21

5.1K 475 25
                                    


"Kenapa harus sama dia? Kamu buta Ar?"

Yeni belum keluar saat ibunya masuk. Wanita itu masuk dengan tiba-tiba dan memakiku. "Untuk apa kamu pulang? Mau meras Armada?"

"Aku masih istrinya kalau ibu lupa." tak takut saat aku menjawabnya. "Memeras keahlian Ibu, bukan bidangku." berdiri di samping mas Ar, aku bertanya pada wanita yang memiliki hubungan darah dengan papa Keysa. "Ibu menganggapku apa?"

"Kamu benalu!"

Desisan ibu ditegur oleh mas Ar. "Masih pagi Bu. Aku juga belum sembuh. Bisa tinggalkan kami sebentar?"

"Kamu tidak takut dia mencelakaimu?" tudingan yang kejam.

"Ibu lupa?" sinisku tajam. "Itu tuntutan untuk Ibu dua bulan yang lalu. Sudah kubilang, bidang kita tidak sama."

"Mulutmu ya!" Yeni maju dan aku siap melawan. Tapi, kemarahan mas Ar menghentikan semuanya.

"Setidaknya kasihani saja aku. Aku sedang sakit, bukan tidur!" 

Sebelum benar-benar keluar, ibu mas Ar sempat menginjak kakiku dengan sengaja, dan aku mengumpatnya. "Tua bangka!" sakit, karena aku hanya mengenakan kaos kaki sedang wanita itu memakai sepatu kebayang gimana sakit jari kakiku yang imut.

Menenangkan diri, rasanya aku harus menunggu beberapa saat lagi agar bisa bertemu dokter yang menangani mas Ar. Aku perlu tahu sakit apa yang dideritanya.

"Makasih sudah datang, walaupun aku tidak berharap karena tahu kamu tidak akan baik-baik saja di sini."

Mengerti maksud mas Ar, namun aku tetap tersinggung. "Entah sampai dimana jodoh kita, aku datang karena masih punya nurani." kendati tidak berharap lagi, mas Ar masih punya kesempatan mengingatkan ibunya agar berubah, dan jujur saat ini aku tidak ingin menggurui.

"Tidak akan habis jika membahas ibu, lagi pula aku tidak datang untuknya."

Tatapan mas Ar sendu, menahan sakit badan atau jiwanya. Entahlah. Aku melanjutkan," Aku hanya ingin tahu keadaan Mas. Selebihnya, terserah Mas mau gimana."

"Aku cuma sakit biasa. Karena lelah mungkin, kamu tidak boleh lama di sini," kata mas Ar dengan raut yakin seolah dirinya baik-baik saja.

Tidak ada nada mengusir dalam kalimatnya. "Di kantin ada bubur kacang hijau, enak. Sekalian belikan Keysa sarapan."

"Mas tidak ada yang tungguin," kataku. Bukan menolak tapi dia sendirian, Keysa sudah terlelap sangking lelahnya ia tidak mendengar teriakan neneknya yang memakiku.

"Ada Keysa. Aku tidak apa-apa."

Baiklah. Aku keluar dan menyusuri koridor  rumah sakit membawa langkah ke kantin. Bukan hanya nasi, aku juga membeli buah dan roti agar bisa di makan oleh mas Ar kalau lagi lapar.

Ibu mas Ar benar-benar pulang, saat kembali ke ruangan mereka tidak berada di sana. Syukurlah, setidaknya aku bisa menunggu dokter tanpa gangguan dua wanita itu.

"Biar aku saja." kataku melangkah cepat dan membuka wadah nasi dari rumah sakit. Setelahnya aku membangunkan Keysa untuk sarapan. Tidur dalam keadaan perut lapar akan berbahaya.

"Jam berapa biasanya dokter masuk?"

"Tidak pasti," jawab mas Ar. "Kemarin, sore baru masuk."

Aku mengangguk. Menyuruh Keysa ke kamar mandi, sementara aku menyiapkan sarapan yang kubeli.

"Kita nginap di sini, Ma?" tanya Keysa sebelum menutup pintu kamar mandi.

"Iya. Kasihan Papa." 

"Tidak apa-apa. Tidak baik Keysa di sini," kata mas Ar keberatan dengan rencanaku.

"Keysa bukan bayi Mas." aku juga tidak akan lama di sini. "Habisin sarapannya, aku ambil baju Keysa dulu.

Tidak kulihat ekspresinya, karena aku memang bertekad akan merawatnya dua hari sesuai cuti yang kuajukan.

******

Magh Kronik, kalau kata orang awam. Lambung mas Ar luka dan bernanah. Selain karena pola makan stress juga memicu. selama satu minggu di rawat sudah ada perkembangan yang baik, hanya saja pikiran mas Ar yang terlalu berat sehingga keadaannya tidak cepat membaik. Seperti saran dokter, agar tidak memikirkan hal berat untuk saat ini sehingga memicu stress dan berakibat fatal.

"Mas mikirin apa?"

"Biasa, kerjaan."

Setahuku tidak ada masalah dengan tokonya. "Toko masih ramai kan?"

"Eum." mas Ar menjawab dengan tatapan datarnya.

"Apa karenaku? Aku yang membuat Mas stres?"

"Biasa laki-laki kepikiran, Gendis. Tidak usah khawatir," katanya mulai mengalihkan tatapan. Keysa yang sedang menonton serial kartun di ponselku menjadi perhatiannya.

"Selama kita bersama baru kali ini Mas masuk rumah sakit." tidak aneh, tapi sebagai istri aku merasa bersalah juga khawatir.

"Kebetulan saja. Mungkin aku yang butuh istirahat sebentar setelah lelah bekerja."

Dia tidak ingin membuatku kepikiran, aku menyadarinya. "Malam itu Mas bertemu mas Endru, tapi Mas tidak mengatakan apapun." pertanyaannya, "Mas berspekulasi tanpa bertanya?" inti yang kubicrakan.

"Aku memang tidak memberitahu Mas, bukan berarti pemikiran Mas benar."  bukan ingin membela diri.

"Aku tidak memikirkan itu," katanya tanpa ekspresi di wajah.

"Tidak memikirkan, tapi menunggu sampai mas  Endru pergi dari kontrakan? Tidak memikirkan sampai Mas tidak menghubungiku  selama itu?"

Aku tidak marah. Menjelaskan agar tidak ada kesalahpahaman. Cukup ibunya yang menjadi masalah dalam rumah tangga kami. 

"Apapun yang kalian lakukan, aku tidak bisa berkata apa-apa." mas Ar memejamkan matanya. "Sama halnya saat kamu tidak mendengarku agar tidak pergi."

Sampai di sini, aku mengerti bahwa keadaan mas Ar hari ini ada kaitannya dengan kejadian sepuluh hari yang lalu. Aku salah karena tidak menyinggung malam itu sehingga mas Ar membenarkan pikirannya.

"Fungsiku sebagai suami tidak ada lagi." mas Ar seperti ingin menghentikan obrolan. Ia berbalik tidur membelakangiku.

"Kita tidak akan bicara tentang keputusanku memilih bekerja di ibu kota." kemudian menjelaskan lebih lanjut. "Aku minta maaf jika kejadian saat Mas mengantar Keysa membuat mas salah paham." tidak perlu mengatakan perasaan mas Endru yang berhasil kunilai, kejujuran hatiku lebih penting saat ini.

"Jujur, tidak ada hubungan apapun di antara kami selain sebagai karyawan dan atasan. Sejauh ini beliau juga sopan."

"Aku tidak menuduh." 

Tanggapan mas Ar membuatku lebih tenang. "Aku tidak ingin menjauh dari Mas, keadaan yang membuatku harus pergi." dan dia tidak pernah ingin tahu atau tidak peduli karena sebab besarnya hubungan kami seperti ini adalah ibu kandungnya.

"Aku tidak tidak pernah bermimpi hubungan kita akan seperti ini." saat mengatakannya, ingatanku kembali ke masa di mana keluarganya bersikap se-mena-mena terhadapku. "Jalan rumah tangga kita tak semulus harapan, dan alasannya masih sama." bahkan ibunya sedikitpun tidak berubah. Masih kasar dan membenciku.

"Aku minta maaf kalau Mas harus melewati hari ini karena kesalahpahaman kemarin, dan aku juga minta Mas menghargaiku karena aku pulang bukan Mas yang minta, melainkan nuraniku sebagai seorang istri."

Mas Ar pernah bekerja di perusahaan, setidaknya dia tahu betapa susah dan memalukan saat terpaksa mengambil cuti padahal baru saja bekerja.

Bersambung ....

Aku selingkuh punya alasan MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang