Malam ini kontrakanku kedatangan mba Weni. Beliau datang dengan bu Nasriah. Ada mas Endru juga. Bahagia? Tentu. Hampir satu bulan di ibu kota rasanya rindu pada orang di kampung. Karena hubunganku dengan mba Weni termasuk baik, jelas saat beliau datang hatiku senang.
"Maaf Bu, Mba. Cuma ada ini." menata makan malam di meja. Sore tadi aku hanya sempat goreng tempe dan rebus sayur. Sambal dapat beli tadi siang di kantin. Kadang saat tiba di rumah tidak keburu masak karena lapar, makanya aku sering beli. Berhubung lagi mau makan yang segar makanya sempat rebus sayur.
"Ini sudah alhamdulillah, Gendis. Enggak banyak minyak, awet seperti kamu kalau makan begini terus."
Aku tertawa mendengar ucapan bu Nasriah.
"Rencana tadi mau langsung ke apartemen mas Endru, tapi ingat kamu juga ada di sini makanya singgah," kata mba Weni.
"Aku senang malah," jujurku. Mba Weni dan bu Nasriah mulai menikmati makan malam alakadar. Kulihat mas Endru tidak menyentuh piringnya, karena penasaran aku bertanya. "Mas tidak makan?"
"Saya jarang makan malam."
Oh. "Mau aku bikinkan Teh?"
"Tidak usah," jawabnya tanpa melihatku. Layar ponselnya menyala, mungkin sedang sibuk. Jadi aku tidak bertanya lagi.
"Berarti mas Ar dan Keysa nanti pindah ke sini juga, Gendis?"
"Keysa iya Mba. Mas Ar belum tahu, kalau memungkinkan bisa jadi," sahutku.
Ketika mba Weni memindahkan piring bekas makan ke dapur, aku mencegahnya. Tapi mba Weni tidak mendengarku. "Istirahat saja dulu Mba."
"Kayak sama siapa aja kamu," celetuk mba Weni dengan senyumnya.
Selesai makan dan membereskan meja, aku mengajak mereka ke depan.
"Dekat-dekat kontrakannya Gendis, jadi enggak takut ya?"
"Alhamdulillah Bu. Tetangga juga ramah." mungkin mas Endru lebih tahu, makanya memilih daerah ini. Setiap hari tetangga yang rata-rata juga pekerja sepertiku sering menyapa saat melintas depan rumah, kadang juga dianterin lauk.
"Karena kerja makanya enggak berasa sepi ya?"
Aku mengangguk. "Paling kalau pulang, pas kangen kadang aku telepon, Bu." memang sering aku telepon sembari menunggu adzan magrib dan waktu itu mas Ar sudah berada di rumah.
"Kalian tekun, masa depan pasti bagus."
Ucapan bu Nasriah sedikitnya menyentuh dadaku. Masa depan? Aku terkejut saat melihat mas Endru yang ternyata juga sedang menatapku.
"Ibu dulu juga bekerja, LDR-an juga sama almarhum, alhamdulillah karena sabar ada hasilnya."
Aku mendengar dengan baik, tanpa melihat mas Endru lagi.
"Walaupun sedang berusaha untuk masa depan yang lebih baik, jangan lupa komunikasi. Ibu kota banyak tantangan, kuatin iman."
Insyaallah. "Sering telepon juga Bu. Kadang sampai ketiduran karena capek. Alhamdulillah mas Ar tidak marah."
Tawa bu Nasriah menghempaskan lelah. "Ibu juga seperti itu dulu, sering Ibu yang telepon almarhum sampai beliau ketiduran."
"Tahu dong gimana cintanya ibu sama ayah," sela mba Weni. Dan senyum bu Nasriah masih bertahan. Kelihatan bahagia di usia senja pertanda suksesnya perjuangan masa muda, aku yakin itu.
Mas Endru diam saja, entah tidak mendengar atau tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Dan, saat kulihat matanya masih fokus pada ponsel.
"Kata mas Endru enggak netap di sini, benar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."