Mampir juga di KBM APP, disana aku lebih cepat update. Jadi jangan lupa follow, karena kalau cuma subcribe kadang tidak ada pemberitahuan. 😊
Cerita ini sudah sampai bab 17 lo.Selamat Membaca
Setelah lamaran yang tidak romantis itu membuatku berpikir ulang.
Keluar bekerja?
Lantas, apa aku akan siap menjadi full ibu rumah tangga?
Sepertinya itu ide yang buruk.
Aku curahkan semua yang mengganjal dalam pikiranku ke Kak Anik. Aku memilih hal ini karena Kak Anik juga full ibu rumah tangga.
"Bagaimana menurut Kakak?" Kak Anik mengangguk paham atas apa yang aku rasakan.
"Kalau Kakak sih nurut suami, awalnya juga Kakak keberatan tapi saat lahir Kayla Kakak berpikir, kasihan juga ya anak bayi ini kalau Kakak tinggal kerja. Apalagi perkembangan anak itu tidak bisa kita ulang. Dan akhirnya Kakak memilih mundur dan menjadi pengusaha online shop meskipun hasilnya sedikit. Tapi lumayan buat mengisi waktu luang." Jelasnya dengan menyesap cokelat panas karena hari ini turun hujan deras.
"Tapi aku masih berpikir ijazahku Kak, Bapak kan sudah keluar biaya besar buat sekolahku. Masa aku harus keluar dari sana." Jawabku sedikit keberatan.
"Kakak paham, tapi namanya berkeluarga itu bukan lagi antara Bapak dengan kamu. Tapi kamu dengan suami kamu, kalau Rian ngajak kaya gitu mungkin saja dia ada alasan yang kita tidak tahu. Tapi menurut Kakak coba dulu kalau kamu keberatan utarakan saja. Yang penting komunikasi lancar." Menghela nafas panjang aku merasa dilema. Satu sisi aku sangat menyukai pekerjaan ini tapi satu sisi tuntutan seorang calon suami. Meskipun debaran jantung itu belum aku rasakan.
"Kalau Abang ya, nurut saja. Toh Abang kenal baik sama Rian, dia orangnya bertanggungjawab, pekerja keras. Lantas apa yang membuat kamu khawatir?" Ucap Abang masuk ke ruang keluarga dan ikut memberi pertimbangan.
"Bukannya Abang mengunggulkan Rian. Tapi setahu Abang memang masalah pernikahan pertama itu juga karena mantan istrinya seorang wanita karir. Mungkin Rian mawas diri."
"Memang apa?" Abang mengedikkan bahu, "Abang nggak tahu pastinya, tapi banyak orang yang bicara seperti itu. Ya, kamu sebagai calon istri coba tanya alasannya apa."
"Huft, kirain tahu. Ternyata juga katanya."
"Ya masa Abang tanya, kamu pisah sama istri kamu masalah apa? Ya Abang malulah. Itukan urusan dia sama mantan istrinya." Katanya sebelum meninggalkan kami kembali.
"Tapi benar apa yang dikatakan Abang lo, coba tanyakan. Mungkin jawabannya bisa membuat kamu yakin mana yang akan kamu ambil." Pungkas Kak Anik malam itu.
***
"Bunda!!" Seru dua bocah kembar itu saat melihatku menunggu mereka keluar dari kelasnya. Tadi setelah selesai di kelas aku langsung keluar untuk menyambut mereka.
"Ayo pulang, Kayla sudah ada di dalam mobil." Ajakku menggandeng mereka untuk menuju mobil Kak Anik. Mendudukan mereka di jok masing-masing, aku keluar dan memilih untuk duduk di depan menemani Kak Anik mengemudi.
"Sudah punya jawaban?" Aku menggeleng, "belum masih bimbang, tapi kemarin Bapak bilang surga istri itu suami. Jadi kalau kamu mau mendapatkan ridhonya ya harus nurut sama suami kamu." Ucapku menceritakan pembicaraan dengan Bapak.
"Yasudah, Bapak juga setuju dengan apa kata Rian. Jadi mau kamu apa?"
"Aku masih butuh waktu buat berpikir soalnya pekerjaan ini yang menemaniku sampai saat ini." Kak Anik tersenyum dan mengangguk.
"Yang penting jangan lama-lama, soalnya banyak yang mau sama Rian. Apalagi ibu-ibu perumahan yang punya anak perawan, semuanya nawarin lo." Tanpa memandangku Kak Anik berkata hal yang menbuatku sedikit marah.
"Kalau dia mau ya sudah, aku nggak bisa melarang Kak."
"Ih, marah nih. Qian Quin Bunda kamu marah." Teriak Kak Anik di dalam mobil. Sontak mereka menatapku, yang aku balas dengan membalikan tubuh dan menggelengkan kepala.
"Enggak, itu bohong. Jangan dengarkan apa yang Mamanya Kayla bilang ya." Mereka mengangguk serempak.
Aku menatap Kak Anik sengit, sungguh mulutnya ingin rasanya aku cabein. "Jaga bicaranya Kak, kasihan si kembar nggak tahu apa yang kita bicarakan."
"Hahaha, iya deh." Kami akhirnya menikmati perjalanan pulang. Aku lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah dibandingkan mampir di rumah Kak Anik.
"Ayo kalian ganti baju dulu. Lanjut makan siang." Aku berkata dengan melangkahkan kaki menuju meja makan. Selesai mencuci tangan, aku membuka tudung saji melihat apa yang dimasak Bibi hari ini.
"Bun, Qian lapar."
"Ayo kamu duduk dulu tunggu Quin." Aku mengambilkan makanan untuk Qian dengan apa yang ia inginkan.
"Quin tungguin." Ucap si cantik yang mengenakan rok yang membuatnya tambah cantik. "Wah, Quin cantik banget ayo sini makan. Bunda ambilkan apa yang mau kamu makan."
Mereka lahap memakan masakan Bibi. Sungguh aku merasa bahagia saat melihat hal ini. Banyak anak diluaran sana yang memang susah dalam hal makan tapi si kembar tidak. Mereka tipe anak yang mudah makan apapun.
"Assalamualaikum!" Salam Pak Rian yang masuk ke rumah dan menuju ke meja makan.
"Waalaikumsalam," jawab kami serempak. "Anak Ayah makan apa? Kok nggak tungguin Ayah."
Setelah cuci tangan Pak Rian duduk di kursi meja makan dan mengambil makanan yang ada. "Kan Qian nggak tahu apa Ayah pulang atau tidak."
Pak Rian mengangguk, "maaf ya Ayah akhir-akhir ini sibuk."
"Tidak papa, lagian itu juga semua buat Qian sama Quin. Kan sekarang Qian tidak kesepian lagi, ada Bunda." Ucapnya polos. Aku yang mendengar kata Bunda disini merasak ketakutan. Ini di depan Pak Rian mereka memanggilku seperti itu. Takutnya dari sini Pak Rian menganggap diriku sudah menerima lamarannya.
Pak Rian menatapku dengan sorot mata yang menuntut penjelasan. "Kemarin kami sepakat memanggil saya Bunda Pak."
"Oh, kirain." Jawabnya datar.
Kami melanjutkan makan siang kami yang terganggu akibat obrolan Pak Rian.
"Sekarang kembar nonton televisi dulu, biar ini Bunda bereskan." Mereka melangkah meninggalkan meja makan. Berdiri aku mengambil piring dan gelas kotor yang akan aku cuci.
"Bagaimana? Kamu sudah bisa menjawabnya?" Tanya Pak Rian saat aku sibuk mencuci dan dia membilas.
"Susah Pak," jawabku jujur.
"Saya tahu, makanya saya bilang dari awal. Kita bisa bekerjasama. Begini, saya yang kerja kamu di rumah. Awalnya mungkin akan susah apalagi kamu pekerja. Tapi saya yakin kamu bisa."
Aku menoleh dan menatap Pak Rian. "Saya nggak tahu ini akan berhasil atau tidak. Tapi izinkan saya bekerja beberapa bulan kedepan."
"Tapi kita menikah sekarang, kan?"
Aku mengangguk, "Nanti saya akan bicara sama kembar dan kedua orang tua saya. Kamu bilang saja sama kedua orang tuamu lusa saya akan ke rumah." Jawabnya."Kalau bisa satu bulan kedepan kita harus menikah. Urusan kedinasan biar saya urus." Lanjutnya meletakkan piring dan gelas di rak.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Fiction généraleAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...