19

1.7K 121 1
                                    

Buat kalian yang membaca cerita ini, silakan tinggalkan vote dan komen, kan gratis.

Oh, iya buat pembaca baru silakan mampir di ceritaku yang lain. Terus cerita ini bakalan update lebih cepat di KBM ya, jadi silakan mampir disana. Sudah bab 29, kalau tidak di Karyakarsa bab 30. Harga murah, jangan khawatir.

Username :  aniswiji atau link KK ada di bio.

Selamat Membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca

Jika banyak wanita di luaran sana yang akan sibuk mengurus rumah, maka aku tidak. Bukannya apa, tapi Pak Rian memang melarang diriku, meskipun aku akan mencuri kesempatan itu. Hanya satu kegiatan yang diizinkan, yaitu memasak.

"Kenapa Mas tidak mengizinkan aku buat bantu Bibi, sih? Kan kasihan juga Bibi kalau kecapekan." Kataku, setelah Pak Rian mengutarakan keberatannya jika aku membantu Bibi.

"Saya menikahi kamu, bukan untuk membereskan semua yang ada di rumah. Kamu hanya perlu menjadi istri dan Ibu yang baik buat kembar, jadi jangan menambah tugas lainnya. Karena saya rasa semua ini sudah cukup berat buat kamu."

"Berat? Tidak, aku tidak merasa keberatan." Jawabku tidak setuju.

"Kamu sudah bekerja, ditambah di rumah sama kembar, masak. Apa semua itu tidak berat? Saya saja yang dibantu Bibi masih kerepotan, kok kamu masih mau bantu tugas Bibi." Aku mendengus geli kalau Pak Rian berubah mode menjadi protektif seperti ini.

"Kenapa senyum-senyum?" Tanyanya saat mendapati diriku tengah tersenyum geli.

"Ayahnya kembar ternyata perhatian juga ya, meskipun kadang terlalu dingin." Jawabku jujur. Bukannya marah, Pak Rian mendekapku ke dalam pelukannya dan mendaratkan kecupan di kening.

"Saya sayang sama kamu, tapi saya tidak bisa mengekspresikannya. Makanya saya hanya ingin meringankan tugas kamu." Sorot kedua mata kami bertemu, aku bisa menilai bahwa apa yang dikatakan Pak Rian jujur. Karena mata tidak bisa dibohongi.

Dari situ aku memilih untuk mengamati kegiatan kembar jika Bibi membereskan rumah. Meskipun sesekali aku tetap membantunya jika Pak Rian tidak di rumah.

"Qian Quin mana?" Tanyanya sore itu ketika Pak Rian pulang ke rumah dan tidak mendapati kedua anaknya. Aku berjalan dan mendekatinya untuk menyalami punggung tangannya.

"Bukannya salam, tapi malah cari kembar. Mereka main ke rumah Mamanya, tadi Mamanya menjemput di sekolah."

"Yasudah, saya ke dalam dulu buat ganti pakaian dan jemput mereka. Kamu mau ikut tidak?" Aku mengangguk dan mengekori langkah tegapnya menuju kamar. Pak Rian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan aku mempersiapkan pakaian yang akan ia kenakan. Aku juga berganti pakaian, tidak enak kalau kesana hanya mengenakan pakaian rumahan.

Disepanjang perjalanan aku merasa ada sesuatu hal yang akan terjadi. Entah baik atau buruk, aku juga tidak tahu.

"Ada apa? Kenapa diam saja?" Tanya Pak Rian yang menatapku sesaat.

Aku menggelengkan kepala, "Tidak Mas."

"La terus kenapa wajah kamu gusar gitu?"

Menghela nafas perlahan, aku melihat jalanan di depan. "Aku merasa akan ada sesuatu hal yang terjadi. Tapi aku sendiri tidak tahu apa ini baik atau tidak."

"Berdoa ya, biar kita dilindungi sama Allah." Aku coba merapalkan doa agar semua yang akan terjadi tidak menggangu keluarga kami.

Hingga mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah minimalis dengan halaman yang cukup luas. "Ayo kita masuk." Aku berjalan dibelakang tubuh Pak Rian. Aku masih sungkan jika berada di sampingnya apalagi kami berkunjung ke rumah mantan istrinya.

"Assalamualaikum."

Beberapa menit kemudian nampak pria separuh baya yang aku yakini sebagai mantan mertua Pak Rian.

"Waalaikumsalam, ayo masuk." Kami memasuki ruang tamu dengan banyak foto yang terpampang disana. Terutama foto si kembar.

"Anak-anak lagi di kamar Omanya. Apa Bapak beritahu mereka jika Ayahnya menjemput?" Tawar pria tua itu dengan wajah yang ramah.

"Boleh Pak, ini juga sudah malam. Apalagi besok anak-anak masih harus sekolah." Jawab Pak Rian tak kalah ramah. Pria tua itu mengangguk dan menghilang dari balik pintu.

"Tadi mantan mertua saya." Jelasnya.

"Iya, masih ramah ya walaupun Mas sudah cerai." Dia mengangguk, hingga tak berselang lama kedua malaikat itu berlari menubruk dada bidang Ayahnya.

"Quin sudah rindu sama Ayah."

"Masa? Bukannya senang ya main disini."

"Sedih Yah, soalnya Oma sakit." Qian yang menjawab pertanyaan Pak Rian. Posisi Qian berada diantara aku dan Pak Rian, sedangkan Quin ada dipangkuan Ayahnya.

"Sakit apa?"

"Kata Mama sakit tua." Aku mulai paham atas apa yang aku rasakan sekarang. Benar adanya jika feeling lebih kuat.

"Oh iya nanti Ayah jenguk sama Bunda." Jawabku sambil mengusap rambut Qian lembut, sebelum sosok wanita yang tak lain mantan istri Pak Rian datang.

"Silakan diminum." Empat buah gelas yang berisi teh hangat disodorkan kepada kami.

"Iya, terima kasih." Jawabku. Aku tidak menampik bahwa Ibu kembar sangat cantik dibandingkan diriku yang kelewat biasa saja.

"Ibu sakit apa, Lia?"

"Biasa, sakit tua."

"Boleh saya jenguk?"

"Boleh silakan." Lia berdiri dan mempersilakan kami untuk mengikuti langkahnya menuju ke sebuah kamar tidur. Dari luar aku bisa melihat bahwa wanita paruh baya itu sedang tergolek tak berdaya akibat serangan penyakit.

"Malam Ma."

"Malam, sudah lama kamu tidak kemari nak?"

"Maaf Ma, sibuk dinas ke luar kota." Ucap Pak Rian saat menyalami tangan renta itu.

"Itu siapa?" Tunjuknya ke belakang tubuh Pak Rian.

"Ini istri saya Ma, Nisa, Bundanya anak-anak." Jelas Pak Rian dengan menuntunku untuk menyalami tangan Oma si kembar.

"Cantik. Tapi kenapa kamu cepat sekali cari pengganti Lia, nak?" Aku menoleh ke arah Pak Rian dengan tatapan menuntut penjelasan. Apa maksud kata cepat disini?

"Maaf Ma, bukannya cepat. Tapi kami berpisah memang sudah lama, dan saya pikir kembar juga butuh figur seorang Ibu buat tumbuh kembangnya."

"Kenapa kalian tidak rujuk saja? Kasihan anak-anak kalau punya dua Ibu?" Tuturnya lirih.

Deg

"Maksud Mama?"

"Iya, Mama pikir Lia juga menderita saat kalian memilih berpisah. Memang sejak awal Lia yang salah, tapi apa tidak ada kesempatan kedua buat Lia, nak? Mama mohon, di sisa usia Mama ini Mama hanya ingin melihat kebahagian Lia, putri Mama." Aku meremas kedua sisi bajuku saat mendengar keinginan Oma si kembar. Sungguh, aku merasa jika kehadiranku disini tidak dihargai. Aku istrinya, kenapa beliau tidak menghargaiku saat berbicara hal ini.

"Mas aku keluar dulu." Izinku saat hati ini tak kuasa membendung rasa sakit.

Tbc

Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang