Mas Endru masih di apartemen saat teleponku bergetar untuk kesekian kali menandakan panggilan masuk dari mas Ar. Sejak satu jam yang lalu mas Ar menghubungiku, dan aku belum mengangkatnya. Bagaimana cara aku bicara di depan mas Endru? Bukan jaim, hanya saja keterlaluan jika aku mengekspos masalah rumah tangga di depan orang lain.
"Sudah malam, Mas belum ingin pulang?" bagaimana cara aku mengusirnya?
"Saya akan pulang setelah tahu bagaimana caramu menyelesaikan masalah."
Dia jujur dan membuatku tidak nyaman. "Aku akan melakukannya. Tapi bukan di depan Mas."
"Jangan memancing emosi saya." tegur mas Endru. Matanya menatapku tajam. "Saya tidak penasaran bagaimana caramu mempertahan ego, hanya ingin tahu seberapa besar kamu menyayangi jiwa yang kesehatannya diragukan."
Jika dengan mas Ar, pikiranku akan melesat cepat memenuhi kepala. Berbeda saat berhadapan dengan mas Endru. Setiap kalimatnya seperti tikaman menyakitkan karena menyadari keadaan sebenarnya sehingga tak ada kalimat yang tepat untuk membalasnya.
"Anggap saja saya tuli. Angkat teleponnya dan bicaralah." kini mas Ar mengambil buku tema Keysa, membuka lembaran dan mulai mengalihkan tatapannya.
Tidak bisa mengabaikan keberadaannya, namun aku juga tidak bisa terus menerus melihat layar ponsel yang terus berkedip.
"Di apartemen," jawabku setelah menjawab salam mas Ar.
"Mba Fatiah memberitahuku, itu semua tidak benar. Kamu mengenalnya, Gendis." suara mas Ar tidak tenang di sana.
"Aku tidak mengenalnya. Mungkin wanita itu pilihan ibu, Mas." aku menahan sesak mengingat genggaman tangan mereka.
"Gendis. Aku tidak tahu foto apa yang kamu lihat, karena mba Fatiah sudah menghapusnya. Apapun yang kamu lihat tidak benar. Aku hanya bicara dengan Nisa, kamu bisa percaya?" mas Ar berusaha menjelaskan kebenaran atau membuatku untuk percaya? "Nisa, Gendis. Yang pernah jadi tetangga ibu, aku hanya mengobrol sebentar terus tidur. Aku tidak tahu jam berapa dia pulang, Dis. Aku berani bersumpah aku tidak melakukan apa-apa."
Suara parau mas Ar semakin membuat dadaku sesak. "Kalian pegangan tangan Mas. Dia juga menciummu." sakit saat mengatakannya, tapi harus kukatakan.
"Demi Allah, Gendis! Aku tidak melakukan itu."
Aku ingin percaya tapi foto tadi bukan lelucon yang mudah diabaikan. Saat mengangkat wajah, tatapanku bertemu dengan manik mas Endru.
"Mungkin ini cara ibu memisahkan kita." tentu setelah semua cara tidak berhasil. Ibu memilih menghancurkan harga diri anaknya sendiri di mata istrinya. "Masalah kita semakin rumit Mas. Mas juga tidak bisa bersikap tegas. Mas tidak bisa lepas dari ibu dan berdiri di sampingku sebagai suami." kini kuturunkan pandangan, tak ingin kubiarkan orang lain menyusup terlalu dalam mengenali luka dan kelemahanku.
"Kamu lupa Gendis. Aku pernah memintamu bertahan dan menungguku berjuang untukmu. Tapi kamu tidak mendengarkan. Harga diriku lebih hancur saat kamu tidak mendengarkanku ketimbang foto yang kamu lihat tadi. Aku ingin menjadi suami seperti yang kamu mau, tapi tak ada kesempatan lagi." mungkin jika orang lain yang mendengar, menganggap mas Ar bicara dengan tenang. Tidak menurutku sebagai orang yang pernah dekat dengannya. Mas Ar bicara dengan hati terluka dan pasrah. Aku merasakan kesakitannya.
"Menurut Mas, apakah masih layak hubungan kita dipertahankan?"
Mas Ar diam. Aku bertanya lagi, "Segudang masalah yang tak jauh dari keluargamu tak pernah dijadikan pelajaran, aku juga lelah. Mungkin Mas juga," kataku mulai menimbang keputusan yang pernah kuajukan dulu.
"Aku tidak pernah lelah berjuang. Jika menurutmu tak pantas, tidak apa-apa. Aku akan terus melakukannya." mas Ar memutuskan panggilan. Menggigit bibir saat menyadari betapa lemah suaranya, aku merasa bersalah.
Remuk redam perasaan saat ini. Mengingat foto di status mba Fatiah juga sikap mas Ar yang bertolak belakang dengan skenario ibunya. Aku mulai mengerti bahwa kedua istri kakak mas Ar sudah dihasut oleh ibu. Jadi, dihadapan mereka aku bukan lagi siapa-siapa.
"Istirahatlah. Saya pulang dulu."
Pikiranku masih pada mas Ar. Saat mas Endru pamit aku tidak berkata apa-apa lagi. Angka sebelas malam, harusnya tubuh ini lelah dan mata meredup. Kenyataan bukan seperti itu, kepala terus berputar memikirkan hubunganku dengan mas Endru yang tidak layak lagi disebut suami istri.
Jauh dengannya, aku menyadari jika hati masih terpaut padanya tanpa menepikan rasa kecewa ulah keluarganya yang selalu ikut campur dalam rumah tangga kami.
Makan malam yang dibelikan mas Endru tidak kusentuh sama sekali. Aku tidak lapar, masalah sudah membuatku kenyang, terutama jiwaku. Bertahan semampuku, sudah. Tidak tahu bagaimana cara mas Ar melihatku bertahan, meski kami masih saling mencintai.
Di sofa ruang tamu, aku merebahkan tubuh. Bukan untuk tidur, melainkan mengenang masa indah kami sebelum ibunya masuk memecahkan keharmonisan kami. Kemudian atas nama setia dan pengorbanan, aku bertahan karena kami sudah memiliki Keysa.
Aku masih ingat, saat mengatakan diri ini lelah dan mengajaknya berpisah. Air mataku menitik saat satu hal mengetuk kesadaran. Apakah mas Ar juga lelah dengan tingkah keluarganya tapi memilih diam? Perlahan logikaku menyibak kebenaran yang masih kuragukan. Mas tidak ingin berpisah, apakah pertanda jika dia juga merasakan hal yang sama denganku?
Sudah boleh kuketuk pintu apartemenmu? Tamumu sudah pulang, kan?
Mataku mengerjap membaca pesan dari mas Ar.
Jantungku bergemuruh, malam mengalahkan ketenanganku karena perlahan kesakitan laki-laki itu menular padaku sedang kesakitanmu memilih menepi ke sudut yang lain.
Bergegas bangun, aku membuka pintu apartemen tanpa membalas pesannya. Benar, mas Ar di luar. Dia tidak mengetuk pintu apartemen, dia menungguku membalas pesannya?
Perasaanku tidak menentu membayangkan mas Ar ada di sini. Kedua kali dia datang tanpa mengabariku dan kali ini menyesakkan mengingat keadaannya. Mas Ar baru keluar dari rumah sakit, artinya dia belum begitu pulih dan langsung datang ke sini.
Siapa yang menyuruhku memeluknya? Tidak ada. Ini murni karena rindu dan perasaan yang menyakitkan yang sejak tadi siang membuatku tidak tenang. Dari balasan pelukannya, aku tahu mas Ar juga merasakan hal yang sama.
Sudah berapa lama hati ini hambar? Bahkan aku tidak yakin perasaan ini akan bergojolak seperti sekarang. Harum mas Ar, aku merindukannya dan tangisku pecah dalam pelukannya. Tubuhku bergetar dalam dekapan hangat mas Ar, menikmati sakit dan rindu yang datang bersamaan.
"Kenapa ibu jahat Mas? Salah ya kalau aku mencintaimu? Salah jika aku mempertahankan rumah tanggaku?" aku memeluknya erat. Benar-benar nikmat kesakitan ini. "Apa karena aku yatim piatu? Kenapa ibu membenciku?" ya Tuhan nikmat sekali kecewa yang terlanjur menyatu dengan cinta.
"Maaf sayang." mas Ar mencium kepalaku berulang kali. Hangat air matanya menetes di tengkukku.
"Aku istrimu Mas. Lihat aku sebentar saja." aku terisak. Kemelut hati mulai berkabut. Tidak ada yang tahu, petir ataukah pelangi setelah mendung ini?
"Yang hatiku inginkan hanya kamu, karena itu aku berjuang Walaupun kamu tidak mendampingi."
Kalimat mas Ar membuatku semakin meringkuk dalam lukanya. Karena cinta aku berhasil merasakan kesakitan yang selama ini juga dipendam olehnya. Mas Ar berada di posisi yang sulit dan aku pergi begitu saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."