17

2K 125 1
                                    

Maaf ya tadi kepencet, buat kalian yang mau baca cepat silakan mampir di KBM APP sudah bab 25 atau Karyakarsa sudah bab 25. Jadi disana update lebih awal dengan harga murah. Untuk di Karyakarsa per lima bab 6K ya.

Username : aniswiji

Username : aniswiji

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca

Dengan setelan khas mau berkebun, kami menuju ke ladang yang ditanami buah stroberi. Disini kami bisa memetik buah sesuka hati karena ini merupakan pelayanan yang diberikan resort.

"Bun, buahnya banyak." Qian sudah berjalan lebih dulu untuk menyentuh buah dengan rasa manis dan kecut itu.

"Iya, kamu bisa petik buah yang sudah matang. Warnanya merah semua." Dia mengangguk dan memetik buah yang dia lihat berwarna merah. Sedangkan Quin masih berada di gendongan Ayahnya tanpa mau untuk turun.

"Nggak mau turun?" Tanyaku saat Pak Rian sudah mendekat ke arah kami. Quin menggeleng lemah, biarlah toh dia digendong sama Ayahnya.

"Yasudah kita ke peternakan saja gimana?" Tanya Pak Rian ke gadis itu.
"Sapi?"

"Tidak hanya sapi, tapi banyak binatang disana." Quin nampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Saya kesana dulu, kalau sudah selesai kalian menyusul ya?"

"Iya Mas, aku nunggu Qian dulu." Pak Rian tersenyum dan meninggalkan kami.

Fokusku kembali ke pria mungil yang sibuk mengisi ranjang kecilnya dengan stroberi. "Bun, sini lihat. Ada ulatnya." Tunjuknya ke ulat yang menempel di daun stroberi.

"Berarti bagus ini," jawabku.

"Kok bagus Bun?"

"Karena tumbuhannya tidak disemprot pestisida. Jadi alami tanpa bahan kimia." Kataku, Qian nampak berpikir dan menjalankan kakinya menuju tanaman stroberi lainnya tanpa bertanya kembali.

Tak berselang lama, aku melihat ranjang Qian yang sudah penuh. Jadi aku putuskan untuk mengajak Qian untuk bergabung dengan Ayahnya.

"Wah Qian sudah banyak buahnya. Gimana kalau kita susul Quin sama Ayah?"

"Dimana?"

"Disana, di peternakan. Tapi keranjangnya Bunda bawakan ya. Biar Qian tidak keberatan." Aku mengambil keranjang Qian dan berjalan menuju peternakan yang tidak terlalu jauh dari ladang.

Dari jauh aku bisa melihat bahwa Quin sedang memberi makan sapi. "Bun, banyak banget hewannya." Katanya dengan sorot mata bahagia. Aku mengangguk dan menyuruhnya untuk mendekat ke tempat Ayahnya. Bagaimanapun rasa ingin tahu mereka jauh lebih tinggi ditambah mereka juga hidup di kota jadi tidak pernah melihat langsung hewan.

"Ayah! Qian juga." Pak Rian yang mendengar suara Qian menoleh. "Sebentar, biar Quin selesaikan dulu memberi makanan mereka."

"Jangan lama-lama." Kata Qian tak kalah saat memperingatkan tingkah Ayahnya dengan adiknya.

"Iya."

Aku menatap interaksi mereka dari jauh, karena aku lebih memilih untuk duduk di gazebo dibandingkan mengikuti mereka. Kubuka ponselku dan mencari tahu kabar di rumah lewat Bibi.

"Bi, gimana rumah?" Tanyaku saat sambungan telepon terhubung dengan asisten rumah tanggaku.

"Baik Mbak, cuma ya mantan istri Ayahnya kembar kemarin kemari."

"Memang ada apa?"

"Katanya ingin berkunjung sama mau memberi hadiah buat kembar."

"Tapi Bibi sudah bilang lagi liburan kan?"

"Sudah, katanya minggu depan akan kemari lagi."

"Oh, kalau ke rumah suruh masuk ya Bi. Bagaimanapun dia Ibu kandung kembar, jadi saya tidak ada hak untuk melarang mereka bertemu."

