EPILOG

20K 673 59
                                    

"Besok kita urus surat rujuk ya."

Kalimat Alvaro malam itu terngiang-ngiang selama beberapa hari. Aku berharap diriku bukan menjadi orang yang bodoh untuk kesekian kalinya. Sayangnya aku malah menangis tersedu percaya. Aku tidak tahu, mengapa mudah sekali termakan omongan, termasuk omongan laki-laki ini.

Bersetubuh. Aku selalu percaya ketika manik matanya berbinar di atas tubuhku, mengucap segala hal manis yang lagi-lagi aku jatuh kedalamnya, bullshit! Padahal itu adalah hawa nafsu belaka.

Yang kupeluk malam itu, esoknya ia pergi. Tanpa pamit lagi. Seolah aku hanyalah wanita yang didatangi, dicoba, lalu sepah dan ditinggal begitu saja.

Apakah aku layak diberi label pelacur saat ini? Itu yang aku pikirkan. Aku mengira bahwa diriku seperti anjing, yang setia kepada pemiliknya sampai mati. Aku tersenyum kecut, mencoba mengirimkan afirmasi positif kepada diri, setidaknya yang meniduriku hanya satu laki-laki. 

Iya. Satu saja. Aku gak mau berbagi.

Satu minggu berlalu, aku bahkan sudah tidak mengharapkan kembalinya dia. Aku bekerja seperti biasa, aktivitas seperti biasa, seolah yang kemarin singgah hanyalah bayangan yang tak sengaja melintas. 

Sedikit lebih tenang, bahwa Tuhan mengabulkan egoku bertemu dengan laki-laki yang aku rindukan belakangan ini. Ya, meski itu harusnya memperbaiki seluruh amarahku yang aku pendam selama bertahun-tahun, tapi Tuhan malah menguji hihi.

Kali ini, sungguh. Diriku merasa salah. Aku yang merasa bersalah kepada Tuhan. Aku terlalu banyak berpikir perihal rasa khawatir.

Ia kembali. Benar-benar kembali.

Alasan menyelesaikan segala urusan yang telah dimulainya di luar negeri cukup masuk akal. Ya, hanya ia bodoh waktu itu buru-buru pergi tanpa pamit dengan alasan takut menggangguku yang baru saja tidur setelah beraktivitas malam dengannya.

Mungkin itu kebiasaan buruknya yang perlu diperbaiki. Dan sekali lagi, bodohnya ia tidak meminta nomor telepon wanita yang ditidurinya malam itu.

Hari ini adalah hari yang telah ia susun matang selama kurang lebih 1 minggu, katanya. Seperti pasangan kekasih yang ingin melamar pada umumnya, Alvaro membawa bekal untuk mengutarakan semuanya. 

Yang membuatku berkesan, bukan bunga, cincin atau semacamnya. Tetapi buku sekolah Ryu. Alvaro mencoba memberi pemahaman kepadaku hari itu, kepada orang tuaku dan orang tuanya, bahwa ia ingin mempertanggung jawabkan apa yang pernah ditulis anak laki-lakinya dulu.

"Ryu gak mau ibu sama ayah pisah." Sumpah, demi apapun. Alvaro hampir menangis waktu ia melantangkan kalimat yang tidak harusnya ditulis anak usia 12 tahun.

"Beberapa hari ini, setiap makan aku selalu inget Ryu. Aku siap kembali seperti semula kecuali hal ini. Berharap Ryu disana tahu, aku benar-benar rindu Ryu ngerengek minta antar sekolah." 

"Ah, kangen Ryu."Alvaro mengusap air matanya.

"Setelah kupikir-pikir. Aku baru sadar. Aku cinta sama keluarga kecilku. Aku ingin kembali seperti semula. Ada tidaknya Ryu, kita tetap satu tim bertiga."Alvaro memelukku, dan mencium pelipisku.

"Good job." 

*****

"Aku ada operasi pagi sayang, aku berangkat dulu ya. Sarapannya di meja makan." Alvaro reflek membuka mata.

"Kok kamu gak bilang?! Tau gitu aku aja yang masak." Alvaro berdiri memeluk istrinya.

Sedikit canggung. 

Bukan. Afa malu.

Ia merasa seperti pasangan muda yang baru menikah. Lucu sih kalau dilihat laki-laki usia 30 tahunan dengan jambang yang cepat sekali tumbuh bermanja-manja seperti ini.

Afa melepaskan pelukannya paksa, bagaimanapun ia harus bekerja. Bermanja-manja bukan lagi fase di usianya. Alvaro? Ia kembali bekerja di rumah sakitnya dulu. Iya sama, dengan yang ditempati Afa. Kerjanya enak. Lebih santai karena ia dokter senior. 

Mobil Afa melaju dengan kecepatan standart, memikirkan suaminya membuat ia bergidik geli. Tersenyum bahagia, dan sadar bahwa hidupnya baru saja dimulai kembali. 

"Dokter ada meeting dadakan." lagi-lagi hidup penuh kejutan. Panggilan rekan sejawat baru saja ditutup dan Afa menambah kecepatan. Meraba map, mencari flashdisk yang siap digunakan untuk meeting, Afa kelabakan.

Gawat. Mobilnya hambir sampai, meetingnya akan dimulai, jarak rumah ke rumah sakit jauh. Siapa lagi yang ia harapkan? 

*****

"Iya gapapa sayang, aku sekalian berangkat kok ini." Bohong. Alvaro harusnya kerumah sakit 2 jam lagi. Tapi demi istrinya ia rela diburu-buru. Makan belum selesai, bahkan siap-siap saja belum, tapi ia segera minum dengan mengancingkan baju kemejanya, dan berlarian mencari kunci mobil.

Bagaimanapun ia harus mengejar waktu.

Lobi rumah sakit terlihat lebih luas karena memang benar-benar masih pagi dan jadwal rawat jalan belum dibuka. Alvaro melihat wanita dengan cantik, dan elegan seperti biasa berdiri di tengah-tengah pintu masuk.

"Maaf aku tadi gak cek bawaan dulu." Afa menatap suaminya yang ngos-ngosan.

"Gapapa sayang, kan aku bilang sekalian aku berangkat kerja." 

"Tapi kamu masih pake sendal Alvaro. Fantofelmu mana?! Kamu lagi gak buru-buru kerja kan? Pasti belom mandi ini. Pulang lagi sana."

Alvaro cengo. Iya, dia belum mandi. Tapi, jarak rumah dan rumah sakit cukup jauh.

"Aku ngambek ya kalo kamu gak mandi!"

"Oke-oke, aku pulang dan mandi, tapi give me a kiss? on the lips?"

"No, this is public area, go home first, take a bath." lalu Afa mendekatkan bibirnya di telinga Alvaro.

"And come to my room, to get your wish."


END-LUNAS YA BUN.. :D

AMORE [21+] Re-UploadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang