Selamat MembacaBeberapa minggu berjalan setelah kejadian itu. Aku merasa hubungan kami baik-baik saja, hingga beberapa hari belakangan ini Pak Rian berubah. Dia sering pulang terlambat dan saat aku memutuskan untuk datang ke kantornya kosong.
"Ada Pak Rian, Pak?" Tanyaku saat melintasi meja yang disana terdapat dua orang dengan potongan plontos. Mereka tersenyum kepadaku, sebelum menjawab. "Maaf Bu, Bapak tidak di tempat.
Aku memutuskan undur diri dari sana dengan pikiran yang tidak-tidak. Apalagi dengan bayangan negatif ini yang kian menyeruak seiring perubahannya. Kuputuskan untuk pulang dan mencoba menghubungi lewat sambungan telpon.
Satu dua hingga tiga kali tidak ada yang mengangkat ponselnya. Hingga di dering kesekian aku mendengar ponselnya aktif.
"Hallo?" Ucapku tanpa menggunakan salam karena aku sedang marah kepadanya.
"Hallo." Suara perempuan? Aku mencoba melihat id yang kutelpon, tidak salah, tetapi kenapa yang mengangkat suara perempuan batinku.
"Ini siapa?"
"Maaf saya hanya mengangkat ponselnya saja, karena Pak Riannya sedang di toilet." Jelasnya. Tanpa sepatah katapun aku mematikan sambungan telpon dan bergerak ke sekolah kembar untuk menjemput mereka. Meskipun pikiranku kalut, aku masih bisa mengemudikan mobil dengan selamat sampai disana.
Aku terduduk di kursi panjang dekat dengan ruang kelas kembar. Mengamati jika saja kembar sudah keluar.
"Bunda!" Pekikan suara Qian membuatku tersenyum dan berdiri untuk menyambut tubuh mungil mereka.
"Bagaimana sekolahnya?" Tanyaku saat kami berjalan menuju mobil yang aku parkir. Mereka tersenyum dan berceloteh, "Baik Bun, Qian senang bisa mewarnai."
"Quin juga, bisa menghafalkan doa."
"Berarti anak Bunda pintar-pintar dong." Mereka mengangguk, "Yasudah, ayo kita pulang."
Disepanjang perjalan nampak raut wajah Qian dan Quin berbinar, menceritakan tentang apa yang mereka lakukan di kelas. Bahkan mereka juga bernyanyi mengikuti alunan lagu yang aku putar.
"Ayah kemana Bun?" Tanya Quin saat mobil yang kami tumpangi berhenti di pertigaan jalan. "Ayah kerja kan."
"Bukan itu Bun, Quin merasa Ayah sibuk sekarang. Waktu buat Quin tidak ada." Ceritanya dengan suara lesu.
"Jangan begitu, Ayah sibuk bekerja. Besok deh Bunda bilangin ke Ayah untuk kurangi intensitas kerjanya." Jawabku mencoba memberikan pembelaan untuk Pak Rian.
"Janji ya Bun." Aku mengangguk pasti dan melanjutkan perjalanan menuju rumah. Biarlah nanti aku bicara dengan Ayah anak-anak.
***
Malamnya aku terduduk di kursi meja rias menunggu Pak Rian selesai mandi. Dia baru saja pulang pukul sepuluh malam, padahal anak-anak sudah menunggunya sejak magrib.
Kuputuskan untuk berbicara dengannya, karena aku tidak mau terus berprasangka buruk. "Mas." Ucapku memulai pembicaraan. Dia yang sedang mengenakan baju sontak menoleh dan memerhatikanku.
"Iya."
"Apa Mas merasa ada yang kurang? Maksudku ada yang beda?" Jujur aku takut bertanya seperti ini, karena pandangan matanya yang tajam langsung tertuju ke mataku.
"Memang ada apa? Mas merasa baik-baik saja." Jawabnya, dengan langkah pasti dia duduk di tepi ranjang dan menatapku lewat pantulan cermin.
"Kenapa Mas sibuk sekali? Anak-anak itu selalu bertanya kapan Ayahnya pulang. Aku sendiri hanya bisa terdiam, tanpa bisa menjawab. Kalau mereka menyuruhku menelpon Mas, pasti nomor Mas sedang tidak aktif." Jelasku. Sebenarnya aku tahu kalau pekerjaannya menuntut untuk senantiasa ada. Tapi apakah sampai melupakan keluarganya?
Pak Rian berjalan mendekatiku dan memelukku dari belakang, "Maaf ya Sayang, gara-gara Mas kamu kesulitan." Ujarnya dengan mengecup punggungku.
"Aku tidak masalah Mas sibuk, tapi anak-anak. Mereka ingin Mas ada buatnya." Kataku, bayangan akan wajah pilu Qian dan Quin membuatku berani mengutaran hal ini.
"Besok Mas akan minta maaf kepada mereka. Dan Mas akan ajak mereka makan siang sama kamu. Kita habiskan waktu bersama." Aku memutarkan tubuhku, menatapnya tepat di matanya.
"Janji? Mas tidak akan bohong?"
"Iya janji." Aku tersenyum dan memeluknya. Kutatap wajahnya yang menghitam karena sengatan panas matahari. Terlitas ingatanku akan tadi siang dimana telponku yang diangkat oleh wanita.
"Mas."
"Hmm, apa?"
"Tadi aku nelpon Mas, tapi kenapa yang mengangkat suara wanita?" Keningnya mengerut seolah ia sedang berpikir. "Oh, tadi. Aku sedang di toilet. Ada meeting di kantor pusat."
"Tapi kenapa harus cewek yang jawab?" Tanyaku penuh curiga. Tangan besarnya membelai wajahku, "Karena Mas duduknya disamping perempuan. Saat itu mau meeting dan Mas izin keluar sebentar."
"Nggak bohong?"
"Mana ada bohong, Mas jujur."
"Baiklah aku percaya Mas." Bibirnya mengecup keningku sebelum kami akhirnya memilih untuk istirahat malam ini.
"Bun, Ayah mana?"
"Tidur. Sana bangunkan." Teriakku saat tangan ini sibuk membolak-balikan nasi goreng. "Siip Bun."
Hingga tak berselang lama Mas Rian datang dengan tangannya menggendong Quin. Mereka melangkah untuk duduk di kursi meja makan. "Mau aku buatkan apa Mas?"
"Susu kopi saja," ujarnya dengan mendudukan tubuh Quin dipangkuannya. "Kalau Quin?"
"Susu Bun." Aku tersenyum melihat interaksi ini. Sudah lama aku tidak melihat hal ini.
"Ini tuan dan nona." Godaku dengan menyajikan susu kopi dan susu untuk Quin. "Terima kasih."
Aku bergegas untuk menyajikan nasi goreng dan membangunkan Qian. "Ayo bangun nak, kita sarapan dulu. Itu ada Ayah." Kataku saat membuka selimut yang membungkus tubuh Qian.
"Ayah ada di rumah Bun?"
"Ada." Dia dengan penuh semangat menyibak selimut dan berjalan menuju meja makan. Aku sendiri hanya geleng-geleng kepala atas ulah Qian yang terlalu bersemangat.
"Ayah!"
"Apa jagoan Ayah?"
"Qian rindu Ayah." Dengan kedua tangan besar Pak Rian tubuh Qian ia dudukan di pangkuannya. Jadi mereka menjadi satu, sebelah kiri ada Qian dan sebelah kanan ada Quin.
"Sama, maafkan Ayah ya. Akhir-akhir ini Ayah sibuk. Nanti siang Ayah janji ajak kalian makan siang di luar mau?" Tuturnya halus dengan mengusap kepala mereka lembut.
"Mau. Mau!"
"Baiklah, sekarang kalian makan sarapan dulu. Nanti Ayah yang antar kalian sekolah."
"Yeee." Aku tersenyum simpul melihat interaksi mereka. Jujur meskipun aku bukan ibu kandungnya tapi aku merasakan rasa sakit jika mereka sedih begitu juga sebaliknya. Tawa mereka mampu menbuatku bersemangat untuk mengawali hari.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Fiksi UmumAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...