"Baik Mbak."

Kuputuskan untuk mematikan sambungan telepon dan menatap ke arah tiga orang yang berjalan mendekat ke arahku. "Telpon siapa?"

"Bibi, tanya keadaan rumah."

"Oh, gimana? Tidak ada masalah kan?" Aku menggeleng, "Tidak, tapi Mamanya kembar kemarin kesana. Katanya mau bertemu anak-anak."

"Biarkan saja." Jawab Pak Rian dengan raut wajah yang berubah. Disini aku merasa Pak Rian sangat sensitif jika berkaitan dengan mantan istrinya.

"Mas kenapa?" Tanyaku jujur, aku merasa ada hal yang ditutupi Pak Rian. Sedangkan kembar sedang sibuk meminum air mineral yang tadi kami bawa.

"Tidak, Mas cuma capek saja."

"Mas tidak berbohong kan?"

Wajah Pak Rian tersenyum dan menggeleng, "Tidak ada yang Mas sembunyikan, jadi jangan berpikir yang tidak-tidak."

"Baiklah, kalau Mas mau cerita aku siap mendengarkan. Jangan semua disimpan sendiri karena aku ada buat jadi teman bicara." Pak Rian mengangguk dan merengkuh tubuhku ke pelukannya mendaratkan kecupan di keningku.

"Iya."

Saat kami tengah berpelukan, lontaran pertanyaan kami terima. Siapa lagi kalau bukan kedua bocah ini. "Ayah kenapa peluk Bunda?"

"Ayah kangen sama Bunda. Jadi peluk Bunda. Kenapa? Ada yang salah?"

Kepala kecil mereka menggeleng, "Enggak, kirain Bunda nangis. Biasanya Kayla kalau menangis bisa berhenti jika dipeluk Papanya." Jawaban polos mereka membuat kami saling berpandangan.

"Enggak Sayang, Bunda tidak menangis. Masa Ayah nakalin Bunda, nanti kalian marahin Ayah dong." Tutur Pak Rian dengan senyuman. Aku baru sadar jika Pak Rian mampu menjawab semua yang dilontarkan kembar, bahkan tak jarang aku mendengar perdebatan mereka saat mereka tidak sejalan dengan pemikiran Ayahnya.

"Kalau Ayah nakal, Qian yang akan marahin Ayah." Ucap pria kecilku ini. Disini aku merasa beruntung, dengan menikahi Ayahnya nyatanya aku memiliki dua malaikat kecil yang siap pasang badan jika diriku terluka.

"Hahaha, anak kamu Mas." Kataku saat melihat raut wajah Qian yang menatap nyalang ke arah Ayahnya. Sungguh aku dibuat terpingkal-pingkal saat wajah polos itu berubah garang.

"Masa Ayah nakalin Bunda sih, sudah kalian habiskan minumnya. Kita lanjut pulang buat makan siang." Ajak Pak Rian dan mengusap sayang rambut Quin.

Bagiku ini merupakan anugerah terindah. Memiliki suami dingin tapi sayang dan kedua anak yang lucu yang mampu menghibur hari-hariku ke depan. Aku tidak tahu Pak Rian akan di tugaskan dimana saja, tetapi aku yakin jika kulalui dengan kedua anakku ini mungkin semua akan jauh lebih baik. Karena aku percaya bahwa Pak Rian sangat menjunjung tinggi komitmen.

Aku menggendong Qian dan berjalan lebih dulu untuk kembali ke resort sedangkan Pak Rian di belakang mengekoriku dengan membawa panen stroberi.

"Qian capek Bun." Aku menoleh mendapati wajah Qian berada di pundakku. Karena aku menggendongnya di punggung. "Nanti istirahat ya, tapi sebelum itu kamu makan dulu. Nanti sore Bunda bangunin."

"Oke." Memang jarak antara ladang dengan resort hanya beberapa meter tapi saat dilalui siang hari terasa jauh. Mungkin karena efek panas dari sinar matahari yang membuat kami tidak nyaman.

Tbc

Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang