Blame it on the Moon part 3

4.7K 434 3
                                    

Keharuman lembut Moringa menerpa wajahnya. Hinata duduk menopang dagu di meja kerjanya, menunggu suara langkah yang mendekat. Pintu diketuk, tak menunggu lama untuk menemukan wajah Temari setelah itu.

"Pihak galeri sudah menanggapi permohonanmu."

Kalimat itu melegakan.

Hinata mengubah posisi duduknya lebih santai.

Musim semi telah dimulai. Memiliki hari libur di musim semi adalah sebuah berkah. Semua hal seperti terbangun dari tidur panjangnya selama musim dingin. Semua orang berubah sibuk. Semester baru dimulai.

Temari duduk di sofa berlapis beledu merah di ruang kerja Hinata, menikmati kenyamanan sofanya yang selalu ia anggap sebagai benda terbaik di ruangan sepi itu. sebuah ruang kerja biasanya dipenuhi foto-foto dalam bingkai, lemari-lemari yang menyimpan benda-benda pajangan, trofi penghargaan, atau plakat-plakat berlapis emas dengan tinta mengilap yang menuliskan nama Hinata dengan aksen klasik yang bercita-rasa tinggi.

Setumpuk prestasi itu justru disimpan di gudang. Hanya ada satu bingkai foto di ruang kerja Hinata, dan isinya adalah gambar dua anaknya. Tak ada hal-hal lain. Padahal Hinata seorang fotografer pofesional yang karyanya paling sering dipuji klien.

"Ada kiriman untukmu," kata Temari.

"Kiriman?"

"Ya. Dari Hiroshima." Temari menatap Hinata yang membalas tatapannya dengan ekspresi tenang. "Apa mungkin isinya sama seperti tahun sebelumnya?"

Setiap tahun Hinata selalu mendapat kiriman apel dari ibunya di Hiroshima. Keluarganya merupakan pemilik kebun apel terbesar di sana. Kota kecil dengan jumlah penduduk yang sedikit, hampir tiap pagi kondisi hariannya menjadi rutinitas sehari-hari komunitas kecil masyarakat di sana.

Hinata membalas pertanyaan Temari dengan senyuman.

"Sudah kaupikirkan?" tanya Temari lagi.

Hinata menarik napas dalam-dalam, memahami pertanyaan Temari tak ada sangkut-pautnya dengan apel, tangannya meraih pena dari sudut mejanya, membuka bukunya, menuliskan sesuatu di lembaran terbaru. Kemudian setelah beberapa saat dia mengangguk.

"Itu bagus," sahut Temari. "Kau juga perlu melupakan masa sedih itu."

"Masa sedih, ya?" gumam Hinata dengan suara lemah.

"Apa? Kau bilang sesuatu?"

Hinata mengangkat wajahnya, mengubah ekspresi, "Aku akan buat pai apel. Nee-san mau?"

"Tentu saja. Pai apel buatanmu paling enak. Tidak terlalu manis."

Tidak terlalu manis, pikir Hinata. Bayangan yang kemudian datang dalam benaknya menggambarkan sosok Sasuke di ruang tengah, bermain dengan Chinatsu. Tak lama kemudian bayangan itu berganti lagi pada malam mengerikan itu.

Tidak terlalu manis.

Saat Hinata selesai membuat pai apel keesokan harinya, Temari mendapat bagian paling banyak. Dan Hinata lalu menyetir mobilnya sendiri menuju ke sebuah keputusan. Ini akan jadi yang terakhir kalinya.

Kakinya yang berat melangkah maju. Langkahnya yang diseret itu tak butuh waktu lama untuk mencapai pintu utama. Ia kini hanya perlu menekan bel atau mengetuk pintu. Sangat berbeda dengan kejadian malam itu. Dia begitu bahagia saat itu, dengan menggendong bayi Chiharu dia menerobos masuk. Pintu rumahnya yang tak terkunci membuatnya berpikir Sasuke sudah pulang. Degup jantungnya yang tak terkendali karena perasaan haru dan bahagia berubah sesaat setelah ia membuka pintu kamarnya.

Saat ini, dengan membawa pai apel di tangannya, Hinata adalah tamu. Dan posisi itu terasa lebih tepat, memberinya satu perisai perlindungan jika ada hal tak menyenangkan terjadi lagi untuk kedua kalinya. Hinata mempersiapkan diri.

Kimi to BokuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang