitung lagi..." Jelas Drurivan dengan mata berbinar-binar yang bahkan tak terfokus kepadaku, hal yang terasa agak mengesalkan bagiku.

"Kalau cuma cara berhitung dasar kenapa kamu tidak belajar denganku saja? Memang pengetahuanku dalam bidang 'Matematika' tak sebanding dengan seorang ahli layaknya Nona Mastreral, tapi setidaknya aku bisa mengajarkanmu dasarnya. Bagaimana Druri? Apa kamu tidak ingin bernostalgia seperti dulu saat kamu belajar teknik berpedang dengan kakak sepupumu ini?" Tawar Oltyart kepada adik sepupunya itu dengan sebuah cengiran.

"Untuk apa aku melakukannya denganmu kalau sebentar lagi aku akan bertemu dengan Nona Maste juga! Dan seingatku dulu kita cuma banyak main-main saja dengan pedang kayu punyamu... Tapi kalau kamu bersikeras, bagaimana kalau kita berduel saja sekalian Olt? Kita buktikan siapa yang lebih pantas menjadi Ksatria bagi sang Nona Muda!" Tantang Drurivan yang sempat melonjak dari duduknya sebelum ia kembali terduduk akibat lukanya.

"Itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan tawaranku barusan, tapi baiklah aku terima tantanganmu. Kuharap kamu tidak akan menyesal karena telah memilih untuk berurusan denganku dalam bidang yang memang merupakan keahlianku." Terima Oltyart dengan gerak-gerik penuh kegigihan, yang kemudian dilanjutkannya dengan menawarkan sebuah jabatan tangan yang disambar Drurivan dengan ganas.

Sepasang saudara sepupu berkepala pirang itu pun terus melanjutkan perdebatan mereka, dengan sesekali melibatkan aku di dalamnya. Seiring berjalannya hal itu, aku mulai bisa memahami alasan mengapa mereka tampak gemar berdebat dalam setiap interaksi mereka. Jelas sekali terlihat di mataku bahwa Drurivan membenci kakak sepupunya itu, namun perasaan itu juga didampingi oleh kehormatan yang nyaris setara besarnya. Oltyart yang sepertinya menyadari itu pun terpaksa harus memaklumi sifat labil sang adik sepupu. Kurasa sebuah hubungan yang terdominasi oleh hal negatif semacam itu pun bisa bekerja, kalaupun secara pribadi aku tak mampu mengapresiasinya. Aku rindu waktu saat teman-temanku masih menghargaiku.

Isekai HaremanserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang