Gadis itu duduk dan memperkenalkan namanya dengan sopan. Caranya duduk juga sopan. Senyum yang mengembang di wajahnya terlihat malu-malu. Dia gadis muda yang manis.
Sasuke sendiri bingung bila diharuskan untuk menjabarkan keadaan ini, atau kehadirannya yang samar karena dia memang tipis. Sepertinya sinar matahari dari jendela yang membuat tubuhnya tampak tipis dan tembus bila disentuh. Sasuke penasaran. Tidak mungkin tidak penasaran dengan adanya hantu di kamarnya.
Apa hantu pantas diajak bicara?
Butuh keberanian selain kenekatan untuk mendekat. Kedua hal itu tak sepenuhnya dimiliki Sasuke saat ini. Ia tak yakin apa yang mengundang tubuhnya mendekat. Sasuke kini berlutut, mencondongkan tubuh, semakin lama semakin dekat. Dia bisa melihat kilau indah mata gadis itu yang membalas pandangannya dengan ragu.
"Hinata."
"Ya?"
"Kau ini hantu. Apa kau sadar itu?"
"Oh!" Ekspresi wajahnya yang terkejut juga terlihat manis. "Maaf," dia tertawa malu, "Aku tidak sopan, ya?"
Sasuke mencerna jawaban Hinata yang justru terdengar konyol. Dia seperti anak umur enam tahun yang lupa memberi salam setelah pulang sekolah. Dia tak merasa sepenuhnya bersalah, hanya bersikap tenang agar tak dimarahi orangtuanya karena lupa memberi salam.
Sasuke duduk tegak lagi di tempatnya. Di ruangan sempit itu, yang kini lebih cerah dan bersih, Sasuke bahkan tak ingin mempertanyakan dari mana si gadis hantu mendapat tatami atau lukisan yang sesuai dengan keinginan Sasuke.
Namun bila tak membicarakan itu, dia tak tahu harus membicarakan apa dengan si hantu. Di lain pihak, Sasuke tak merasa dia perlu ngobrol dengan Hinata. Yah, mereka memang tinggal di bawah atap yang sama, berbagi ruangan sempit ini meski berbeda dunia.
"Dari mana kau tahu aku ingin mengganti pintu geser?" Sasuke melirik ke bawah, melewati lututnya yang menekuk. "Juga tatami ini?"
"Ini balas budi."
"Balas budi?"
"Semua hantu bisa membalas budi, kok. Kami tak sepenuhnya tak berdaya. Yang dilakukan Sasuke-kun saat tiba di sini adalah membersihkan lemari. Jadi, seperti ini caraku membalas budi."
Sasuke ingin tertawa, tapi tetap menahannya. Bukan karena alasan kesopanan, tapi menghargai kejujuran Hinata yang mungkin saja jadi satu-satunya hal baik dari dirinya. Sasuke ingat cerita si Nenek di toko kelontong. Penyewa sebelum Sasuke sakit parah dan akhirnya meninggal. Siapa tahu, nasibnya juga akan berakhir sama dengan orang itu.
Jadi, mungkin dia perlu bekerja-sama dengan Hinata. Bila ada yang merugikannya selama ia tinggal di sini, mungkin saja dia bisa mendiskusikannya dengan Hinata dan sama-sama untung.
Ah, apa barusan Sasuke serius membayangkan dirinya berdiskusi dengan Hinata?
Ini bukan pertanda baik.
Tiba-tiba gadis itu berdiri. Dia tidak menjejakkan kakinya. Seperti ciri kebanyakan hantu, dia melayang. Roknya jadi berkibar, dan secara refleks, Sasuke memalingkan wajahnya, tak ingin melihat yang bisa saja ia lihat karena rok yang tersibak itu.
Nah, lagi-lagi dia menganggap si hantu pantas dianggap sebagai perempuan.
Jika diteruskan akan semakin parah.
Satu-satunya jalan adalah mengusirnya. Tapi bagaimana?
"Onigiri-mu jatuh. Bagaimana dengan sarapan?"
Hinata memungut onigiri yang jatuh, mengecek isi belanjaan di dalam kantung plastik. Ada sup soba instan dan sebungkus nori kering.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi to Boku
FanfictionKumpulan fic SasuHina; one-shot(s) dan mini series. Unrevised; you might find some typo(s). AU. Romance, Drama, General, Mystery, Slice of Life, Slightly Comedy.