20

1.9K 121 1
                                    

Terima kasih yang sudah dukung cerita ini. Buat kalian silakan vote cerita ini kalau kalian suka. Kalau tidak ya sudah. Buat kalian yang mau follow silakan.

Oh, iya cerita ini sudah bisa kalian baca hingga bab 30 ya di KBM dan Karyakarsa.

Username : aniswiji
Atau link ada di bio.

Selamat Membaca

"Bun." Panggil Qian saat kami dalam perjalanan pulang. Apalagi kami berada di dalam mobil jadi suara Qian cukup jelas aku dengar. "Iya, ada apa?" Tanyaku dengan raut wajah dibuat baik-baik saja seolah apa yang terjadi di rumah Mama mereka tidak terjadi. Meskipun aku sedang dilanda bad mood aku harus bisa menguasai perasaanku jika berhadapan dengan anak-anak. Karena mereka tidak tahu apa-apa disini.

"Qian boleh bobok sama Bunda?" Kupikir sejenak, apa aku harus menerima keinginan Qian. Ya, aku harus menerima ajakan Qian, karena aku belum bisa berpikir logis atas apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.

"Boleh, nanti Qian ditemani Bunda." Jawabku, mengabaikan wajah kesal Pak Rian di samping. Biarlah malam ini aku menjauh darinya, aku juga butuh sendiri. Apalagi aku tidak tahu kelanjutan pembicaraan mereka di dalam.

Kuhela nafas perlahan, menatap suasana di luar sana. Meskipun sudah malam hari ternyata masih banyak orang yang sibuk mengais rezeki atau sekadar menongkrong bersama teman. Dulu jika aku pulang dari kampus, aku sering melakukannya bahkan pulang jam sembilan malam aku lakukan. Ya, karena waktu bersama dengan teman akan susah jika kita sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Ingatanku kembali ke beberapa tahun silam dimana aku tidak pernah berpikir untuk menikah, bahkan menjalin hubungan dengan lawan jenis saja enggan.
Seolah tersadar, bahwa sekarang waktuku sudah tidak ada lagi untuk berkumpul dengan mereka.

"Ayo keluar." Aku baru menyadari jika mobil yang kami tumpangi sudah berada di halaman rumah. Bahkan kembar sudah turun entah sejak kapan, menepuk jidat aku tersadar jika terlalu lama tidak berkonsentrasi bahkan pikiranku seolah berada di tempat yang jauh.

Astaga.

Aku berjalan masuk ke rumah menuju kamar tidur untuk berganti baju dan bergegas menuju kamar kembar. "Mau kemana?" Aku menoleh mendapati tubuh Pak Rian berdiri di depan pintu masuk kamar kami.

"Ke kamar kembar."

"Mereka sudah tidur. Kamu tidur disini saja."

"Tapi aku sudah janji sama Qian, Mas."

"Qiannya sudah tidur jadi tidak masalah. Yang masalah itu kita, jadinya harus kita selesaikan sekarang." Katanya penuh penekanan.
Kalau begini aku sudah tidak bisa berpikir kembali, bagaimanapun disini aku harus menghormati Pak Rian sebagai suami. Kududukan tubuhku di atas ranjang, menunggu Pak Rian selesai membersihkan tubuhnya kembali.

"Sini, kita bicara." Tubuhku mendekat ke arahnya, "Apa?"

"Kamu jangan berpikir macam-macam masalah tadi. Mas tidak akan melakukan itu, karena Mas tidak bisa dan tidak mau." Aku mendongak menatap wajahnya, "Kenapa? Biasanya pria suka jika harus memilih untuk menikah kembali?" Bukan rahasia umum jika banyak lelaki di luaran sana yang suka menikah kembali setelah mendapatkan kata sukses.

"Buat apa? Kamu sudah cukup. Kenapa harus nambah?"

"Tapi mantan Mas masih cantik, sukses apalagi dia ibu kandung kembar." Jawabku. Tangan Pak Rian menarikku ke dalam dekapannya mengecup berulang kali keningku.

"Apa hanya dengan kecantikan kita bisa mempertahankan sebuah pernikahan? Tidak, Mas rasa itu tidak. Lia cantik dengan kesuksesannya tapi dia bukan istri yang Mas butuhkan. Jadi buat apa kembali dengannya?"

"Tapi tadi permintaan Omanya anak-anak?"

"Kan baru permintaan, bisa kita tolak kalau tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan." Aku mengangguk, pikiranku mulai mencerna semua kata yang dikatakan Pak Rian. Tapi jujur, aku ingin bertanya apa dia tidak ingin rujuk dengan Lia?

"Apa Mas tidak ingin rujuk?"
Kepala Pak Rian menggeleng tegas, "Buat apa? Mas rasa itu tidak ada di dalam benak Mas apalagi setelah memutuskan untuk berpisah. Kami beda prinsip itu yang baru Mas sadari."

"Prinsip apa?"

"Begini, Mas sibuk dengan mencari rezeki di luaran sana yang dimana pekerjaan Mas menuntut sebuah tindakan yang tidak serta merta bisa kita kendalikan. Kadang bahaya itu akan datang, bahkan bukan bahaya saja tapi bisa juga nyawa yang melayang. Dan hal itu membuat Mas harus memikirkan tentang anak-anak, jika Mas saja sudah sibuk dengan pekerjaan terus Mamanya juga sama, apa yang akan terjadi dengan mereka? Terlantar."

"Tapi Mamanya anak-anak bisa saja berubah."

"Pasti, setiap orang akan berubah. Tapi Mas pikir itu tidak sekarang, apalagi dengan prestasi Lia di pekerjaannya. Mas rasa itu sulit. Jadi disini Mas membutuhkan orang yang bisa Mas andalkan saat Mas tidak ada di rumah."

"Jadi jangan pernah berpikir itu lagi." Tangan Pak Rian mengusap pipiku lembut. Sungguh, aku merasa bahagia dengan perilaku sederhananya yang mampu membuatku merasa berharga.

***

"Mas hari ini mau visit ke kota Bogor. Mungkin lusa baliknya. Kalau kamu mau mengajak kembar ke rumah Bapak Ibu Mas izinkan." Ucapnya setelah aku membereskan perlengkapannya ke sebuah tas.

"Tumben Mas mengizinkan?"

"Bukannya kamu setiap hari merindukan mereka? Mas hanya memberi izin sekalian saat Mas keluar kota."

"Ya, nanti aku pikirkan. Soalnya pekerjaanku akhir-akhir ini banyak."

"Iya, selesaikan. Mas sudah memberimu waktu untuk undur diri dari sana."

"Iya, aku ingat." Putusku dengan mengatarkan Pak Rian keluar dari rumah menatapnya hingga menghilang di persimpangan jalan. Pak Rian hari ini berangkat lebih pagi karena harus ke luar kota.

Aku bergegas masuk untuk membangunkan kembar. Memperiapkan mereka untuk ke sekolah.

"Bun, masa ya Qian disuruh bernyanyi sama Bu Guru tidak mau." Aku menatap wajak Qian, "Apa benar Sayang?"

"Qian nggak suka bernyanyi. Kalau mewarnai Qian suka." Aku tersenyum dan mengusap kepalanya lembut.

"Quin, Qian tidak suka bernyanyi jadi wajar kalau dia tidak mau. Berbeda dengan Quin yang suka semuanya. Tetapi Qian harus belajar bahwa bernyanyi itu menyenangkan. Bisa merilekskan pikiran." Jawabku netral. Meskipun di sekolah pasti akan ada tuntutan agar anak mau mengikuti apa yang disuruh guru tetapi aku lebih memilih untuk mengajarkan pengertian dari sebuah sikap. Jika dia tidak mau, ya jangan dipaksa tetapi kita memberikannya pengertian bahwa hal itu tidak susah agar mereka mau mengikuti kegiatan itu kembali.

"Apa benar Bun?"

"Benar, Bunda kalau lagi sedih atau banyak masalah selalu mendengarkan lagu. Kalau lagi pingin ya mengikuti liriknya kalau tidak ya mendengarkannya saja." Jelasku. Qian nampak berpikir sebelum mengangguk pasti. "Besok Qian akan coba Bun."

Bukannya aku memaksa disini, tetapi aku lebih memilih untuk memberikannya pengertian dalam pola asuh. Dimana pengertian ini sangat penting dibanding dengan pemaksaan tanpa adanya pengertian yang jelas.

Tbc

Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang