Halooo, apa kabar?
Mau promosi kalau cerita ini ada di KBM dan Karyakarsa sudah Tamat ya dengan harga yang terjangkau. Oh iya ada kabar baru di Karyakarsa bayarnya bisa pakai pulsa loo, untuk saat ini hanya tri, xl, dan indosat.
Bakalan update kalau pengikut saya naik sampai 350 ya.
link ada di bio atau username : aniswiji
Yang banyak baca tapi sepi vote dan komen. Huft. Ayo dong ramaikan, dengan follow juga akun ini. Kalau sepi bakalan update lama. 😂
Selamat Membaca
Menikmati teh dengan bolu nyatanya tidak buruk juga. Aku jadi kenyang dengan pikiran yang jauh lebih tenang. Jika kalian tanya apa Pak Rian menghubungiku jawabannya ya, dia bertanya apakah kirimannya sudah sampai? Apa aku senang menerimanya? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dia lakukan. Tapi semua itu aku abaikan, aku butuh jeda waktu sebelum menyelesaikan perselisihan ini.
Jujur rasa kecewa ini masih ada di dalam hatiku, bukannya apa. Tapi sebagai istri nyatanya aku tidak dihargai keberadaannya.
Hari sudah sore saat aku terbangun dari tidur siang, tadi setelah kenyang menyantap bolu aku memilih untuk tidur. Ya, karena mata rasanya berat ditambah acara televisi tidak cukup menarik bagiku.
Aku bergegas untuk salat dan menyiapkan makan malam. Meskipun tadi pagi aku enggan membuat sarapan, tapi aku berpikir keterlaluan jika aku tidak menyiapkan makan malam juga. Tak berselang lama, semua makanan sudah terhidang di atas meja makan. Dari penampilannya saja bisa membuatku tergugah untuk menyantapnya.
Saat mata ini terfokus akan makanan, aku mendengar langkah kaki yang mendekat. Aku menoleh dan medapatkan sosok yang menjulang tinggi yang tidak jauh dari posisiku berdiri. "Sudah pulang?" Tanyaku ramah.
Dia hanya mengangguk dan duduk di kursi meja makan. Aku mencoba mencari dua sosok malaikat itu di belakangnya, tapi nyatanya tidak ada. "Dimana mereka?" Tanyaku akhirnya.
Pak Rian menatapku dan menggeleng, "Di rumah Kayla.""Loh, kenapa tidak di bawa pulang sekalian?" Aku tidak habis pikir dengan tingkah Pak Rian, ini sudah sore dan anak-anak belum mandi kenapa tidak dibawa pulang?
"Kita harus selesaikan urusan kita berdua." Katanya, aku memilih untuk duduk di dekatnya.
"Mas sudah merasa bersalah?"
Kepala Pak Rian mengangguk, "Mas akui salah, karena tidak bilang sama kamu soal Lia tadi malam. Tapi jujur Mas lakukan itu hanya karena iba, tidak lebih. Saat Lia menelpon dan mengatakan Mamanya jatuh dan membutuhkan donor darah, Mas langsung kesana dan lupa memberimu kabar. Ditambah Mas mengajaknya kesini, jujur Mas hanya iba akan keadaan Lia. Tidak lebih."
"Iya tahu, tapi Mas seharusnya tahu posisiku disini. Aku menunggumu pulang, tapi kamu pulang dengan mantan kamu. Rasanya aku seperti tidak dihargai."
"Iya, makanya Mas ingin meminta maaf."
"Apa Mas tidak akan mengulanginya kembali?" Tanyaku.
"Mas janji."
Aku putuskan untuk memberikan maaf kepadanya. Karena permasalahan ini murni hanya komunikasi saja yang kurang. "Baiklah, aku memaafkan Mas." Wajah yang semula sendu berubah sumpringah, Pak Rian menarik tubuhku untuk dipeluknya. Bahkan dia mendaratkan kecupan di keningku, "Mas takut kamu pergi, saat Mas mengantar mereka." Lirihnya dengan mengusap punggungku.
Posisi kami masih berpelukan, "Pergi kemana?"
"Pergi dari rumah ini. Mas takut saat Mas kembali kamu tidak ada."
"Aku bukan remaja labil Mas, aku tahu batasan saat aku marah. Jujur kemarin aku marah karena rasanya tidak diharagai tapi lama kelamaan aku berpikir mungkin benar apa kata Mas, Mas hanya iba saja." Lanjutku, aku memutuskan untuk memisahkan diri dengan Pak Rian agar lebih mudah menatapnya.
"Kamu harus percaya dengan Mas, jangan dengar apa kata orang. Bagi Mas hanya kamu istri Mas, pemilik hati ini." Tunjukknya di dadanya, aku yang mendengar sontak melengos menutupi pipiku yang tersipu malu. Siapa yang mengajarkan Pak Rian menggoda?
"Em, masalah bunga siapa yang menyuruhnya Mas?" Tanyaku akhirnya. Dengan gerakan salah tingkah, Pak Rian menjelaskannya. "Teman saya, namanya Rudi dia bilang kalau istrinya marah dia seringnya mengirimkan bunga. Jadi saya coba saja ke kamu."
"Oh, kirain itu inisiatif Mas." Dia menggeleng, "Saya tidak pernah beli bunga sejujurnya, seringnya saya beli makanan. Karena bagi saya makanan jauh lebih penting dibanding bunga." Jelasnya, aku tidak menampik sifat Pak Rian ini. Memang sejak berkenalan dengannya, Pak Rian itu lebih ke fungsional jika membeli sesuatu, bukan membeli sesuatu hal yang tidak berfungsi. Tetapi ini, dia berubah hanya karena aku marah.
Apa aku begitu penting di hidupnya?
***
Paginya kami melakukan aktivitas seperti biasa, kembar yang akan pergi ke sekolah dan aku yang harus menyiapkan makanan dan bekal mereka.
"Ayo Quin Qian makan dulu, nanti terlambat." Teriakku saat menata makanan di atas meja dan jam dinding menunjuk pukul tujuh pagi.
"Bentar Bun." Aku menggeleng lemah saat mendengar jawaban itu. Bukan sekali dua kali aku mendengarnya, dan ini membuatku harus ke kamar mereka agar tidak terlambat.
"Kenapa? Ini sudah waktunya makan?" Tanyaku saat aku berada di depan pintu kembar. Mereka ternyata sedang asyik menjaili satu sama lain, alhasil membuat selesainya lama. "Sudah, janga dijaili Quin Qian. Nanti kamu dimarahi Ayah."
"Hehehe, Bunda. Iya maaf, Qian ke meja makan sekarang." Ujarnya dengan langkah cepat meninggalkanku. Aku mencoba untuk membantu Quin karena dia sedang kesusahan mengikat rambutnya.
"Sudah, sekarang Quin langsung ke meja makan. Sudah ditunggu Ayah, hari ini Ayah yang antar kalian."
Quin mengangguk, dan kami putuskan untuk berjalan menuju meja makan. Selesai itu, mereka berangkat di antar Ayahnya, aku sendiri yang mengantar mereka sampai mobil tidak terlihat dari pandangan mata.
"Jangan nakal Qian Quin di sekolah. Ingat pesan Bunda." Nasihatku saat mereka berpamitan dan mencium punggung tangan.
" Baik Bun." Mereka naik ke dalam mobil dan aku mencoba memasangkan seat belt-nya. "Ayah jangan ngebut." Pak Rian tersenyum dan mengangguk. Aku mencium punggung tangannya sebelum Pak Rian membalas dengan mencium kening dan pipiku. "Hati-hati di rumah, kalau ada apa-apa bilang ke saya."
"Iya."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
General FictionAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...