31. Menggali Kuburan Sendiri

3 1 3
                                    

Kepercayaan diriku yang berlebihan tentang pengalaman berkemahku langsung runtuh seketika sehabis tidur di ruang terbuka dengan beralaskan kain saja, diserbu oleh kombinasi mematikan antara pasukan nyamuk dan cuaca dingin di hutan ini. Bahkan warga desa yang sudah tinggal lebih lama di sini pun masih merasa kedinginan, terutama para anak-anak. Mulanya, aku hendak menghangatkan badanku dengan berjalan sambil menyelimuti diriku dengan kain itu, namun karena merasa kasihan aku pun memberikan benda tersebut kepada Afraz putri paman Baltur yang sedang kesulitan tidur. Gadis kecil itu tampak gelisah menggeliat dan mengigau dilanda suatu mimpi buruk, anehnya memanggil "bapak" dan "ibu" sekalipun ia berada di dalam pelukan paman Baltur. Padahal, seingatku biasanya dia memanggil pria itu "ayah", lamun kurasa mengambil asumsi berdasarkan itu adalah sesuatu yang lancang sehingga aku memutuskan alur pikiran itu sampai di situ saja.

"Terima kasih, Fano. Jadi apa kamu akan ikut berjaga dengan Oltyart sekarang? Atau apa kamu akan membantu Kairis menggali lubang-lubang itu? Dia bersikeras ingin melakukan itu lebih dulu sejak tengah malam tadi." Tanya paman Baltur dengan nada dan ekspresi lembut yang entah bagaimana terlihat cocok pada mukanya yang keras, sembari menepuk-nepuk pelan punggung Afraz. Hal yang tetap tak sebanding mengejutkannya dengan fakta bahwa ia memanggilku dengan namaku.

"Yah, kalau harus memilih antara teman dan perempuan... jelas sekali aku akan pilih yang mana." Ucapku menyampaikan lelucon buruk itu dengan ragu-ragu, tanganku menggaruk-garuk bagian belakang kepalaku yang tak gatal.

"Seharusnya aku tidak bertanya, bocah. Kalau begitu bantulah gadis itu sana, dia bersikeras ingin mengerjakan semua lubang kubur itu sendiri sejak tadi. Kurasa kamu benar memilih dia, karena setidaknya Oltyart mempunyai beberapa teman untuk berjaga sementara Kairis pergi memasuki hutan itu sendiri. Hah... gadis itu bertingkah seolah-olah dia akan aman selama dia memiliki kekuatan Mansinya, walaupun bahkan dalam situasi terbaik hal semacam itu hanya akan menunda kematian kita sekaligus memperpanjang sakit dan derita kita. Ia tidak akan pernah memberikan segalanya yang kita inginkan, cuma membantu kita mempertahankan kehidupan ini yang terus merembes keluar bagai air dalam genggaman tangan. Semoga kamu bisa mempelajari itu dengan baik dari pengalamanmu selama beberapa hari ini, bocah." Nasihat paman Baltur kepadaku masih seraya menenangkan anaknya yang sudah kembali tertidur nyenyak, sesuatu yang kucerna sebaik mungkin. Sialnya, aku agak kesulitan melakukan itu sebab ia balik memanggilku bocah, membuatku berpikir bahwa aku telah mengecewakannya dengan jawabanku sebelumnya.

"Hm, tenang saja paman! Pertarungan itu menyadarkanku akan betapa rapuhnya diriku bahkan sebagai seorang Manser... jadi aku tidak akan berbuat gegabah apalagi bodoh begitu saja! Ke depannya aku akan berusaha mengandalkan pikiranku lebih dari kekuatanku." Balasku dengan jawaban yang dibuat khusus untuk memenangkan hormatnya lagi, mengangkat tangan kananku yang pulih membentuk sebuah tinju.

"Senang mendengar itu. Kalau begitu datangilah tuan putrimu itu sana, aku yakin bahkan dia pun bisa merasa kesepian sekalipun tidak dalam cara yang kamu harapkan."

Aku pun mematuhi usiran halus pria tersebut selagi tersenyum malu-malu, karena ia mampu menebak ketertarikan romantisku kepada Kairis dengan begitu mudahnya. Mungkin inilah rasanya bila ayahku cukup peduli untuk menggodaku tentang gadis yang kusukai, hal yang mustahil terjadi secara nyata akibat pengalaman buruknya dengan wanita. Bagaimanapun juga, aku akan mengingat perbincanganku dengan paman Baltur barusan sebagai salah satu momen berharga di dalam kehidupanku. Walaupun godaan yang kuterima dari para penjaga di tengah perjalananku menuju ke hutan nyaris merusak itu. Sejelas itukah niatku di mata mereka? Jika benar maka aku tak akan terkejut kalau Kairis sendiri sudah menyadarinya pula.

Kakiku pun melangkah memasuki daerah pepohonan gelap yang hanya menerima secercah penyinaran dari cahaya bulan subuh ini dengan gentar, bola mataku memantul ke segala arah memastikan bahwa tiada makhluk mengerikan yang menghuni satu pun dari bayangan yang mengepungku. Aku dibuat sedikit terkagum dengan keberanian sang gadis untuk memasuki alam kelam ini seorang diri, karena aku ragu Geomansinya akan berpengaruh banyak terhadap hantu dan sejenisnya. Bu-bukan berarti aku percaya dengan hal-hal seperti itu, tetapi kemungkinan mereka benar-benar ada di dunia fantastis ini tidaklah kecil. Belum lagi ditambah dengan bandit ataupun Tera yang bisa menyergap kapan saja dari kegelapan. Ketakutanku itu sepenuhnya bersifat rasional.

"Se-sebaiknya aku menyanyikan sesuatu biar tidak terlalu tegang. Lirik pertamanya apa ya? Oh iya. Nan- Si-siapa di situ!? Tun-tunjukkan eksistensimu!" Seruku yang terkaget sampai mengutip pembawa acara perburuan hantu yang pernah kutonton, jari telunjukku teracung ke arah sesosok hitam yang dengan lancangnya memotong nyanyianku. Sosok yang berjongkok menghadap sebuah pohon itu pun memalingkan kepalanya ke arahku, mengolah jantungku berdegup amat kencang seketika.

"Oh, ternyata kamu ya, Fano. Kamu mengagetkanku saja." Respons sosok itu dengan suara feminin yang familier namun agak serak, yang dapat berarti ia sedang berupaya untuk memancingku mendekatinya dengan meniru gaya bicara seseorang yang kukenal. Bagai persilangan antara sesosok hantu dengan seekor Siren.

Untuk mengonfirmasi kecurigaanku tersebut aku pun mengecek identitas makhluk itu dengan memunculkan Tali yang menghubungkan antara hati kami ke dalam penglihatanku, kemampuan Mansiku yang ternyata bisa diaktifkan dan nonaktifkan sesuai kehendakku, dugaanku agar ia tak selalu memenuhi seluruh jangkauan pandanganku. Dalam sekejap seuntai Tali bening pun melesat menuju sasaranku, lalu berubah warna menjadi kuning yang menandakan bahwa ia bersifat bersahabat kepadaku. Tetap saja, aku tidak melepaskan sikap siagaku hingga sosok itu bangkit menghampiriku dengan suatu benda yang bersinar di genggaman tangannya, akhirnya mengungkapkan rupa seorang Zilart ketika ia tiba di depanku.

"Zil-Zilart? Apa itu benar kamu? Apa yang kamu lakukan di tempat segelap ini?" Interogasiku secara berantai kepadanya, didorong oleh perasan panik yang tersisa.

"Eh, iya? Tentu saja. Me-memangnya siapa yang sudi membuang-buang waktunya meniruku? Aku cuma datang ke sini untuk mengecek Kairis, lalu aku menemukan bongkahan Fotokristal ini di bawah pohon itu," jelasnya menunjuk pohon tempatnya berjongkok tadi "memang ukurannya tidak seberapa, apalagi kalau dibandingkan dengan yang terpakai dalam pertarungan kemarin... tapi, untungnya dia bisa bertumbuh besar asalkan terkena sinar matahari!"

"Begitu ya? Itu menarik. Tapi aku kamu seriusan meninggalkan sesama perempuan sepertimu sendirian di tengah hutan gelap ini? Tega sekali." Ucapku dengan nada menggoda selaku pelatihan untuk dengan Kairis nanti, sekalian menanam bibit-bibit dengan Zilart juga.

"A-ah, soal itu Kairis sendiri yang mempersilahkanku pergi! Jadi aku tidak asal pergi saja. Aku sadar aku tidak bisa memberinya bantuan apa pun, makanya aku memutuskan untuk pergi saja karena dia memang tidak perlu. Oh, tapi jangan khawatir! Aku yakin dia pasti lebih memerlukan tidak hanya seorang lelaki, namun juga sesama Manser sepertimu." Serangnya balik secara tak terduga kepadaku, kemudian ia pun berkedip jahil dan melanjutkan perjalanannya pulang.

