19

6.1K 561 23
                                    

"Nomormu tidak bisa dihubungi." begitu kata mas Ar saat meneleponku pagi ini saat sudah siap berangkat ke kantor.

Setelah mengenakan sepatu dan pintu juga sudah kukunci bergegas aku pergi menunggu angkot di halte depan. 

"Tapi ponselku aktif," kataku. Rasa bersalah ada, tapi mau gimana lagi karena bukan aku yang meminta mas Endru menghubungi semalam. "Ini aku sudah di halte, nungguin angkot. Nanti aku telepon balik."

"Iya, hati-hati," kata mas Ar dan kututup telepon dengan salam.

Setiap sore aku menghubunginya, dan malam setelah isya. Karena semalam ada tamu jadinya tidak menelepon mas Ar. 

Mendengar klakson dari sisi kiri tidak begitu jauh dari halte, aku menoleh. Mas Endru melambaikan tangan persis seperti menginterupsi.

"Masuklah. Terlambat nanti." 

Kulirik arloji, sekitar tujuh menit lagi angkot datang. "Belum lah Mas. Masih ada satu jam lagi tiba di kantor."

"Kalau bisa lebih cepat kenapa harus terlambat?"

Melihat kiri dan kanan, aku membuka pintu mobil dan duduk di depan. lalu lintas mulai ramai dan lalu lalang orang jualan juga mulai kelihatan.

"Sudah sarapan?"

Aku mengangguk. "Mas kebetulan lewat atau sengaja jemput?"

"Kesannya kamu keberatan," jawab mas Endru dan aku mengerti tentang sikapnya tadi malam.  

"Aku istri orang." mengatakan tanpa melihatnya. "Kalau Mas merasa kasihan, terimakasih." lebih baik dia mengasihaniku ketimbang rasa lain yang jelas salah.

"Iya." tenang dan santai saat mas Endru menanggapi. Pribadinya tidak begitu kukenal. Selama tinggal di Desa permai, berinteraksi dengannya hanya dua entah tiga kali karena kepentingan. Aku tidak begitu memperhatikan selain karena sudah punya keluarga, aku bukan tipe yang suka beramahtamah dengan lelaki. Tahu mas Endru RT saat itu, seorang duda tanpa anak yang ditinggal mati istrinya. Lain, aku tidak tahu.

Tiga puluh menit kami tiba di kantor. Sempat terpikir tidak apa-apakah aku turun di sini, mengingat statusku pasti tidak enak dengan karyawan lain apalagi sampai ada gunjingan.

"Parkiran VIP. Tidak ada orang." mas Endru memberitahu. Apakah dia peka, dengan kegalauanku?

"Mas duluan saja."

"Tidak ada yang melihatmu, lift langsung menuju ke ruangan saya."

Oh. "Sekretaris Mas?" 

Mas Endru menatapku dalam, untungnya aku tidak grogi. "Kamu mau bekerja atau menginterogasi saya?"

Tidak bertanya lagi, aku mengikutinya dari belakang hingga masuk dalam lift. Bukan sekali ini berdua dengannya, syukurnya aku masih baik-baik saja. Bukan di samping, dalam lift aku berdiri di belakangnya. 

"Siang nanti ibu datang, kalau sempat datang ke ruangan saya. Kita makan siang bersama." 

Apakah tidak berlebihan? "Spesial sekali tetangga sepertiku," kataku sama sekali tidak berminat. Diundang makan siang ke ruangannya ada bu Nasriah pula. Lift terbuka dan kami keluar dari sana.

"Bukan melamar. Cuma makan siang. Nanti pasti ibu nanyain, lebih baik saya katakan sekarang."

"Insyaallah." karena aku tidak bisa berjanji. Malu, seandainya ada beberapa orang mungkin tidak aneh, tapi tidak mungkin juga kan mas Endru mengundang karyawan lainnya. "Aku langsung ke ruangan," pamitku.

Selama satu bulan berada di perusahaan ini hubunganku dengan tim cukup baik. Karena niatku dari awal memang bekerja bukan cari sensasi alhamdulillah dimudahkan. Bekerja dengan giat untuk merubah masa depan agar tidak diinjak keluarga mertua. 

******

Sesuai rencana semalam, saat pulang dari kantor sore tadi aku mengunjungi anak mba Hesti ke rumah sakit. Memberikan sedikit uang meringankan bebannya mengingat suami mba Hesti sedang bekerja di luar kota. Karena memang sudah sore, aku tidak berlama di rumah sakit. Begitu keluar dari rumah sakit aku mendapatkan telepon dari mas Ar yang mengatakan dirinya sudah berada di Jakarta.

