Dorongan adrenalin membuatku mencapai posisiku di belakang para wanita dalam waktu singkat, melewati mereka tanpa mengucapkan satu pun kata permisi. Sebenarnya Drurivan yang datang bersamaku juga tak melakukan itu, hanya saja berbeda dengan dirinya aku telah mengabaikan ajaran budayaku sendiri. Orang tuaku pasti akan merasa kecewa kepadaku bila mereka mengetahui itu. Kenyataan bahwa aku dapat membuang prinsip kesopananku dengan sebegitu mudahnya dalam keadaan genting yang berpotensi menjadi momen terakhir kehidupanku seakan mewarnai keseluruhannya dengan corak yang menyedihkan.
"Sepertinya para Tera itu cukup mengerikan untuk membuat lelaki seperti kalian berdua berlari ketakutan ke sini. Tapi, jangan khawatir. Kita semua pasti akan berusaha untuk melindungi satu sama lain sebisa mungkin. Jadi kalian juga pastikan untuk menunjukkan itu kepada para anak-anak ya." Ucap seorang wanita dari depan barisan kepada kami, ia pun menunjuk ke arah rumah tanah di belakang kami dengan dagunya, tempat anak-anak desa yang berlindung sedang mengintip dengan takut pada kedua sisi pintu. Aku bahkan bisa melihat putri paman Baltur di antara mereka.
Kelihatannya, wanita itu ingin mengingatkan kami akan tugas kami pada pertarungan ini, yakni memastikan agar tiada seekor Tera pun yang mencapai para anak-anak. Suatu tugas mulia yang terlupakan olehku sebab instingku untuk lebih memprioritaskan keselamatanku sendiri. Kuharap kelemahanku itu tak tampak terlalu jelas di mata orang lain, karena hal itu berada pada tingkat menyedihkan yang melampaui segala keburukan yang kulakukan sebelumnya. Sebagai senior dari mereka dalam kehidupam, tentunya aku mesti memperjuangkan peluang anak-anak itu untuk melanjutkan hidup mereka, sehingga mereka dapat menikmati berbagai kebahagiaan yang kualami sepanjang umurku atau bahkan melampauinya. Semoga aku tak perlu sampai membayar dengan nyawaku demi membeli masa depan mereka.
Merasa termotivasi oleh pengingatan sang wanita, aku pun memasang postur bertarung terbaikku di hadapan anak-anak tersebut, lalu memamerkan sebuah senyuman sebagai penenang bagi hati mereka. Saking ampuhnya perbuatanku itu sampai-sampai mereka bersembunyi kembali ke balik pintu itu, terpesona dengan senyun mentariku. Aku akan berusaha sebaik mungkin hanya dengan menggunakan satu tangan sekalipun, kali ini dengan palu keadilan di genggamanku dan bukannya benda lain.
"Ayo lakukan yang terbaik demi bocah-bocah itu, Drurivan! Dengan begitu kita bisa mencuri hati para generasi muda desa. Kemudian seperti kata paman Baltur kamu bisa terus memperoleh pencapaian sampai kamu bisa melengserkan Oltyart!" Tegasku kepada remaja di sampingku, yang membalas dengan sebuah senyuman sambil memegang pedangnya dengan dua tangan.
Akibat terbawa suasana, aku pun mengestur untuk menyilangkan senjata kami di udara layaknya sepasang teman, sesuatu yang untungnya dibalas Drurivan sebelum kecanggungan menimpa kami. Pertukaran itu tiba-tiba mengingatkanku tentang teman-temanku, membuatku penasaran apakah semua ini akan terasa lebih menyenangkan bersama mereka. Tunggu sebentar, tanpa sadar selama beberapa saat ini aku bertingkah serta berpikir serupa dengan seorang tokoh cerita yang akan mati. Oh shit, oh fuck. Klise semacam itu tidak berlaku bagi seorang tokoh utama sepertiku bukan?
Saksarakwa tadi pun mengeluarkan sebuah suara geraman kesakitan yang menarik perhatianku ke arahnya, di mana pergerakannya masih tertahan oleh empat penjaga yang sudah terlihat kewalahan menanganinya, hanya saja kini terdapat tombak paman Baltur terapit di antara gigi tajamnya. Darah yang mengucur dari sisi rahang Tera itu menandakan bahwa ia gagal menghentikan tusukan sang pria sepenuhnya, memberi paman Baltur kesempatan untuk mengambil tombak baru dari gadis di sampingnya.
Sebagai sebuah bentuk usaha terakhirnya, Saksarakwa itu pun membuka mulutnya lebar untuk mengeluarkan senjatanya sendiri, sesaat menghasilkan jeritan yang nyaring sebelum ia terbungkam oleh serangan menusuk kedua paman Baltur pada dagunya yang mampu menembus hingga otaknya, meredupkan matanya yang menyala kelabu dengan instan. Awalnya, aku berpikir bila itu menandakan akhir dari teror Tera itu, asumsi yang dibantah oleh kawanan Ekelrakwa di belakangnya yang dapat maju ke medan pertempuran, yang lalu membenamkan taring mereka pada Saksarakwa tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isekai Haremanser
FantasyNamaku adalah Fano Duari, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sayangnya harus mati tanpa sekali pun pernah mengalami bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih karena tertabrak oleh sebuah truk. Tiba-tiba, aku pun terbangun di sebuah duni...