Seusai bangkit dari keadaan terbaringku tadi, aku pun segera menaiki dinding yang terbentuk menyerupai setengah mangkuk ini untuk menilik ke daerah sekeliling kami, memastikan bahwa tempat ini sudah aman untuk dijelajahi. Setelah berjuang sekian lama, akhirnya kami dapat membantai setiap musuh kami, melaksanakan prosedur aborsi terlambat terhadap anak-anak Matahra. Saking panjangnya pertarungan ini, aku sampai sempat terpikir kalau ia tak akan pernah berakhir, lanjut mengalami peningkatan ke tahap yang terlampau absurd hingga kami semua mati. Sesuatu yang kuyakini mampu dilakukan oleh sang Terastiomanser apabila Maste tiada di sini untuk menghentikannya. Gadis monster itu ibarat seekor ular yang terus berganti kulit dengan lapisan tanpa batas. Untungnya ia tetap bisa ditaklukkan oleh sesosok Dewi layaknya sang Antropomanser tersebut.
Melihat paman Baltur yang berjalan menghampiri bangkai Qlauzat beserta ibunya di kejauhan, aku pun meminta sedikit bantuan kepada Zilart untuk mendorongku ke atas agar mampu melompati dinding ini. Pastinya, aku bukan berbuat demikian karena badanku terlalu pendek, melainkan kesulitan untuk mengangkat diriku dengan satu tangan saja yang berfungsi. Usai berterima kasih kepada gadis itu, aku pun meloncat turun untuk menyusul paman Baltur, memfokuskan pandangan mataku ke depan untuk menghindari beberapa hal yang berpotensi mengganggu mentalku di jalan.
"Hei, paman. Senang melihatmu baik-baik saja! Paman benar-benar hebat dalam pertarungan tadi! Apalagi saat paman menjatuhkan si Tera raksasa Xysiltioth itu ke tanah. Aku sungguh kagum dengan paman, tolong ajarkan aku cara untuk bertarung nanti!" Pintaku diawali dengan deretan pujian, agar hatinya tergerak untuk menyetujui permintaanku tersebut.
"Hah... Kamu terdengar seperti Drurivan saja, kukira aku tidak akan mendengar sesuatu seperti itu lagi di sini setelah apa yang terjadi kepadanya. Daripada mengikutiku, sebaiknya kau mendatangi mayatnya dulu sana, aku bisa menangani ini sendiri. Kamu memang baru mengenalnya beberapa hari ini saja, tapi minimal kamu harus melakukan itu sebagai orang yang paling lama bersamanya di dalam pertarungan ini." Nasihat paman Baltur yang terdengar kelelahan terutama secara mental, mengingatkanku mengenai hal yang ingin kuabaikan.
Aku pun membalas dengan kepala tertunduk murung "Ya... Aku tahu itu. Nanti aku akan melihatnya, sehabis ini."
Kami pun melanjutkan sisa perjalanan pendek kami dalam diam, berhenti di depan bangkai Qlauzat itu dengan ekspresi yang rumit. Meskipun ia telah berhadapan langsung dengan Matahra, entah kenapa paman Baltur tidak mengekspresikan emosi negatif yang berarti pada mukanya, sekadar memasang raut wajah kelelahan seraya ia mengamati sosok mengenaskan yang tersisa dari lawannya itu. Aku sendiri bingung mesti merasa apa, sebab kini orang yang seharusnya menjadi subjek dari kebencianku telah mati, sebelum aku bisa membalaskan dendamku secara pribadi sekali pun kepadanya. Kurasa api yang menyala di tengah ruangan kosong akan mati tanpa ada sebuah bahan bakar untuk mempertahankan nyalanya.
Tetap saja, aku bersyukur ia mendapat kematian yang lebih buruk daripada Drurivan dan yang lainnya, jatuh dari ketinggian ke permukaan tanah kemudian ditindih oleh anaknya yang besar hingga tubuhnya hancur terjepit di antara dua benturan berdaya hancur tinggi. Aku tidak melihat darahnya mengalir dari bawah Qlauzat, tetapi aku yakin bahwa itu hanya menunjukkan seberapa parah hukuman yang diterimanya untuk kesalahannya. Oleh karena itu, tatkala aku dan paman Baltur membalik bangkai Qlauzat untuk melihat mayat Matahra yang ditindihnya, kami pun merasa dikejutkan dengan temuan kami.
"Hah!? Matahra hilang? Ke mana perginya dia? Aku tidak melihat lubang atau semacamnya di dekat sini." Seruku sambil memandang ke sana kemari, berusaha menemukan jejak pelarian sang gadis.
"Percuma saja, bocah. Sepertinya dia berhasil membodohi kita dan bahkan si Maste, barangkali dengan bantuan dari salah satu Teranya itu. Lebih baik kamu mundur saja berjaga-jaga dengan yang ini." Ucap sang pria yang mendorongku pelan ke belakang dengan tombak di tangan kanannya, matanya memandang waspada terhadap Qlauzat yang terbaring lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isekai Haremanser
FantasíaNamaku adalah Fano Duari, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sayangnya harus mati tanpa sekali pun pernah mengalami bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih karena tertabrak oleh sebuah truk. Tiba-tiba, aku pun terbangun di sebuah duni...