Tok tok tok ...
"Mas Alvaro ... Ibu udah selesai, mas bisa buka pintunya." terdengar suara bu Sumi dari luar.
Wanita paruh baya tersebut berusaha melihat suasana perpustakaan dengan menempelkan dahinya di pintuyang terbuat dari kaca. Alvaro terhenyak kaget, dan Afa dengan reflek turun dari pangkuan Alvaro.
Al berjalan membuka pintu, ragu-ragu tapi ia tetap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa di dalam. Sedangkan Afa dipojokkan merapikan seragam dan mengusap peluh di wajahnya.
"Loh ada mbak Afa juga toh ... Kalian mau olimpiade lagi ya?" kata bu Sumi dengan sumringah.
"Eh, iya bu." Jawab Afa gugup.
Wajahnya bersemu merah. Menahan malu takut takut kegiatan barusan ketahuan.
"Bu Sumi, kita balik ke kelas dulu ya bu." buru-buru keluar, Afa mengaitkan lengannya ke lengan Alvaro.
Bagaikan maling yang hampir terciduk, mereka terbirit-birit menuju kelas. Lorong terlihat sepi, ya jelas, semua siswa masih menempuh mata pelajaran masing-masing.
"Al, aku belum pake celana dalam." kata Afa setengah berbisik.
"Oh astaga ... Iya ...." Alvaro melirik kekasihnya, lalu muncul pikiran usil.
"Bentar lagi pulang, gak usah ya hehe." ucap Alvaro dengan tersenyum menyipit membuat kedua matanya hilang ditelan kelopak.
Afa menolak, bagaimanapun itu tidak wajar, lebih tepatnya tidak nyaman.
"Udah gapapa." sahut Alvaro dengan menoel kewanitaan Afa dari luar rok seragam lalu ia berlari ke dalam kelas.
"LUIGIIII!" Oke kali ini toa super nya keluar. Afa berlari mengejar Alvaro yang sudah hampir memasuki pintu kelas.
"Balikin gak!" Afa mendelik menatap tajam Alvaro, tangan kanan udah siap jewer telinga Alvaro yang sedikit tinggi darinya.
"Astaga ... Ganas banget sih." Al memegang dada sebelah kirinya seakan pura-pura tidak menyangka akan sikap Afa.
"Bodo!" Afa menarik lengan Alvaro menuju kamar mandi untuk bertransaksi memberikan benda ajaib tersebut.
Selepas Afa memasang kembali celana dalamnya, Afa menarik Alvaro yang sedang celingak celinguk depan kamar mandi menuju kelas. Belum sampai kelas, Afa dicegat oleh guru paling dihindari
"Afa, sepulang sekolah ke ruangan saya." kata Pak Joko, lalu beliau berlalu begitu saja meninggalkan kesan heran.
Bikin masalah apalagi Clafandra.
"Orang gak ada akhlak, gak punya senyum, ngomongnya gak bisa santai." gerutu Afa.
"Hus! Ya udah nanti temuin aja. Aku juga nanti mau ke kolam renang dulu, jadi pulangnya tau aja kan selesai barengan." kata Alvaro mengusap pucuk kepala Afa.
Bel pulang sekolah berbunyi, Afa bangkit dari bangku dan menyeret tasnya kasar. Hari ini dia berharap bukan hari yang buruk. Afa berjalan dengan malas di sepanjang koridor sekolah, ia berjalan dengan tatapan kosong. Momen apalagi yang bakal di ukir bareng Pak Joko hari ini. Belum sampai depan kantor, Afa tersadar dengan lamunannya, ia menggelengkan kepala dan menegakkan badan, seakan dirinya benar-benar manusia terkuat.
Afa menapakkan kakinya di depan ruangan Pak Joko, ia mengedarkan pandangan, ruangan kosong, sepi, hanya terdengar gemuruh AC dan bunyi semprotan pengharum ruangan otomatis. Ia berjalan mendekat ke tempat duduk depan meja Pak Joko, perlahan memejamkan mata dan menghembuskan napas berat.
"Ini sudah genap 8 tahun." terdengar suara Pak Joko dari belakang. Sepertinya Pak Joko baru selesai mengajar. Afa menoleh dengan menggertakkan rahang.
"Kalau tidak ada hal lain yang perlu dibicarakan, saya pergi pak." kata Afa hendak pergi melangkahkan kaki. Tapi belum sempat ia melangkah, Pak Joko menendang pintunya kasar hingga tertutup dan mendekat ke arah Afa.
"Saya butuh uang." kata Pak Joko dengan melemparkan tabletnya. Tulisan beserta angka demi angka terlihat di sana. Itu adalah kebutuhan pokok Pak Joko setiap bulan.
Afa menghembuskan nafas kasar dan menggigit bibir bawahnya kuat kuat. Ia marah dengan kelakuan Pak Joko.
"Pak, keluarga saya bukan tempat bapak buat minta duit sesukanya. Berkali-kali ayah saya bilang bahwa hari itu bukan ayah saya yang memberi keputusan saat operasi. Kali ini saya gak tinggal diam pak. Saya sudah besar, saya tau mana yang harus dipikir secara logika sama enggak!" Afa mengepalkan kedua tangannya di pinggir seragam. Kalau saja ini bukan gurunya, mungkin sudah ia tonjok.
"Kamu tau penderitaan apa saja yang sudah saya lewati?!" Pak Joko mendekat dan mencengkram kerah seragam Afa.
"Keluarga saya seketika hancur gara-gara operasi ngawur bapakmu! Saya kehilangan kesempurnaan anak saya, anak saya cacat, saya kehilangan jabang bayi saya, lebih sakitnya saya kehilangan istri Fa! Saya gak semangat kerja! Kebutuhan saya yang seorang diri harusnya ditanggung keluarga kamu!" kata Pak Joko dengan nafas terengah.
"Bapak apa-apaan sih!" tepis Afa sehingga tangan Pak Joko hampir terlepas dari kerah. Tapi Pak Joko mengeratkan remasan pada kerah Afa
"Saya butuh duit Fa! Saya butuh duit buat terapi anak saya! Saya butuh duit buat makan! Gak cukup kalau gaji ngajar saya buat itu semua! Dan saya juga butuh kebutuhan biologis selain duit!" kali ini suara Pak Joko semakin meninggi. Pak Joko semakin mengeratkan rengkuhannya pada leher Afa.
Pak Joko mendekat, nafas panasnya menerpa permukaan wajah Afa, matanya menunjukkan bahwa hari ini jiwanya bukan Pak Joko sebagai guru, hari ini di dalam matanya mengartikan seakan tatapannya ingin membunuh seorang gadis yang dianggap anak dari pembunuh keluarganya.
Hal yang tak pernah diduga Afa terjadi.
Hal yang Afa pikir kebutuhan biologis seperti apa terpecahkan hari ini. Setiap bulan memang Pak Joko selalu memanggilnya ke kantor dan membicarakan perihal kebutuhannya yang kurang dan meminta pertanggung jawaban pada pihak Afa yang diakuinya sebagai 'pembunuh'.
Pak Joko mendekat ....
Mencium bibir Afa kasar.
"Saya gak punya pelampiasan buat mengatasi nafsu saya!" teriak Pak Joko lantang di depan wajah Afa. Pak Joko kembali mencium Afa kasar, bibirnya turun menuju leher, tangannya yang sedari tadi sudah menjelajahi lekuk tubuh Afa. Pak Joko kasar membuka seragam Afa hingga kancingnya terlepas. Afa mencoba menolak, tapi tenaganya kalah dengan tenaga Pak Joko yang lebih besar
"Katamu kamu sudah besar, kamu ngerti mana yang bisa dipikir logika sama engga! Saya butuh ini semua nak!" ujar Pak Joko dengan seduktif dan penuh penekanan.
Nafsunya sudah tidak bisa ditahan lagi. Seakan tatapan ingin menerkam, Pak Joko menunjukkan senyum miring ketika melihat tubuh Afa yang hanya dibalut bra putih.
Kali ini Afa bukan Afa yang slengean, bukan Afa yang serampangan. Jiwa berandalnya hilang. Afa tampak lemah. Ia kecewa dengan Pak Joko, ia kecewa dengan keadaan. Hari ini ia merasa kotor dan ternodai. Afa berusaha berteriak, namun Pak Joko membekap bibir Afa dengan tangan besarnya. Pak Joko kembali mencium leher Afa, menghirup aroma Afa dalam-dalam. Bibirnya perlahan turun ke dada sintal Afa, mencium dan menggigitnya dengan kasar hingga meninggalkan jejak.
Afa sesenggukan merasakan sikap kasar Pak Joko, ia hanya bisa memukul lengan dan dada Pak Joko dengan air mata mengalir. Pikirannya kalut, ia berjuta-juta berpikir, apakah hari ini adalah hari terakhirnya? Apakah ia harus menjadi korban kepuasan nafsu Pak Joko.
Nafas Pak Joko terengah, ia menyelipkan jarinya ke punggung Afa mencari pengait bra. Dengan tenaga yang lebih besar, Pak Joko dengan mudah membuat Afa melengkungkan punggungnya.
Afa menangis. Benar-benar ... Siapa yang ia harapkan di kala seperti ini? Mama? Papa? Atau Alvaro?
Kali ini tangisannya semakin parah, Afa merengek dan mendesah akibat putingnya di hisap Pak Joko dengan kasar.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
AMORE [21+] Re-Upload
RomansaAlvaro Gianluigi, seorang siswa SMA yang dunia tau ia adalah siswa yang pandai, polos, dan atletis. Tetapi orang terdekatnya berkala lain. Sisi Alvaro sebenarnya adalah maniak terhadap hal-hal berbau s3x, termasuk menonton video dewasa dan menyelesa...