Silakan mampir di KBM app buat baca cerita ini, sudah sampai BAB 15
Selamat Membaca😁
Memandang wajah tenang Quin Qian membuatku merasa bahagia. Ada ketenangan disana, tetapi juga ada keresahan. Dulu, aku berpikir untuk menikah saja saat dunia begitu kejam. Dimana banyak tuntutan yang mengikuti ketika kita bertambahnya usia. Pemikiran yang cukup pendek, apa dengan menikah akan menghilangkan semua permasalahan yang ada? Tidak juga. Bahkan banyak orang yang mengatakan jika menikah itu sebuah anugerah tetapi juga dikelilingi masalah. Seperti permasalahan yang tidak akan terjadi saat kita single. Tapi aku yakin bahwa setiap pilihan hidup ada konsekuensi yang mengikuti. Entah yang memilih untuk single atau menikah.
Disini juga ada pertimbangan jika memiliki anak, pastinya akan jauh membutuhkan perhatian lebih. Kasih sayang, atau bahkan materi. Semua itu akan mengikuti kita terus menerus. Dulu aku hanya gadis dua puluhan yang melihat teman menikah dan hidup bahagia selalu berpikir seperti itu. Padahal aku tidak tahu saja pasti mereka merasakan masalah yang tidak mereka umbar.
Dan sekarang ketika melihat dua anak kecil ini bisa terlelap tidur, aku juga berpikir apa yang membuat orang tua mereka berpisah?
Banyak teka-teki di dunia ini, yang terkadang di media sosial seperti pasangan kasmaran padahal di dunia nyata layaknya Tom and Jerry berantem terus menerus. Kadang yang kita lihat biasa saja ternyata di rumahnya mereka romantis. Semua itu tak terlepas dari anggapan orang. Jadi aku merubah pemikiranku, jangan menikah ketika kamu dianggap orang lain siap, tapi menikahlah setelah dirimu siap. Karena yang akan menghadapi masalah itu kamu? Bukan mereka.
***
Hari ini Pak Rian akan kembali, tadi malam Pak Rian mengatakan jika ia akan sampai disini sekitar siang. Aku melihat jam dinding ternyata sudah pukul dua siang, tetapi batang hidungnya tidak kelihatan. Quin Qian sedang bermain di rumah Kayla. Aku sendirian di rumah berjaga kalau Ayah si kembar pulang.
"Assalamualaikum." Suara yang aku dengar dari luar. Aku bergegas keluar dan membukakan pintu untuk menyambut Pak Rian. "Waalaikumsalam, eh Bapak sudah sampai."
"Sudah. Mana kembar?" Tanyanya saat melihat dibelakangku tidak ada keberadaan dua bocah itu.
"Lagi main sama Kayla. Bapak mau dibuatkan minuman apa?" Tawarku, dia nampak berpikir sebelum menjawab apa yang diinginkan. "Jus jeruk saja, kayaknya segar. Saya mandi dulu tapi."
"Iya Pak, saya siapkan." Aku bergegas menuju dapur untuk mempersiapkan jus jeruk, meletakannya di atas meja makan. Sambil menunggu Pak Rian aku memanaskan semua masakan yang tadi aku buat.
"Kamu semua yang masak ini?" Tanya Pak Rian saat melihat semua menu yang aku hidangkan di atas meja makan. "Iya Pak. Itu jusnya sudah saya buatkan."
"Terima kasih." Aku mengangguk dan pergi meninggalkan meja makan.
"Semua masakan kamu enak," ucapnya saat aku sibuk memasukan beberapa dokumen yang harus aku bawa ke sekolah besok.
"Terima kasih, oh iya Pak saya ingin bicara sama Bapak." Dia mendaratkan tubuhnya di sofa dan menatapku penuh tanya.
"Bicara apa?"
"Begini, bukan maksud saya ikut campur urusan Bapak. Tapi saya pikir ini penting. Kemarin saya bicara sama kembar, dan kembar bilang kalau mereka sangat merindukan Mamanya. Alangkah lebih baik Bapak pertemukan mereka." Ucapku sedikit tertunduk, rasa takut itu ada apalagi tatapan tajam khas militer iya perlihatkan.
Helaan nafas aku dengar, Pak Rian memijat pelipisnya sesaat. "Saya tidak tahu kalau kembar bicara seperti itu. Tapi mungkin akhir pekan ini akan saya pertemukan mereka." Aku mengusap dadaku, merasakan kelegaan akan kebesaran hati Pak Rian.
"Alhamdulillah kalau begitu, bagaimanapun mereka masih kecil dan membutuhkan figur seorang Mama. Saya berharap Bapak tidak menutup akses mereka untuk berhubungan dengan Mamanya."
"Saya tidak menutup akses, tapi dianya saja yang sibuk. Maklum dia wanita karir." Jawabnya, aku mengangguk maklum. Memang zaman sekarang seorang perempuan itu mampu menuntut apa yang mereka inginkan. Termasuk menjadi wanita karir.
"Oh begitu, yasudah saya hanya ingin mengatakan itu." Aku berdiri ingin pergi ke rumah Kak Anik untuk menjemput kembar. Tetapi cekalan tangan aku rasakan.
Sontak aku menoleh ke belakang, "ada apa Pak?" Tanyaku.
"Duduklah, saya juga mau bicara sama kamu." Aku kembali mendaratkan tubuh di sofa dan menunggu apa yang akan diucapkan Pak Rian.
"Begini, bukan maksud saya terburu-buru tapi saya juga berharap kembar memiliki Bunda kembali. Saya berharap kamu mau menjadi Bunda kembar, jadi apakah kamu mau menjadi istri saya?" Aku menatap tidak percaya atas apa yang Pak Rian katakan. Menjadi istri Pak Rian? Baru kemarin aku berpikir tentang pernikahan, sekarang aku dilamar?
"Sebentar? Bapak melamar saya ini?" Tanyaku kembali, bukan bunga yang ia suguhkan tapi satu kotak warna merah tepat dihadapanku.
"Iya, saya melamar kamu. Dan ini bukti keseriusan saya." Ucapnya kembali.
"Tapi saya belum kenal Bapak luar dalam. Dan bagi saya menikah itu satu kali seumur hidup." Jawabku jujur, bukannya aku menyinggung kegagalan Pak Rian.
"Apa muka saya ada ketidakseriusan? Saya serius akan hal ini, menjadikan kamu istri saya itu pilihan saya. Dan saya juga berharap ini menjadi pernikahan terakhir bagi saya dan kamu. Apalagi kembar juga sangat dekat dengan kamu." Tuturnya serius.
"Tapi ini terlalu tiba-tiba." Jawabku. Pak Rian tersenyum, "bukan tiba-tiba karena saya sudah melamar kamu dihadapan kedua orang tua kamu dan ya, mereka menyetujui jika kamu mau." Aku tercengang atas apa yang dikatakan Pak Rian. Dia sudah datang di rumahku? Tapi kapan?"Kamu tidak usah berpikir banyak, jawab pertanyaan saya. Kamu mau menjadi Bunda buat kembar?" Tanyanya kembali. Kenapa disini aku tidak merasakan keromantisan?
"Saya belum bisa menjawab Pak, saya harus berdoa dulu minta sama Allah. Dan juga saya mau bertanya kepada kedua orang tua saya." Ucapku lirih menundukan kepala.
"Baiklah, akhir pekan ini akan saya tunggu jawaban kamu." Pak Rian meninggalkanku sendiri di sofa. Pikiranku kosong tidak mampu berpikir banyak atas apa yang terjadi beberapa menit yang lalu.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Fiksi UmumAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...