Ukh, aku merasa kalah telak terhadapnya dalam interaksi kami itu. Terungkap jelas di mataku bahwa selama ini aku terlalu meremehkan gadis lebih tua daripadaku itu, seseorang yang kuanggap sekadar pengecut dengan beberapa momen keberanian yang terdorong oleh adrenalin. Selain sanggup berjalan melewati hutan ini dengan begitu santainya, keahlian memanah Zilart cukup diandalkan oleh warga desa untuk dipilih membakar bangkai para Tera kemarin, kelebihan yang tak bisa kutandingini karena minimnya kemampuan bela diriku kecuali bila aku memakai kekuatan Mansiku. Setelah dipikir-pikir, aku tidak memiliki keunggulan sama sekali atasnya tanpa kuasa supernatural yang bersifat curang tersebut. Sebaiknya aku mengabaikan alur pemikiran ini sebelum egoku terluka terlalu parah.

Selaku antisipasi terhadap para penghuni kegelapan, aku pun memanfaatkan waktu ini untuk bereksperimen dengan kekuatanku. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Maste, aku pun mencoba mengeluarkan Pertalian Mansiku dari bagian tubuh selain telapak tanganku. Hasilnya, aku dapat berbuat demikian pada pergelangan tanganku, yang menembakkan Taliku ke udara layaknya jaring seorang manusia laba-laba. Sayangnya, wujud benda itu yang bersifat metafisika tidak memungkinkanku untuk bergelantungan dari satu pohon ke yang lainnya, meskipun semua Manser yang kutemui sejauh ini mampu menggunakannya untuk menerbangkan Objek Kekuasaan mereka. Kurasa hal seperti ini memang mustahil untuk dipahami dengan logika saja, Tali itu bahkan tak bisa memancarkan cahaya untuk menyinari jalanku. Aku terpaksa harus meredam rasa takutku dengan menggerutu sampai ke bagian hutan yang lebih terbuka tempat Kairis berada.

"Siapa lagi sekarang? Oh, kamu. Hah... Seharusnya aku tahu kamu yang akan tetap mendatangiku bahkan sehabis aku mengusir Zilart, Fano." Sapa Kairis yang sosok berbalut pakaian biasa tanpa jubah khasnya disinari oleh cahaya rembulan, menerangi kelelahan yang hinggap pada mukanya.

"Oh, apa itu berarti kamu tidak menduga kedatanganku? Baguslah kalau begitu, aku tidak ingin membosankanmu dengan menjadi terlalu mudah ditebak." Jawabku memasukkan Taliku kembali ke dalam, terus melangkah mendekati sang gadis.

"Jadi kamu bangga dengan itu? Kurasa kamu tidak bisa melepaskan sisi eksentrismu sepenuhnya. Kalau begitu tingkatkanlah itu terus, mungkin lain kali kamu bisa memberiku alasan yang bagus untuk melemparkan sebuah tombak tanah ke arahmu."

Aku pun tertawa canggung mendengar itu "Ah, maaf. Tolong jangan lakukan itu, aku janji tidak akan berbuat sejauh itu. Mati di tanganmu pasti akan terasa terlalu menyedihkan bagi hatiku."

Barusan itu tak buruk untuk usaha pertamaku merayu seorang perempuan, aku bahkan bisa melihat pose badannya rileks sedikit seolah ia mengizinkanku berdiri di sampingnya. Usai berbuat demikian, aku pun mengeluarkan Taliku seperti biasa untuk mengombinasikan kekuatan kami dalam teknik yang disebut Maste Ikatan Mansi. Rasanya luar biasa seberapa cepatnya aku terbiasa dengan semua ini, suatu langkah utama yang besar menuju impianku untuk menjadi Sang Dewa Shi-, uh, maksudku Manser. Mungkin itulah keuntungan dari berlatih dengan Kairis, yang akhir-akhir ini tidak banyak mengeluh tentang ide apa pun yang kuajukan kepadanya. Itu pun belum mempertimbangkan fakta bahwa wajah cantiknya tak pernah membuatku bosan, kalaupun kuakui ia perlu mandi. Kalau boleh jujur, kami semua perlu mandi, terutama aku. Bagi warga dunia modern layaknya diriku, kami tercium seperti kami pantas ikut dikubur di dalam salah satu lubang ini.

Aku yakin Kairis belum pulih total seusai menguras habis tenaganya kemarin, tetapi ia sanggup menggali lebih dari setengahnya tiga puluh lubang kubur itu sendirian. Padahal, untuk menggali satu lubang saja ia harus mengangkat gumpalan tanah yang melimpah, yang kalaupun tak seberat melakukannya dengan tangan pasti memakan banyak tenaga. Segala sesuatu di dunia ini mempunyai harga termasuk kekuatan supernatural sekali pun, dan bila ia terus memaksakan dirinya seperti ini bisa jadi ia malah akan menggali kuburannya sendiri. Untunglah aku sempat datang membantu saat ia baru agak berkeringat saja, sehingga aku bisa meminjamkan tenagaku dan dukungan lain kepadanya.

Menurut Kairis, Ikatan ini tidak cuma memungkinkan kami untuk berbagi tenaga dengan satu sama lain, lamun juga memperkuat Hubungannya dengan Tanah yang menjadi Konsep Kekuasaan Mansinya. Sehabis menjalin Ikatan itu beberapa kali, ia menyadari peningkatan signifikan pada kendali serta efisiensi kekuatannya setiap saat. Berkatnya, kami mampu menjalankan sisa pekerjaan kami dengan mudah. Mempunyai kekuatan supernatural itu memang luar biasa, bahkan pekerjaan berat terasa ini pun terasa ringan-ringan saja. Aku tak sabar ingin melatih keahlianku lebih lanjut dengan Maste nanti.

"... Sampai sekarang aku masih tidak paham denganmu. Kenapa kamu malah terlihat begitu santai bahkan bahagia sendirian bersamaku? Aku bisa membunuhmu jauh lebih mudah daripada keluarga bangsawan yang kubantai di desa itu, tapi kamu tidak terlihat takut sama sekali. Sewajarnya kamu harus semakin merasakan itu terutama setelah mendapat kilasan tentang bagaimana aku membantai sesamamu dengan kekuatanku. Apa kamu memang sudah tidak peduli lagi dengan mereka karena mereka mengabaikanmu? Atau jangan-jangan kamu cukup gila untuk menyukai seseorang sepertiku?" Tanya Kairis yang tetiba memutuskan Ikatan kami, kemudian melemparkanku tatapan tajam yang memotong senyumku yang tak pernah putus seketika. Aku sama sekali tidak menduga ia akan menginterogasiku sedemikian intensnya, sekalipun kami tengah melakukan hal yang serius ini.

"I-itu banyak sekali hal yang berat untuk dipertanyakan. Bisakah aku memikirkan semuanya dulu?"

"Untuk apa? Jangan bilang kamu benar-benar akan menyatakan perasaanmu kepadaku atau semacamnya." Balasnya ketus, ekspresi yang rumit namun tetap menyakitkan hatiku menghinggapi mukanya.

Walaupun tanpa seperizinannya, aku  tetap memanfaatkan seberapa singkat pun waktu yang kupunyai untuk memproses perkataan Kairis yang serupa penjatuhan bom dari langit tersebut. Pertama, rupanya Kairis pernah membantai sekeluarga bangsawan dengan Geomansinya, sesuatu yang pasti berhubungan dengan reputasi yang dibicarakannya pada perjamuan malam itu. Baiklah, kedua ia merasa sangat terganggu oleh 'relasiku' dengan mereka, entah itu karena ia dibebani sedikit rasa bersalah atau murni merasa jijik dengan 'statusku'. Oke, ketiga dan terakhir kedengarannya ia telah menyadari perasaanku kepadanya, hanya saja melalui cara terburuk yang ada.

Apakah aku terlihat sejelas itu? Kukira dia adalah tipe orang yang kurang peka terhadap hal seperti itu, makanya aku berakhir bersikap terlalu terang-terangan kepadanya. Kurasa setiap orang normal bisa melihat itu dengan mudah selama mereka mempunya bola mata, sayangnya aku justru lengah dan memandangnya bagai seorang karakter anime. Semestinya aku sadar bahwa manusia asli tidak akan dibuat-buat bersifat tumpul secara romantis untuk memperpanjang cerita. Alhasil aku kini merasa layaknya seorang idiot sebab mempelajari dunia melewati salah satu medium representasi paling inakurat dari realitas.

Maka dari itu, jika aku masih belum sanggup memandang realitas apa adanya, setidaknya aku bisa menyampaikan perasaanku yang sesungguhnya. Aku pun mengumpulkan tingkat keberanian yang tak pernah kurasakan sebelumnya untuk melakukan sesuatu yang besar di dalam kehidupanku untuk yang pertama kalinya.

"Ya, kamu benar... A-aku menyukaimu, Kairis! Sejak pertama kali aku bertemu denganmu saat kamu menyelamatkanku dari ketiga bandit itu! Kamu sangat keren pada hari itu, dan setiap harinya kamu semakin bertambah luar biasa di mataku. Ditambah dengan seberapa rupawannya dirimu, aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tidak peduli dengan masalah apa pun yang mengitari itu, jadi aku ingin kamu menjadi kekasihku!" Seruku menyatakan perasaanku kepadanya, membiarkan mulutku bergerak dengan sendirinya tanpa dihentikan oleh kepalaku.

Mendengar itu Kairis pun sempat membeku, kemudian ia berteriak dengan wajah memerah "A-apa?! Kamu seriusan? Kamu sudah gila ya!"

Isekai HaremanserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang