25. Cahaya Pembawa Ketuntasan

2 1 0
                                    

"Sepertinya aku telah menghancurkan hatimu dengan itu, wahai Kesatria. Kau sudah memimpin bawahanmu dengan baik untuk bertahan sejauh ini, tapi ketahuilah bahwa kegagalanmu tak terbatas sampai remaja itu saja!" Ejek Matahra yang mulai terbang memutar kembali menghampiri kami, anaknya Qlauzat memamerkan cakarnya yang dipertajam oleh ibunya.

Waspada terhadap itu, aku pun langsung mencoba untuk mengangkat kaki Oltyart semampuku "Ukh, aku tidak bisa mengangkatnya cuma dengan satu tangan saja, kalau begini kita bisa jadi kita malah ikut jatuh dengannya! Zilart, tarik dia sekuat mungkin, kamulah yang paling segar bugar di sini!"

"A-aku sudah berusaha sekeras mungkin! Tapi dia terlalu berat, apalagi karena dia memakai baju zirah itu!" Jawab Zilart yang kuakui sungguh terlihat tengah berusaha semampunya, menarik kedua kaki Oltyart yang dipegangnya sampai mengeritkan giginya.

"Kamu benar juga... Kita harus melepaskan baju zirahnya itu dulu. Kairis?" Ucapku yang mendapat suatu ide berkat itu, kemudian mengonfirmasikannya dengan Kairis yang mengangguk.

Di kala kami bertiga masih kesulitan untuk menarik Oltyart kembali ke atas pilar ini, Matahra si Ratu Iblis berhati dingin itu sudah bersiap untuk membantai kami dengan kukunya yang terkesan dapat membelah sebatang kayu menjadi beberapa potong. Tetap saja, aku tidak bisa melepaskan pemuda itu hanya karena alasan ketikdaksukaanku kepadanya, membuatku berharap warga desa yang lain akan menyadari masalah kami dan bisa segera datang membantu. Untungnya, Oltyart tampak tenang selama proses ini, menangis dalam diam tanpa meronta-ronta sedikit pun. Malangnya, aku ragu hal yang sama berlaku pula di dalam hatinya, ia pasti membendung suatu gelombang tsunami secara internal.

Bagaimanapun juga, aku dan Kairis pun menggabungkan kekuatan kami untuk melepaskan perlindungan yang dikenakan sang pemuda darinya, sebuah usaha yang diperumit dengan betapa eratnya pakaian itu terpasang pada badannya. Terpaksa berbuat kasar akibat desakan keadaan, aku pun memutuskan untuk memisahkan seluruh baju zirah tersebut menjadi dua bagian, mengolahnya meluncur lepas dari tubuh kekar pemuda itu yang terbalut baju coklat polos. Tampaknya, aku bisa ikut mengendalikan kekuatan Kairis pula dengan ikatan ini, barangkali asalkan ia tak merasa keberatan terhadap keputusanku. Yah, kurasa itu tidak terasa seberat mengangkat tubuh Oltyart. Sang pemuda pun bereaksi lemah dengan meraihkan tangannya ke arah barang itu, menimbulkan secercah rasa bersalah pada diriku sebab kelihatannya baju zirah itu bernilai signifikan baginya. Aku pun membunuh perasaan itu untuk sementara, ini bukanlah waktu yang tepat untuk emosi seperti itu.

Berkat meringannya berat yang mesti kami angkat tersebut, kami pun perlahan bisa membawa Oltyart balik ke dalam keamanan pilar tanah ini. Sayangnya, upaya bersama kami itu masih belum memadai untuk mengalahkan Matahra, yang menyambar kami dengan mengendarai Qlauzat bagai petir di siang bolong, malaikat jatuh yang turun untuk menjemput kami tak peduli apakah kami siap atau tidak. Walaupun pikiranku sudah pasrah menerima hal itu sebagai kenyataan, itu tak menghentikanku dari berteriak ketakutan menyaksikan makhluk tersebut mendekatiku dengan kecepatan tinggi, suara yang hanya bisa tertandingi oleh Zilart yang menjerit histeris di sebelahku.

Anehnya, bahkan di tengah segala kegilaan ini pun, entah kenapa perhatian kami semua termasuk Oltyart tertarik kepada kemunculan suatu aura yang intens pada suatu titik di langit, terpancar bagai cahaya mentari dari sesosok gadis misterius berjubah putih yang melayang di udara. Sepasang sayap berwarna senada berbentuk kerangka terbentang kaku di belakangnya, hiasan yang beserta dengan benda berbahan serupa yang memahkotai kepala bersurai pirang pucat panjangnya memberikan kesan yang hampir terasa surgawi. Seolah Ia ingin memenuhi persona tersebut, gadis itu pun menunjuk ke arah kami dengan sesuatu di depan jarinya.

"Seni Ofensif Antropomansi: Tombak Tulang Presisi Tinggi."

"Apa?!" Teriak Matahra yang dikejutkan oleh sesuatu.

Mendadak, sebuah garis putih cahaya pun tumbuh memanjang melesat dari ujung jari telunjuk sang gadis, terbawa oleh suatu proyektil panjang berkecepatan dahsyat yang memaksa Matahra untuk menghentikan niatnya menyerang kami dan mengelak dengan terbang berganti arah menjauh dari kami. Kelegaan pun menghampiri hati kami, memberi kami ruang untuk mengeluarkan napas kami yang tertahan serta akhirnya mengangkat tubuh Oltyart sepenuhnya ke atas. Meskipun ia masih terlihat sangat terpuruk dengan tatapan hampanya nan menyerupai bangkai ikan, Oltyart pun langsung bangun duduk untuk memandang sosok gadis itu, perbuatan sederhana yang mampu mengembalikan cahaya kehidupan ke matanya. Ketika pemuda itu mulai meneteskan air mata, aku pun berhasil mengidentifikasi gadis tersebut.

"Kalau tidak salah... nama Nona Mudamu itu Maste bukan? Apa itu dia?" Tanyaku sambil mengikuti gerak sang pemuda yang bangkit berdiri, terus menatap gadis itu penuh emosi.

Oltyart pun menjawab dengan nada lemah yang bertentangan dengan biasanya "Secara pribadi aku lebih suka memanggilnya Nona Mastreral, tapi ya kebanyakan warga desa lain mulai memanggilnya itu sejak mendengar paman Baltur memanggilnya begitu. Akhirnya dia kembali..."

Sehabis memastikan bahwa ia tidak lupa cara untuk berbicara dikarenakan kejadian traumatis barusan, aku pun memilih untuk memberi sang pemuda waktu untuk menenangkan dirinya. Di kejauhan, aku bisa melihat Maste mengalihkan fokusnya dari Matahra ke paman Baltur di bawah, yang saking terpojoknya dalam pertarungan solonya melawan para Ekelrakwa sampai ia harus menaiki bangkai Xysiltioth lagi. Setidaknya, pria itu dapat mengambil sebilah pedang dari kumpulan senjata yang dijatuhkan oleh Drurivan dan Oltyart sebelumnya. Drurivan... Aku masih tidak percaya ia telah mati begitu saja, sampai ia tak sempat menyampaikan kata-kata terakhirnya. Itu adalah kematian yang terlalu kejam untuk seorang anak remaja sepertinya, ia bahkan belum bertemu kembali dengan Nona tercintanya.

Memahami bahwa rekannya itu sedang dalam keadaan terpojok, menggunakan sepasang Pertalian Mansi putihnya -yang entah bagaimana keluar dari punggungnya untuk menghubungkan antara bagian tubuh itu dengan sayapnya- Maste pun menumbuhkan puluhan tombak tajam sebagaimana yang ditembakkannya ke Matahra pada sayap itu, lalu menembakkannya secara serentak menuju kawanan Ekelrakwa itu layaknya sebuah hujan mematikan nan menurunkan tombak daripada sekadar air. Mengejutkannya, tanpa perlindungan dari ibu mereka sekali pun, bukannya berlari demi mempertahankan kehidupan mereka para Ekelrakwa itu justru nekat menyerbu paman Baltur kemungkinan dengan harapan dapat menggugurkannya bersama mereka. Sialnya bagi mereka, sesuai dengan namanya tombak-tombak itu pun mengenai sasarannya dengan tingkat presisi tinggi, menusuk badan kerdil mereka dan membunuh mereka di situ juga. Meninggalkan paman Baltur tak tergores sedikit pun, rasanya seperti melihat seseorang mengendalikan sebuah rudal saja.

Aku masih belum bisa menebak kekuasaan Manser macam apakah yang dipunyai oleh sang gadis, tetapi dari pertunjukkan singkat keagungannya itu bahkan mataku yang tak terlatih pun dapat melihat bahwa ia berada di tingkatan yang sepenuhnya berbeda denganku, dan minimal setingkat di atas Kairis pada kekuatan maksimalnya sekali pun. Kurasa Oltyart dan Drurivan tidak asal ngomong saja ketika mereka mengatakan bahwa nona mereka Maste itu lebih kuat daripada Kairis, suatu fakta yang kuharap dapat mereka pakai untuk menggangguku layaknya sepasang saudara, biarpun aku yakin itu akan terasa amat menyebalkan. Kini itu sudah terlambat...

"Luar biasa, Nona Maste! Sekarang hancurkanlah si Terastiomanser itu! Balaskanlah kematian paman Varan, Hevren, Drurivan dan warga-warga desa lainnya!" Seru Zilart bersemangat selagi melompat dengan tinju yang terangkat ke atas, matanya mengalirkan air mata hasil perpaduan antara emosi positif dan negatifnya.

Merelakan diriku tertular oleh semangat sang gadis, aku pun memasang sebuah senyuman untuk mengenyahkan perasaan murungku sendiri. Dengan kekuatan yang dipertunjukkannya sejauh ini, aku percaya Maste mampu mengalahkan Matahra dalam duel antara Manser, terutama dengan kondisi lawannya yang telah diperlemah dari pertempuran panjang. Sejak awal, aku mendapat perasaan bahwa kekuatan mereka terbilang setara dengan satu sama lain, jadi aku berharap Ia dapat ganti mengisi peranku laksana seorang Pahlawan dan menaklukkan sang Ratu Iblis yang sedang terbang di hadapannya itu.

Isekai HaremanserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang