Halooo, apa kabar?
Mau promosi kalau cerita ini ada di KBM dan Karyakarsa sudah Bab 41 ya dengan harga yang terjangkau. Oh iya ada kabar baru di Karyakarsa bayarnya bisa pakai pulsa loo, untuk saat ini hanya tri, xl, dan indosat.
Bakalan update kalau pengikut saya naik sampai 200 ya.
link ada di bio atau username : aniswiji
Yang banyak baca tapi sepi vote dan komen. Huft. Ayo dong ramaikan, dengan follow juga akun ini. Kalau sepi bakalan update lama. 😂
Selamat Membaca
"Bun." Teriak Quin saat aku termenung di meja makan sendiri.
"Iya Sayang, ada apa?" Tanyaku dengan mengusap rambutnya yang berantakan setelah bangun tidur. Aku sendiri memilih untuk menenangkan diri dan tidak memasak pagi ini. Biarlah nanti beli di warung samping untuk sarapannya, pandangan Quin mengedar ke penjuru dapur seolah tahu kegiatan apa yang seharusnya aku lakukan. "Kenapa Bunda tidak masak?"
"Bunda capek Sayang, kita beli aja ya. Nanti kita jalan-jalan ke warung mbak Surti." Mbak Surti disini pemilik warung makan yang sudah buka pukul enam pagi.
"Oke Bunda." Jawab Quin dengan sumpringah. Aku berdiri dan mengajak Quin untuk keluar rumah mencari udara segar dengan jalan-jalan. "Quin tahu tidak kalau Mama Lia ada di rumah?" Tanyaku saat keluar dari gerbang rumah.
"Tahu, Mama tidur sama Quin tadi malam." Jawabnya dengan polos.
"Quin suka tinggal sama Mama Lia?"
"Suka, Quin ingat dulu Mama Lia itu sering ninggalin Quin sama Qian ke luar kota. Jadi saat ada waktu bersama maka Quin bahagia." Aku mengandeng tangan mungil Quin dan menatap keramaian jalan komplek dimana banyak penghuninya akan pergi bekerja. Ucapan polos Quin nyatanya mampu menyentil hati nuraniku, Quin yang masih kecil nyatanya sudah paham betul arti kehadiran sosok Mamanya di hidupnya.
"Kenapa Bunda diam saja?" Tanyanya saat pikiranku kalut.
"Tidak Sayang, Bunda hanya kepikiran saja."
"Pikiran apa Bun?"
"Ah, tidak. Bunda cuma capek saja." Elakku, akhirnya kami sampai di warung Mbak Surti. Aku memilih untuk membeli sayur dan lauk karena di rumah masih ada sisa nasi kemarin.
"Bunda jangan capek-capek ya, Quin takut nanti Bunda capek terus adik bayinya sakit." Ucap Quin saat kami duduk di bangku warung menunggu pesanan yang akan kami bawa pulang. Aku mengerutkan kening, siapa yang mengatakan hal ini?
"Maksud Quin apa?" Dengan senyum polosnya Quin bercerita. " Kata Mamanya Kayla, Quin disuruh jaga Bunda sama adik. Jadi Quin akan selalu ada buat Bunda, katanya adik sedang tumbuh di perut Bunda."
Aku paham kenapa Quin cukup perhatian denganku saat ini, dan ini semua ulah Kak Anik. Kenapa dia mencuci otak anak-anakku? Sekarang aku jadi dilema harus menjelaskan semuanya kepada Quin.
"Doakan saja ya nak. Semoga adik bayi itu lekas ada." Akhirnya kata itu yang terlontar dari bibirku. Aku tidak tahu anugerah itu akan datang kapan, tapi aku berdoa semoga hal itu akan lekas terwujud.
***
Kami memasuki rumah dengan binar bahagia. Sepanjang jalan Quin bernyanyi lagu-lagu anak-anak yang diajarkan di sekolahnya. "Bunda mau Quin nyanyikan apa lagi?"
Aku yang hendak berpikir dikagetkan dengan suara keras dari dalam. " Quin, Sayang kalian dari mana? Mas khawatir. Seluruh penjuru rumah sudah Mas cari tapi hasilnya tidak ada. Kalian dari mana?" Nampak raut gusar yang tercipta di wajah Pak Rian dan dibarengi dengan kehadiran Lia dibelakang bersama Qian.
"Mas jangan marah-marah masih pagi juga. Kami baru beli menu sarapan. Aku malas masak pagi ini." Jawabku dengan melangkah santai masuk ke rumah.
"Tapi kamu harus izin dulu seharusnya. Mas khawatir." Ucapan lirih Pak Rian membuatku tersenyum. Khawatir? Apa tadi malam dia juga memikirkanku? Tidak.
"Sudah Mas, jangan diperpanjang. Ayo kita sarapan bersama." Ajakku menuju meja makan. Aku dengan sigap mengambilkan piring dan nasi untuk kembar tetapi tidak dengan milik Pak Rian.
"Punya Mas kok nggak diambilkan?" Ucapnya dengan suara lirih. Aku yang sudah siap menyuapkan nasi ke mulut sontak mendongak. "Mas ada tangan, jadi bisa ambil sendiri."
Pak Rian dengan wajah yang kusut akhirnya mengikuti ucapanku. Tetapi itu semua tidak luput dari pengamatan Qian dan Quin. "Kenapa Bunda tidak ambilkan Ayah nasi? Biasanya Ayah dulu."
Aku tersenyum gemas dengan ulah mereka. "Biar Ayah mandiri saja Sayang." Ucapku tanpa mengindahkan raut wajah Pak Rian.
***
"Mas antar Lia sama kembar jenguk Neneknya ya." Pamit Pak Rian saat aku sibuk dengan adonan kue. Aku menatapnya dan mengangguk. Sungkan untuk mengeluarkan suara saat hati masih diliputi amarah.
"Jangan marah dong. Saya hanya mengantar mereka." Bagi Pak Rian mengantar, tapi bagi Nenek anak-anak aku rasa tidak. Masih ada harapan di hati kecilnya, bagaimanapun sebagai Ibu dia juga ingin melihat kebahagiaan anaknya. Tetapi apa dengan merebut kebahagiaan orang lain?
"Nanti mau dibawakan apa? Biar sekalian saya belikan di luar." Kepalaku sontak menggeleng, enggan saja untuk berinteraksi dengan Pak Rian.
"Yasudah Mas pergi dulu." Pamitnya dengan berjalan mendekatiku dan mengecup sekilas kening dan pipiku. Aku tidak membalas, bahkan menatapnya saja tidak. Kuselesaikan adonan kue ini dan bergegas untuk memanggangnya. Entah dari mana aku menginginkan kue bolu hari ini.
Kubuka ponsel sambil menunggu kue matang, membuka berbagai jenis resep dan olahan makanan lainnya. Bayanganku, aku ingin membuka toko online yang menyediakan makanan untuk makan siang para karyawan kantor. Apalagi sekitar sini banyak gedung perkantoran pasti peluangnya jauh lebih besar.
Ting ... Tong ... Ting ... Tong.
Siapa?
Aku berdiri dan berjalan menuju pintu rumah, membukanya dan terlihat ada sosok pria yang berdiri tidak jauh dari pagar. "Hallo Pak, ada apa?"
"Eh, benar ini rumah Bapak Rian?" Tanyanya ramah. Aku mengangguk, dan Bapak itu mengeluarkan sekotak bunga yang indah.
"Ini untuk istri Pak Rian." Sekotak bunga mawar merah diulurkannya. Aku menerimanya dengan tangan terbuka. "Tapi saya tidak pesan bunga Pak."
Bapak itu tersenyum, "Suami Ibu yang pesan. Katanya tadi bunga ini untuk istrinya di rumah. Karena bunganya sudah sampai saya permisi dulu Bu."
"Terima kasih ya Pak." Aku berjalan masuk ke rumah dengan binar bahagia. Apa ini dilakukan Pak Rian untuk membuatku tidak marah kembali? Tapi dia belajar dari siapa? Tidak mungkin orang sekaku Pak Rian bisa berubah hanya dengan hitungan jam.
Aku mengabaikan rasa penasaranku untuk sekarang, biarlah nanti aku bertanya kepadanya, sekarang aku harus mengangkat kue yang sudah matang sambil menikmati bunga cantik ini.
Tbc
![](https://img.wattpad.com/cover/276613967-288-k706101.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Ficción GeneralAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...