6. Jangan Sentuh

356 73 35
                                    

Hidup di keluarga sederhana, memaksa Jisoo untuk melakukan segala hal secara mandiri. Sangat bagus, memang. Hal tersebut membuat Jisoo sebagai wanita tidak tumbuh besar menjadi seseorang yang manja dan tergantung kepada orang lain. Sebagai contoh, bangun di pagi hari, ia sudah disibukkan oleh kewajiban untuk menyiapkan sarapan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri. Namun juga untuk kedua orangtuanya yang masih berselancar di alam tidur dengan nyaman. Entah benar nyaman atau tidak, Jisoo tidak tahu. Namun ia harap demikian, meskipun hanya tidur di atas alas tidur yang tergerai di atas lantai. Panas, kepanasan. Dingin, kedinginan.

Masih tidur, bukan berarti keduanya tidak peduli dengan keadaan anak mereka satu-satunya itu. Namun karena memang tidak ada cara lain untuk mengusir rasa penat. Juga demi menyiapkan energi agar dapat mencari lembaran Won. Karena di larut malam, usai keduanya menutup restoran sederhana kesayangan yang kini telah tinggal nama, mereka diharuskan mampir ke pasar malam demi mencari bahan-bahan makanan. Dan setiba di rumah pun mereka tidak bisa langsung beristirahat. Harus mengolah beberapa bahan terlebih dulu, seperti bumbu.

Jisoo tahu itu semua sangat melelahkan. Maka dari itu, ia mengambil peran sedapat mungkin untuk mengurangi rasa lelah mereka. Walaupun hanya sedikit.

"Apakah Jihoon dan Chan sudah bangun?" tanya Jisoo. Telah selesai membantu Ibu Seokmin menyiapkan sarapan untuk 6 orang di rumah. Rumah itu memang besar. Dan keluarga ini memang keluarga dari kalangan kaya raya. Namun kata asisten rumah tangga tidak terdapat dalam kamus besar keluarga mereka, meski sang suami sudah pasti telah menawarkannya berulang kali. Ibu Seokmin tidak mau membiarkan perannya sebagai ibu malah dilakukan oleh orang lain. Seperti memasak. Kegiatan wajib yang ia lakukan setiap harinya. Demi memastikan semua anggota keluarga dapat memenuhi kebutuhan gizi masing-masing. Meskipun hanya menu-menu sederhana.

Dan hari ini, ia dan dibantu oleh Jisoo, telah menyajikan roti gandum panggang, telur, bersama selai yang terbuat dari buah alpukat segar yang telah dihaluskan. Jisoo anggap ini adalah menu mewah. Menu unik yang baru pertama kali Jisoo temui hari ini.

"Mereka berdua pasti sudah bangun." Nyonya Lee mengembalikan kotak susu ukuran 1 liter ke dalam kulkas. "Kalau kamu ingin membangunkan seseorang, pergi saja ke kamar Seokmin. Dia pasti masih mendengkur," katanya, sambil tergelak menahan tawa.

Tidak... Itu tidak mungkin. Dan kalaupun memungkinkan, Jisoo tidak mau. Untuk apa ia membangunkan Seokmin? Buang-buang waktu saja.

"Selamat pagi!" Chan berteriak. Baru saja turun ke lantai utama, menyeret tas sekolahnya yang cukup besar. Jihoon menyusul di belakangnya. "Makan apa kita pagi ini?"

"Wih! Selai alpukat?" Mata kecil Jihoon berbinar cerah melihat menu yang telah tersaji di atas meja makan.

Ibu dari ketiga orang anak itu mengangguk sumringah. Ia memang sempat bercerita kepada Jisoo kalau menu ini adalah menu sarapan kesukaan Jihoon. "Habiskan, oke? Ah ya, Jisoo. Kamu bisa bantu membangunkan Seokmin, kan? Kemarin dia bilang hari ini ada kuliah pagi."

Sungguh. Rasanya Jisoo sangat ingin menolak. Tapi bukankah akan terkesan tidak sopan kalau ia dengan berani menolak permintaan tolong si pemilik rumah? Ingat dengan posisinya. Hanya sebagai penumpang.

"Tidurnya Seokmin Hyung seperti orang mati." Pesan yang Chan tinggalkan sesaat sebelum Jisoo terpaksa mengangguk, menyanggupi, membuat bulu kuduk merinding.

Gunakan indra pendengaran terlebih dulu. Jisoo menempelkan telinga di pintu kamar Seokmin. Tidak dapat menangkap sinyal kehidupan sedikitpun, Jisoo mengetuk pintu. Cukup dilakukan 3 kali. Setelahnya, Jisoo memanggil. "Seokmin, cepat turun! Sarapan sudah siap!" katanya. Lagi. Jisoo menempelkan telinganya di pintu.

"Langsung masuk saja." Ada suara yang berbisik pelan.

"Tapi kalau Seokmin sedang mandi, bagaimana?"

Fanboy's Playlist (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang