Pergi Dari Sini!

51.5K 3.5K 7
                                    

"Papah laper?" tanya Rania memastikan dan dibalas sebuah anggukan ayahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Papah laper?" tanya Rania memastikan dan dibalas sebuah anggukan ayahnya.

Rania mangut-mangut, kedua bola matanya mengelilingi setiap jengkal ruangan berwarna putih dengan aroma obat yang menguar kuat. Ruangan itu cukup mewah, terbukti dengan adanya sofa serta kamar mandi khusus disana.

Mungkin dia berada di ruang VIP rumah sakit, namun bukan itu yang menjadi pertanyaannya saat ini. Tapi keberadaan Maia dan Juan, kedua bola mata Rania tak mampu menemukan keberadaan mereka.

"Mamah sama Juan, mana pah?"

Rania menatap lekat wajah lelah bercampur sendu didepannya, tapi sosok itu masih mampu menampilkan senyuman terbaiknya.

"Mereka dirumah, papah yang minta mereka pulang."

Rania hanya mengangguk singkat, tatapannya berubah kosong ketika kesadarannya terenggut pada peristiwa yang untungnya hanya sebuah mimpi itu. Iya, Rania pikir itu hanyalah mimpi karena Marsel sahabatnya tidak akan melakukan hal sehina itu padanya.

"Oh iya pah, kenapa aku bisa ada disini?"

"Ah itu..."

Tatapan Rania kembali tertuju pada ayahnya, dia menuntut jawaban lewat kedua iris cokelat mahoganinya. Namun bukannya jawaban yang didapat, melainkan sebuah kebungkaman.

"Kenapa pah? Aku sakit apa?"

"Hmm itu, begini Ran, sebenarnya..."

Kalimat Arya kembali terjeda, dia bingung harus mengatakan apa. Karena dia sendiri tidak mau jika kondisi psikis Rania semakin down, ketika menyadari apa yang telah di alami oleh putri kecilnya itu.

Arya menarik nafas dalam, tak lupa menggantung sebuah senyuman untuk kembali hadir menghiasi bibir tipisnya.

"Kamu mau tau sesuatu?"

Rania memicing "Apa?"

"Tadi Marsel datang kesini, dan dia juga titip salam buat kamu loh. Dia bilang semua akan baik-baik saja, dan kamu itu manis."

Deg

Marsel meninggalkan begitu banyak jejak diatas kulit putih Rania, tanpa mempedulikan isak kesakitan gadis itu. Bahkan ia membiarkan tangan Rania yang berada dibawah kungkungannya, untuk melampiaskan rasa sakit, kecewa, amarah serta kebenciannya lewat kuku panjang gadis itu.

Tidak ada lagi belas kasihan maupun penyesalan untuk setiap tindakannya, yang ada hanyalah nafsu yang sudah menutup kedua matanya. Hingga kedua bola mata itu menggelap dan akhirnya berselimut kabut gairah.

"Janganh."

Rania menggigit bibirnya kuat, agar desahan menjijikan itu tak lagi terlontar keluar dari bibirnya. Sedangkan Marsel langsung menunda kegiatannya untuk meninggalkan jejak pada leher jenjang Rania, wajahnya terangkat dengan seringai tajam.

SINGLE MOM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang