Terima kasih yang sudah dukung cerita ini. Buat kalian silakan vote cerita ini kalau kalian suka. Kalau tidak ya sudah. Buat kalian yang mau follow silakan.
Oh, iya cerita ini sudah bisa kalian baca hingga bab 34 ya di KBM dan Karyakarsa menyusul besok
Username : aniswiji
Atau link ada di bio.Selamat Membaca
Kututup mataku saat semilir angin menerpa wajah. Tidak kupungkiri jika sore ini begitu indah untuk dipandang apalagi sinar senja yang menghiasi langit.
"Bun!" Aku menoleh saat suara Quin menginterupsi.
"Ada apa nak?" Tanyaku dengan mensejajarkan tinggi tubuh Quin.
"Quin kangen Ayah. Video call dong Bun."
"Masa kangen? Baru juga dua hari?"
"Quin kangen Ayah, Ayah tidak pernah pergi lama." Ucapnya, aku mengangguk dan menuntun Quin menuju ruang tengah dan mengambil ponsel untuk menghubungi Pak Rian.
"Assalamualaikum." Sapanya saat panggilan terhubung.
"Waalaikumsalam, Mas ini Quin kangen sama Mas."
"Apa iya? Mana anaknya?" Kuberikan ponselku ke tangan mungil Quin.
"Ini, Quin bisa bicara sama Ayah." Kataku kepada Quin, dia mengangguk dan berceloteh banyak tentang agenda kami selama di rumah kedua orangtuaku.
"Apa begitu? Quin diajak main di sungai?" Suara Pak Rian yang bertanya kepada anak perempuannya.
"Iya Ayah, Quin sama Qian di ajak ke sungai sama ke kebun. Quin metik cabe sama terong."
"Wah berarti Ayah ketinggalan dong. Besok Ayah diajak kalau ke rumah Nenek."
"Pasti nanti Quin ajak."
Hingga Quin merasa cukup dan menyerahkan ponselnya kepadaku. "Iya Mas?"
"Sudah balik?"
"Sudah tadi siang aku ngajak mereka pulang."
"Oh, kirain kamu mau disana sampai Mas pulang." Kepalaku menggeleng tegas. "Enggak, disana aku selalu ingat rumah makanya aku pingin balik cepat. Lagian kembar selalu merengek ingin main sama Kayla."
Dia tersenyum dan mengangguk, "Yasudah sana kamu istirahat, pasti capek ngurus mereka apalagi sendirian."
"Iya, Mas juga. Wasalamualaikum."
"Waaliakumsalam."
Aku bergegas menuju kamar tidur kembar uuntuk mengecek apa yang mereka lakukan.
Ternyata sudah tidur, kuambil selimut yang sudah ada di kaki dan menyelimutinya kembali tidak lupa kukecup kening mereka satu per satu. Meskipun mereka bukan anak kandungku, tapi rasa sayangku kepada mereka sama besarnya. Bagiku mereka anugerah yang tak ternilai harganya.
***
Tok... Tok... Tok
Suara ketukan pintu membuatku menghentikan kegiatan pagi ini. Bibi libur bekerja karena hari ini hari Minggu, alhasil aku yang harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk membuka pintu rumah.
Ceklek
"Selamat Pagi."
"Pagi, oh silakan masuk Mbak." Ajakku, mempersilakan wanita yang tak lain ibu kandung kembar untuk masuk ke ruang tamu.
"Anak-anak mana?"
"Masih tidur, inikan masih jam tujuh pagi jadi mereka masih tidur." Jawabku.
"Memang Mbak mau ajak mereka kemana?" Lia tersenyum, "Saya mau mengajak mereka ke rumah, Omanya merindukan mereka. Apa boleh?"
"Boleh, kan Mbak Ibunya. Saya tidak punya hak melarang. Tapi apa saya boleh bertanya sesuatu kepada Mbak?" Jujur aku sangat tidak enak untuk menanyakan ini semua.
Wajah Lia nampak berpikir sejenak sebelum mengangguk, "Boleh, silakan."
"Apa Mbak menyetujui usulan Ibu Mbak. Maksud saya Omanya anak-anak?"
Dia tersenyum dan menggeleng, "Saya tidak ada niatan untuk melakukan hak itu. Bagi saya bisa bertemu anak-anak sudah cukup, terlepas dengan kondisi saat ini. Tapi ya kamu bisa lihat, Ibu saya selalu melontarkan kata-kata itu setelah perceraian kami. Padahal saya sudah mengatakan jika kami memang tidak berjodoh."
Rasa lega melingkupi hatiku, ternyata Lia tidak seperti yang aku pikirkan.
"Saya sudah melakukan kesalahan dan itu tidak bisa saya perbaiki, hanya saja saya ingin tetap ada di tumbuh kembang kedua anak saya." Lanjutnya.
"Kalau itu Mbak jangan khawatir, saya akan senantiasa untuk memberikan kabar kepada Mbak. Saya juga tidak akan membatasi pertemuan Mbak dengan mereka."
"Terima kasih ya, kamu mau menjadi Bundanya mereka." Ujarnya tulus.
"Bagi saya mereka itu malaikat Mbak, meskipun saya bukan yang melahirkannya tetapi saya sudah jatuh cinta dengan mereka. Kalaupun ada hal baik yang datang di kehidupan saya maka itu adalah kehadiran mereka .... Yasudah, Mbak bangunkan mereka, biar saya yang mempersiapkan sarapan."
Aku berjalan menuju dapur untuk menyelesaikan menu makanan pagi ini. Meskipun hanya menu makanan sederhana karena menggunakan sisa bahan yang ada di kulkas.
"Sudah harum anak Bunda." Sapaku saat melihat kembar yang sudah berpakaian rapi.
"Sudah, Qian mau ke rumah Oma." Aku menatap wajah kecil itu, "Wah, mau jalan-jalan tapi sarapan dulu ya."
"Baik Bun." Mereka melahap makanannya dengan tenang. Bahkan aku melihat bahwa mereka menyukai makanan yang aku buat.
"Bun, besok masak ini lagi ya. Qian suka." Tunjuknya ke sop daging sapi.
"Iya, Quin mau apa?"
"Apa aja kalau Quin, yang penting Bunda yang masak." Jawabnya dengan menghabiskan satu suap terakhir.
"Yasudah kalian bersiap dulu, biar Bunda yang selesaikan ini." Mereka mengangguk dan meninggalkan tempat makan.
"Terima kasih ya, tidak salah memang jika Ayahnya kembar memilih kamu." Aku yang sedang mencuci piring menoleh ke arah Lia.
"Jangan berkata seperti itu Mbak, saya jadi tidak enak," jujur aku tidak suka kalau dipuji.
"Saya bicara jujur, yasudah saya ke depan dulu, bantu anak-anak untuk siap-siap. Kamu mau ikut atau di rumah?" Ajaknya sebelum meninggalkanku. Bukannya aku tidak mau ikut, tetapi aku sungkan bertemu dengan Omanya anak-anak apalagi ingatanku masih merekam jelas apa yang diinginkan beliau.
"Di rumah saja, saya ingin menyelesaikan pekerjaan." Jawabku.
"Baiklah," Lia pergi meninggalkanku.
Selesai dengan urusan dapur aku berjalan ke depan untuk menemui kembar.
"Qian sama Quin jangan nakal ya, jangan repotin Mama." Kataku saat mengantarkan mereka ke dalam mobil.
"Iya Bun."
"Tambah satu lagi, jangan buat Oma kalian tambah sakit saat mendengar kalian bertengkar. Ingat disana Oma lagi sakit, dan butuh dukungan kalian." Mereka mengangguk dan menciumku satu per satu.
"Iya, kami janji Bun. Tidak akan buat Oma atau Mama pusing."
"Bagus, anak yang baik." Aku menutup pintu mobil, dan melihat mereka pergi hilang dari pandangan mata.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
General FictionAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...