Sebuah kejutan karena dalam waktu satu bulan ini tidak pernah mas Ar menyinggung akan datang ke sini. Saat kubuka room chat, sudah sejak satu jam lalu ia tiba. 

Tidak langsung pulang, aku mampir ke warung membeli beberapa macam lauk. Tidak akan matang kalau aku memasak kecuali hanya telur dadar.

Berjalan tiga puluh langkah, aku tiba di rumah dan cukup terkejut melihat sebuah mobil yang kukenali juga laki-laki yang duduk di bangku teras. 

Bagaimana cara menyapanya, sudah lama? Atau  ada apa datang ke sini? 

"Dari mana?" mata mas Endru melihat ke tanganku yang menenteng plastik berisi lauk yang baru kubeli.

"Rumah sakit jenguk anak tetangga," jawabku jujur. Mas Endru masih mengenakan setelah kerja pagi tadi.

"Saya cuma memastikan. Ibu khawatir kamu tidak datang saat makan siang."

"Maaf." 

Mas Endru bangun. "Saya pulang dulu. Maaf menganggu."

Pergi tanpa menoleh ke belakang membuatku tidak enak. Bagaimanapun mas Endru yang memberiku kesempatan ini, apakah aku terlihat tidak tahu diri? Jujur, aku tidak ingin menghentikan langkahnya. Anggap saja aku percaya jika mas Endru datang ke sini untuk memastikan.

Masuk ke rumah aku tidak duduk lagi, bergegas masuk ke kamar dan membersihkan diri. Tentang mas Endru akan kupikirkan besok.

Mas Ar baru tiba setelah adzan Maghrib, tidak sendiri ada Keysa bersamanya. Gadis kecilku terlihat senang melihatku. Rindu sekali padanya. Tidak lupa, aku juga mencium tangan mas Ar dan menyuruhnya istirahat dulu sebelum makan malam.

"Aku mandi dulu, nanti saja makannya," kata mas Ar membuka tas mengambil handuk yang dibawa olehnya. Setelah mengantarnya ke kamar mandi aku kembali pada Keysa.

"Capek ya?"

Keysa mengangguk. "Tapi pas lihat Mama jadi senang." Keysa bersandar manja di sampingku. "Tadi Mama ada tamu?" mata bulatnya mengerjap menatapku. "Papa ngajak Keysa duduk dulu di musholla."

Bingung, mas Ar juga melihatnya. "Teman Mama. Papa bilang apa?"

Putriku menggeleng, "Cuma ngajak Keysa balik dan tungguin."

Mas Ar baru datang dan melihat laki-laki di teras kontrakan, laki-laki yang sangat dikenalinya. 

Saat mas Ar keluar dari kamar, aku mengajaknya makan. Keysa juga ikut, dan kami makan malam bersama. Tak ada raut aneh, sikap mas Ar biasa saja. Selesai makan, Keysa mengajakku ke kamar. Lelah membuatnya ingin tidur. Mas Ar tidak masuk, dia masih berada di meja makan. Mungkin akan ada obrolan panjang malam ini, dan mau tidak mau aku harus siap.

Selang lima belas menit, aku keluar dari kamar. Melihat mas Ar merokok, dengan tatapan datar lurus ke dinding.

"Kenapa tidak kabarin mau datang?"

Kini dia melihatku masih dengan raut datar. "Rencana tadi malam, tapi bikin kejutan bukan hal buruk." dia mengatakan kejutan, tapi rautnya biasa saja.

"Betah ya di sini?" tanya mas Ar. Asap rokok mengepul.

"Mau tidak mau. Aku ingin mengubah nasib," jawabku jujur. Tatapannya kupindai, tidak menilai tapi seperti putus asa.

"Melihatmu baik-baik saja, aku tidak khawatir lagi. Tapi tetap jaga diri." mas Ar bangun dari bangku setelah mematikan puntung rokok dalam piring. "Aku mau tidur, besok pagi langsung balik." 

Meninggalkanku sendiri di meja makan, sesuatu seperti mengiris dada. Bukan marah pada sikapnya, melainkan pada raut mas Ar yang seolah mengatakan dia baik-baik saja.

Aku tidak merasakan jarak, karena perasaanku tulus. Tapi melihatnya seperti sekarang ini, ada sesuatu yang salah. Aku tidak selingkuh, tapi tetap hati ini merasa bersalah.

........

Aku selingkuh punya alasan MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang