Mampir di KBM APP atau Karyakarsa disana aku sudah update beberapa part di depan ini ya. Oh iya yang belum baca ceritaku yang lainnya silakan mampir disana. Link aku kasih di bio.
Atau cari saja : aniswiji
Selamat Membaca
Hidup itu tidak akan terlepas dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Semua seolah saling terikat satu sama lain. Tidak akan terpisah, hanya bisa saling memahami dan menghormati, mencoba menerima semua yang ada itu yang aku tanamkan.
Aku menatap dua orang yang sibuk melepas rindu, kami memang memilih untuk duduk di kafe dan menunggu Quin dan Pak Rian. Aku tidak mau mengganggu keakraban mereka.
"Mama dari mana saja? Kenapa Qian tidak bisa bertemu dengan Mama?" Ucap Qian dengan menatap ke arah wanita yang melahirkannya.
"Mama sibuk sayang."
"Ayah sibuk tapi bisa main sama Qian dan Quin, kenapa Mama tidak bisa?" Aku melihat perubahan raut wajah wanita ini, mungkin ia bingung harus menjawab apa. Apalagi seusia mereka, dimana rasa ingin tahu yang begitu kuat hingga mereka menuntut jawaban yang bisa mereka terima.
Aku mencoba membantu menjawab, "Mama sibuk kerja Qian, lagian jarak tempat kerja sangat jauh jadi tidak bisa bertemu Qian."
Qian menatapku dan kembali menatap Mamanya, seolah menuntut jawabanku benar atau tidak.
"Maaf ya," hanya itu yang keluar dari mulut Mama Qian sebelum suara Quin mengganggu interaksi mereka.
"Mama!" Quin turun dari gendongan Pak Rian dan berjalan mendekat ke Mamanya mengabaikan jika kafe ini sedang sangat ramai.
Pelukan antara Ibu dan anak yang aku lihat. Momen yang membuatku haru, disaat anak diluaran sana bisa hidup dengan kedua orangtuanya tapi mereka tidak. Aku tidak mau menghakiminya, karena aku yakin ada kisah lain. Pak Rian berjalan dan duduk disampingku, melihat interaksi antara kembar dengan Mamanya.
"Quin rindu Mama. Ayah sibuk buat antar ke rumah Mama." Lapor Quin kepada Mamanya.
"Iya sayang, Mama juga rindu kalian. Maaf ya." Wanita yang bernama Lia ini menatapku bergantian. "Wah, Qian dan Quin punya Bunda baru ya?" Ucapnya kemudian.
"Iya, Quin senang rumah jadi tidak sepi."
"Qian juga. Bunda orangnya baik."
Lia menatapku dan mengangguk seolah menyetujui pendapat kembar.
"Yasudah, besok Mama ajak Bunda sama kembar jalan-jalan deh."
"Asyik." Jawab mereka serempak. Kami menikmati makanan dengan diselingi ocehan kembar. Aku tidak bisa menilai apakah Pak Rian bahagia atau tidak saat bertemu dengan mantan istrinya, apalagi sejak tadi ia hanya diam dan memperhatikan interaksi mereka tanpa mau ikut kedalam obrolan.
***
Qian dan Quin sudah tidur beberapa menit yang lalu tanpa agenda menangis. Mungkin mereka masih diliputi rasa bahagia saat bertemu Mama mereka. Kuusap kening mereka dan mendaratkan kecupan satu per satu, kututup pintu kamar dan bergegas masuk ke kamar tidur.
Aku tidak mendapati keberadaan Pak Rian disini, semua kosong. Entahlah, apa yang dia lakukan, kubiarkan saja dan lebih baik tidur.
Suara dering ponsel menyadarkanku, mengumpulkan kesadaran aku mencoba membuka kelopak mata. Oh, jam empat pagi. Aku harus bangun dan mempersiapkan keperluan kembar, memang hari ini mereka masih libur.
Aku mencoba bergerak tetapi di bagian perutku seperti ada lilitan. Kutoleh sisi kanan ranjang, ternyata Pak Rian. Dia tidur dengan tenang, bahkan wajahnya begitu polos layaknya anak kecil. Disini aku tidak memungkiri bahwa wajah Pak Rian tanpan dengan beberapa sisi yang menunjukkan kematangan dan kemandirian.
Kucoba melepaskan lilitan, tetapi sayang Pak Rian ikut terbangun. Dia menatapku dengan tatapan mengawang. "Mau kemana?"
"Mau masak buat sarapan."
"Disini saja dulu," tangan besarnya mencoba merengkuhku ke dalam pelukan. Kepalaku bersandarkan di lengannya dengan wajah yang menghadap ke dada bidangnya.
"Saya menyukai posisi ini," ujarnya santai.
"Hmm."
"Maaf ya, saya belum bisa kasih nafkah batin. Bukannya saya tidak mau, tapi saya yakin kamu belum siap. Saya tidak mau memaksakan apa yang tidak kamu suka. Cukup dengan pernikahan ini saya sudah bahagia."
"Mas tidak bertanya kepadaku? Apa aku suka atau tidak?" Jawabku, aku tidak tahu maksud perkataannya. Disini aku juga tahu konteks pernikahan itu apa, dan aku akan menjalankan apa yang memang harus aku jalankan. Karena bagiku pernikahan itu ibadah. Meskipun belum ada cinta, itu yang aku yakini.
"Kamu sudah siap?" Pertanyaan macam apa ini? Sungguh aku dibuat malu oleh pertanyaan Pak Duda satu ini.
"Mas yang aneh, aku istri Mas jadi apapun yang Mas inginkan akan aku lakukan."
"Hahaha, iya saya tahu. Tapi apa kamu sudah menerima saya? Maksud saya semua yang ada di diri saya?" Aku mendongak menatap tepat di matanya. "Kenapa Mas tanya itu? Bagiku Mas suami, imam, pria yang baik, bertanggungjawab. Terus apa yang harus aku tuntut? terlepas masa lalu Mas aku tidak akan banyak komentar, karena itu hanya Mas dan Mamanya anak-anak yang tahu."
Wajah Pak Rian mendekat, kami saling berpandangan. Hingga aku rasakan lumatan tepat di bibirku. Kubalas apa yang ia mulai, meskipun belum berpengalaman aku pernah membaca beberapa novel dewasa.
Tangan Pak Rian sudah berpindah tempat dari wajahku ke dadaku. Remasan-remasan itu seolah menstimulus diriku untuk meminta lebih. Entah dimana otak sehatku. Bahkan tanganku sudah berpindah ke dadanya. Membuat pola yang tidak aku mengerti. Kunikmati ini semua hingga kami tidak sadarkan diri jika kami sudah setengah telanjang.
Dia menatapku seolah memohon izin sebelum melakukan sesi utama permainan kami. Kuanggukan kepala bahwa aku mengizinkannya. Bagiku satu, aku ingin merengkuh indahnya ibadah ini dengan suamiku, orang yang sudah memintaku dihadapan kedua orangtua dan berjanji di hadapan Allah.
"Lets do it."
Pak Rian menggeleng, "Kamu belum siap," ucapnya dengan menyerangku kembali di beberapa titik sensitif menstimulasi diriku agar siap. Hingga semuanya mengalir begitu saja, aku merasakan dia ada di dalam tubuhku mengunciku seolah aku tidak bisa kemana-mana.
Kutatap wajah Pak Rian yang berada di atasku, wajahnya seolah mengisyaratkan untuk mencapai apa yang ia inginkan. Kucium bibirnya yang tepat dihadapanku, kudekap tubuhnya saat sesuatu yang ada dibawah menyemburkan cairan hangat hingga ia terjatuh di atas tubuhku.
Wajahnya kemerahan dengan nafas yang tidak beraturan, Pak Rian memposisikan diri agar lebih nyaman. Menyandarkan kepalanya di dadaku dan melingkarkan tangannya ke perut.
"Terima kasih," Ujarnya.
"Itu sudah kewajibanku."
"Kamu menikmatinya? Apa saya melukaimu?" Aku menggeleng, Pak Rian tipe lelaki yang bermain penuh kelembutan meskipun ada beberapa bagian tubuhku yang terasa nyeri.
"Tidak, hanya nyeri saja. Ini pengalaman pertamaku jadi pasti nyeri, itu yang aku baca."
"Iya itu pasti, terimakasih sudah memberikan saya apa yang kamu jaga selama ini." Ujarnya sebelum melumat kembali bibirku dan memulai permainan kembali. Aku tidak tahu apa staminanya belum habis setelah menggempurku tadi, bahkan pagi hari ini aku harus terbangun kesiangan untuk menyiapkan makanan. Apalagi rasa nyeri ini, meskipun aku sudah berendam dengan air hangat.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Fiksi UmumAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...