.
Kecewa, mungkin bukan hari ini saja kurasakan. Di saat mas Ar butuh perawatan intensif dan lebih baik berobat di rumah sakit ibu kota, memilih tinggal di rumah sakit kabupaten mendengar usulan ibunya. Tidak perlu adu mulut, pagi kedua berada di sana aku telah menyampaikan keinginanku untuk membawanya ke sana karena aku tidak bisa tinggal terlalu lama. Jika berobat di sana, setiap jam makan siang aku bisa menjenguk dan malam menemaninya. Namun permintaanku ditolak mentah-mentah oleh ibunya dan mas Ar sependapat."Kalau mau pergi, pergi saja. Tidak ada yang melarangmu!"
"Aku istrinya, Bu. Bukankah wajar jika mau mas Ar mendapat penanganan yang bagus?"
Ibu mendecih. "Armada masih punya keluarga. Tidak usah sok perhatian. Kamu saja baru melihatnya dua hari ini!"
Sudah kukatakan, aku tidak ingin bertengkar. Barang sudah kusiapkan. Sejak tadi malam aku sudah bicara sama mas Ar tapi tidak ada tanggapan, begitu ibunya tiba pagi ini dia malah mengiyakan usulan itu. Mau apalagi, bukan tidak sayang tapi mas Ar sendiri yang mau seperti ini. Dia yang menginginkan hubungan kami hambar bisa-bisa lenyap karena sakit hati.
"Ciri-ciri istri baik tidak ada padamu. Dari dulu memang tidak ada. Makanya aku tidak menyukaimu!"
Caci makinya kali ini tidak aku balas. Aku sudah bersiap pulang. Kudekati mas Ar yang duduk di brankar. Wajahnya masih pucat namun rautnya dipaksa seolah dia baik-baik saja.
"Aku pergi," kataku setelah mencium tangannya. Diikuti Keysa.
"Hati-hati." mas Ar mencium putrinya.
Mengabaikan wajah kesal ibu, aku menitip pesan untuk mas Ar. "Lekas sembuh Mas. Lakukan yang terbaik untuk kita."
Mas Ar tertegun. Matanya berkilat menegaskan jika dia merindu. Hubungan kami sudah hampir ditepi jurang, namun belum ada tanda-tanda dari mas Ar menyelamatkan pernikahan ini. Caranya takzim menurutku salah.
Aku tidak heran apalagi sakit hati ketika ibu tidak menyapa Keysa. Dia lupa Keysa anak mas Ar, karena lahir dari rahimku ia membencinya.
******
Tidak ada yang berubah ke arah lebih baik dan aku tidak perlu memikirkan akan dibawa ke mana hubungan ini. Jika mas Ar belum bisa tegas terhadap ibunya maka percuma hubungan ini dipertahankan.
Campur tangan ibunya, sejak awal sudah salah dan mas Ar mengabaikan hal yang berlarut menjadi masalah. Sekarang, kami sudah memilih jalan masing-masing yang jelas bukan kemauan untuk kepuasan diri melainkan karena ibunya.
Semoga dia lekas membaik. Doaku masih sama. Karena perasaanku masih tulus walaupun berulang kali dikecewakan.
Kembali memulai aktivitas begitu tiba di Jakarta sedikitnya membuat suasana hatiku baik. Saat makan siang aku menghubungi mas Ar, begitu juga saat ada waktu senggang.
Pagi ini aku mendapat kabar dari mas Ar jika nanti siang dia sudah diperbolehkan pulang. Mendengar kabar baik itu aku bahagia. Aku sempat mengirim pesan untuknya agar memikirkan untuk tinggal di Jakarta dan membuka usaha di sini. Namun belum ada balasan, mungkin mas Ar sedang istirahat.
Dengan hati bahagia, aku berangkat ke kantor setelah mengantar Keysa ke yayasan. Semangat bekerja telah kembali selama tiga hari murung karena keadaan mas Ar. Bekerja dengan tekun aku akan menyelesaikan pekerjaan hari ini dengan baik. Saat pulang nanti mas Ar pasti sudah di rumah.
Makan siang kutitipkan pada Raya, ibu muda sepertiku yang bekerja di staf yang sama denganku.
Membuka aplikasi WA aku ingin melakukan video call dengan mas Ar. Notice status mba Fatiah, istri mas Iyan menarik perhatianku.
Degup jantungku tidak baik-baik saja. Foto seorang wanita muda yang duduk di bangku seperti berbicara dengan mas Ar. Aku tidak mengenal wanita itu, apakah langganan yang datang menjenguk. Tak perlu disentuh layar status mba Fatiah menampilkan foto genggaman tangan mas Ar dan wanita itu. Hanya tangan, tidak nampak wajah. Desiran darah mulai tidak normal dan aku menyadari diriku sedang marah. Foto terakhir, wanita itu mencium pipi sedang mata mas Ar terpejam dengan caption, lelah dengan melihat kalian tapi aku kasihan.
Reflek karena marah aku mengirimkan pesan pada mba fatiah, skenario siapa ini?
Aku menunggu balasannya. Layar komputer tak lagi menyita fokusku. Saat ingin melihat lagi, tak ada lagi foto itu dan balasan dari mba Fatiah membuatku ingin tertawa.
Maaf, Gendis. Aku tidak sengaja.
Siapa wanita itu? Aku tidak bisa meneleponnya karena tahu tak akan bisa mengendalikan kemarahanku.
Wanita pilihan ibu ya, Mba? Tanyaku lagi. Sekali lagi mba Fatiah meminta maaf. Hanya beberapa jam saja aku bahagia, sekarang seperti ada api di dadaku.
Sebuah pesan kukirimkan untuk mas Ar. Tidak bertanya siapa wanita itu.
Siapapun dia, aku tidak perlu tahu. Aku cuma ingin mengatakan, fakta genggaman tangan juga ciumannya adalah bukti bahwa kita bukan lagi siapa-siapa.
Centang dua. Setelah itu aku mematikan ponsel. Pikiran berkecamuk, foto itu berhasil membuatku hancur. Tatapan mas Ar di foto pertama seolah mengenal wanita itu. Foto kedua dan ketiga tidak bisa kuartikan. Mengikuti naluri saja jika ini adalah salah apapun penjelasannya nanti.
"Saya antar."
Mas Endru mencegat lift.
"Makasih. Aku ada janji." yang benar adalah aku ingin sendiri setelah menjemput Keysa.
"Kamu sulit dihubungi."
"Maaf," kataku. Saat ini aku sedang tidak ingin bicara dengan siapapun.
Begitu lift terbuka, mas Endru menahan tanganku. "Ada apa?" matanya menelisikku.
"Tidak apa-apa, Mas." dengan senyum aku meyakinkannya. Mas Endru melepaskan tanganku.
"Mau jemput Keysa kan?"
Aku mengangguk.
"Bareng saja," kata mas Endru lagi dengan tegas. "Janjinya ditunda dulu."
Alih-alih mengikuti langkahnya, aku memilih berjalan berlawanan arah dengannya. Saat kupikir aman, langkahku terhenti karena teriakan mas Endru.
"Kamu bisa bertanya pada saya, menunggu Weni mencari tahu siapa wanita itu memakan waktu lama!"
Kenapa mas Endru marah? Berbalik, aku bertanya padanya. "Jangan masuk terlalu dalam Mas. Kita hanya tetangga."
"Kamu bodoh?" mas Endru menarik lenganku hingga kakiku terseret mengikuti langkahnya. "Mempertahankan orang yang sama sekali tidak menganggapmu, dan kamu masih berbaik hati mencari tahu siapa wanita yang sedang mendekati laki-laki itu."
Tiba di parkiran, mas Endru membuka pintu mobil dan menyuruhku masuk.
"Untungnya apa kamu pulang kemarin?" tanya mas Endru. "Kamu dilecehkan, atau di maki?"
"Sepertinya Mas tahu banyak tentangku."
Mas Endru melajukan mobilnya dan keluar dari area parkir. "Kamu pulang sebagai istri karena rasa khawatir, apa yang kamu dapatkan selain penghinaan?"
Tau dari mana dia informasi tentang rumah tanggaku?
"Saya tidak ingin ikut campur." kata-katanya masih tegas. "Tidak sekarang, mungkin sejak kamu meminta bantuan saya untuk bekerja. Karena saat itu semua tentangmu seolah ingin saya perhatikan." mas Endru menghentikan mobilnya. "Cara saya tidak salah, jika kamu melihat dengan kacamata yang benar."
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."